Oleh: Wajidi Sayadi
Sejak masuk 1 Dzulhijjah 1441 H, beredar lagi di media sosial hadis larangan mencukur rambut dan potong kuku. Misalnya, “Batas akhir memotong kuku dan memangkas rambut bagi yang memiliki niat berqurban tahun ini: Selasa, 21 Juli 2020 bertepatan dengan 30 Dzulqa’dah 1441 H. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺩَﺧَﻠَﺖِ ﺍﻟْﻌَﺸْﺮُ ﻭَﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺃَﻥْ ﻳُﻀَﺤِّﻰَ ﻓَﻼَ ﻳَﻤَﺲَّ ﻣِﻦْ ﺷَﻌَﺮِﻩِ ﻭَﺑَﺸَﺮِﻩِ ﺷَﻴْﺌًﺎ
Apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian telah berniat untuk berqurban, maka janganlah ia memotong rambutnya dan kulitnya sedikitpun. ”(HR. Muslim).
Di grup lainnya berbunyi: “… Ketika selasa 21 Juli 2020 magrib telah tiba Anda tidak diperkenankan mencukur rambut dan memotong kuku.”
Saya tidak tahu mengapa hadis-hadis seperti ini semakin marak beredar di media sosial saat ini, apakah karena madzhab yang “cenderung” sangat tekstual semakin marak dan berkembang di negeri ini, berbeda dengan madzhab Syafi’i.
Berdasarkan teks hadis ini disimpulkan sebagai “batas akhir memotong kuku dan memangkas rambut” artinya haram hukumnya memotong kuku dan memangkas rambut bagi para pekurban.
Nanti tanggal 31 Juli 2020 bertepatan 10 Dzulhijjah 1441 H adalah hari raya idul Adha, shalat idul adha bertepatan hari jumat. Berdasarkan teks hadis Riwayat Abu Daud, bagi mereka yang sudah shalat ‘idul Adha, boleh tidak shalat Jumat.
Tapi, hadisnya tidak terlalu banyak beredar di media sosial: bagi yang sudah shalat Idul Adha boleh tidak shalat Jumat. Padahal yang menganut paham haramnya memotong kuku dan rambut, sama pahamnya yang membolehkan tidak shalat Jumat bagi yang sudah shalat Idul Adha.
Berbeda dengan madzhab Syafi’i bahwa kebolehan tidak shalat jumat bagi mereka yang sudah shalat Idul Adha, maksudnya bagi mereka yang datang dari pedesaan atau pegunungan nun jauh dari kota Madinah, tidak berlaku umum seperti saat ini.
Apalagi madzhab imam Abu Hanifah, yang berpendapat, bahwa tidak mungkin shalat Jumat yang hukumnya fardhu ‘ain digugurkan oleh shalat Idul Adha yang hukumnya sunnat.
Selain membaca teks hadis perlu membaca juga penjelasan para ulama, termasuk ulama fikih.
Saya kira inilah perlunya penjelasan para ulama. Tidak cukup hanya membaca teks hadis dan terjemahan bahasa Indonesianya, apalagi hanya melalui media sosial, seperti WA tanpa penjelasan apa pun lalu disimpulkan sendiri.
Contoh lainnya, hadis:
غُسْلُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
Mandi pada hari jumat WAJIB bagi setiap muslim yang sudah dewasa. (HR. Muslim dari Abu Said al-Khudri).
Kalau kita baca teks hadis ini, bahwa bagi setiap muslim yang sudah dewasa WAJIB mandi hari jumat. Dalam hadis lainnya riwayat Imam Bukhari dijelaskan, perintah mandi bagi yang hendak shalat jumat.
Apakah disimpulkan bahwa BERDOSA bagi mereka yang shalat jumat, tapi tidak mandi terlebih dahulu, karena berdasarkan teks hadis ini hukumnya WAJIB?
Hadis ini Riwayat Bukhari dan Muslim pasti sahih. Masalahnya bukan pada sahihnya hadis, tapi pada pemahaman makna hadisnya.
Para ulama menjelaskan, bahwa disebutkan kata “wajib”, tapi yang dimaksudkan adalah sunnat muakkad, mendekati atau hampir wajib. Pahalanya sangat banyak, tidaklah berdosa bagi yang shalat jumat tidak mandi terlebih dahulu.
Demikian juga, hadis Nabi SAW. yang menyebutkan:
مَن بَدَّلَ دينَهُ فاقتلُوه
Siapa yang mengganti agamanya (murtad), maka BUNUHLAH DIA. (HR. Bukhari).
Kalau dibaca teks hadis ini, Nabi SAW. memerintahkan agar membunuh setiap orang murtad. Apakah menggunakan kaedah bahwa setiap perintah menunjukan wajib, maka wajib hukumnya membunuh orang-orang murtad dari agamanya? Kalau tidak membunuh mereka, kita berdosa. Apakah seperti paham ini yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. sebagaimana bunyi hadisnya yang diriwayatkan imam Bukhari?
Berapa banyak orang murtad dalam setiap hari?
Apa tidak kacau dalam masyarakat, bangsa dan negara ini, kalau kita membunuh mereka dengan alasan perintah hadis Nabi, padahal belum tentu itu yang dimaksud oleh Nabi SAW. Inilah pentingnya penjelasan dari para ulama.
Di antara penjelasannya, bahwa yang dimaksud murtad dalam hadis ini, adalah mereka yang murtad kembali pada agama lama, lalu kembali kepada kaumnya, komunitasnya menggalang kekuatan untuk memberontak kepada Rasulullah SAW. yang pada saat itu juga Beliau sebagai kepala negara, maka dalam konteks seperti inilah keluar perintah untuk membunuh, yakni para pemberontak karena akan mengacaukan dan merusak masyarakat, bangsa dan negara.
Sekarang, kita kembali pada hadis tentang batas akhir bolehnya alias haramnya memotong rambut dan kuku pada 1-10 Dzulhijjah 1441 H bagi para pekurban menurut teks hadis di atas.
Lalu bagaimana dengan hadis yang disunnatkan atau diperintahkan potong kuku dan rambut setiap hari Jumat. Nah, Jumat nanti bertepatan tanggal 3 Dzulhijjah? Begitu juga yang hendak ihram pada bulan Dzulhijjah justru disunnatkan mereka potong kuku dan potong bulu atau rambut?
Atau apakah yang dilarang dipotong rambut dan kuku orang yang akan berkurban atau rambut dan kuku hewan kurban?
Jawaban dan penjelasannya disampaikan berikutnya. Semoga.
Pontianak, 23 Juli 2020 M/2 Dzulhijjah 1441 H