Oleh: Dr Ferry Hadari
Ini kisah yg dimulai sejak dari 30 tahun lalu. Kisah klasik ketika kami masih SMA, tepatnya di SMA Negeri 4 Pontianak. Dan tadi pagi hingga siang hari, qodarullah, kami dipertemukan lagi di acara ulangtahun sekolah dan reuni.
Ia bukan hanya teman. Ia sahabat. Dekat banget. Kami naik sepeda boncengan ke sekolah. Saya ngayuh, ia duduk di batang sepeda seraya memegang stang. Di waktu senggang, bersama yg lain ngumpul-ngumpul depan gang, gitaran sambil teriak-teriak ala Metallica, Megadeth, Sepultura hingga Kaisar, band pemenang sebuah kompetisi di Indonesia. Di waktu yg lain kami main bola, badminton, bahkan joging ketika menjelang berbuka puasa. Kami suka olahraga. Kami gak ngerokok. Gak nge-drugs, apalagi narkoba.
Sejak SMA ia suka gondrong. Saya juga, walaupun hanya hanya buntut tengah. Bedanya ia sering kena razia, saya gak. Karena buntut rambut itu saya ikat di gagang kacamata.
Setelah SMA kami sama-sama masuk Teknik. Ia sempat 2 tahun kuliah. Gabung juga di Mapala FT. Tetapi akhirnya jiwa bebas membuatnya lebih suka berpetualang ke hampir seluruh pelosok Indonesia. Jiwanya memang adventure. Ia gak pingin dikekang. Gak heran kalau rambutnya hingga sekarang panjang terurai lebih dari sepinggang.
Ia udah banyak berubah sekarang. Tubuh kurus dan pipi tirus. Padahal dulu ia bertubuh tegap, tinggi, tegap, ganteng, nyaris seperti Ikang Fawzi. Tak heran dulu banyak yg naksir dan suka padanya.
Sahabat tetap lah sahabat. Kami pernah sama-sama berdjoeang. Walaupun di ujung berbeda, itulah nasib, namanya. Ia cerita sekarang kerjanya serabutan. Apa saja asalkan halal. Padahal dulu pernah jadi manajer sebuah klub malam terkenal.
Namun, sahabat tetap lah sahabat. Dan sahabat yg baik tidak akan pernah saling melupakan. Karena persahabatan selalu memiliki kisah klasik untuk masa depan.
Semoga selalu sehat, Wan.(*Penulis adalah dosen robotik FT Untan)