Oleh: Yusriadi
Kata “jahat” belakangan ini sering saya dengar diucapkan oleh dua anak saya. Keduanya begitu sering menggunakan kata itu untuk memaknai tindakan orang lain yang tidak disukai.
Kalau saya memaksa si Abang tidur dengan cara memeluknya lebih kencang –kami menyebutnya “digulut”–dia akan meronta melepaskan diri, dan sambil kesal bilang, “Ayah jahat”.
Ketika Bunda menyimpan kue di dalam lemari dan menguncinya, seraya mengatakan kue itu bisa diberikan kalau Abang atau Adek sudah makan, si Abang atau Adek yang protes akan bilang, ” Bunda jahat”.
Ketika keduanya rebutan mainan, si Adek yang kalah dalam tarik menarik barang, akan bilang, “Abang jahat”.
Ketika si Adek marah diganggu Abang –entah saat bermain atau nonton, lalu dia mengigit tangan atau punggung Abang, si Abang yang meraung akan bilang, ” Adek jahat”.
Ketika ada temannya yang datang dengan membawa mainan dan Adek merengek memintanya, temannya yang tak bersedia berbagi akan dikatakan, “… Jahat”.
Begitulah. Luas sekali pemakaian kata “jahat” dalam bahasa anak-anak saya. Kata-kata itu bisa dipakai dalam berbagai konteks.
Satu hari berkali-kali diucapkan. Pagi, siang, sore, malam. Pokoknya, ketika ada “benturan” antara keinginan dan kenyataan itulah “jahat”. Ketika mereka dikesalkan, di situlah ada “jahat”.
Tetapi, sejauh ini kosa kata itu hanya mengalami pergeseran makna dari makna umum yang dipahami saya.
Pembentukan kata –tambahan morfologi– dari proses itu jarang digunakan. Si Abang baru bisa menggunakan kosa kata “Penjahat” dalam konteks khusus, merujuk pada film yang dia tonton.
Penjahat dipahami merujuk pada sosok tertentu. Profil orang.
Dan, hal ini sebenarnya pernah ditiru saat dia “berlakon” seperti dalam film kartun India, Shiva. Dalam lakon yang disutradarai sendiri, ada yang berperan sebagai Shiva dan ada yang berperan sebagai Penjahat.
“Aku jadi Shiva, kau jadi penjahat”.
Hanya, penjahat. Sebagai ciri dan sekaligus nama rujukan. Tidak menggunakan nama khusus atau nama diri dari orang yang diidentifikasi.
Soal pemerolehan kata itu, saya tidak tahu kapan dan dari mana mereka mendapatkan kosa kata jahat itu. Sedangkan kosa kata penjahat pasti diperoleh dari film kartun TV yang ditontonnya.
Begitulah… kalau bicara pemerolehan bahasa. Bahasa bisa diperoleh melalui banyak cara dan jalur. Kita tidak bisa menghambatnya. Tidak bisa kita hilangkan kosa kata “jahat” dan “penjahat” dari kamus bahasa mereka hari ini, sekalipun saya sangat ingin melakukannya . Begitu juga kosa kata yang lain yang saya tidak suka.
Setakat ini saya hanya bisa meluruskannya, memberikan penjelasan soal makna umum dan konteks penggunaannya. Soal boleh dan ketepatannya. Setiap waktu tanpa jemu. Entah dipahami sekarang atau belum.
Setelah itu, saya hanya bisa berharap dan berdoa: Ya Allah, tunjukkan kami jalan yang lurus. (*)