Perjalanan Pesta Buku Brunei (2)
Damri yang kami tumpangi meninggalkan halaman terminal bus antar negara Ambawang. Eva tujuan Kuching jadi referensi. Belakangan kami sadari bahwa bus Eva tersebut adalah level royal, sedangkan Damri kami kelas eksekutif. “Ah, sudahlah mari kita syukuri saja.” Kami terus berbincang. Bincang bincang itu sebenarnya sama dengan menghibur diri. Terima berbagai tantangan seraya senyum.
Tarif Damri ke Bandar Sri Begawan didapuk Rp 750.000. Sudah hampir sama dengan satu tiket pesawat di kala diskon besar. Namun untuk penerbangan dari Soepadio ke Brunei mesti transit terlebih dahulu, yakni ke Kuala Lumpur atau Kuching. Biaya tiket bisa tembus angka 3 juta.
Di bus ini terdapat seorang supir utama bernama Soni dan supir kedua merangkap kernek Syafri. Dari perawakan keduanya nampak tak muda lagi. Hampir separuh rambut sudah putih. Saya duga usia keduanya 50-an. Namun saya yakin bahwa pastinya mereka ini adalah supir-sulir yang kenyang makan asam garam perjalanan.
Soni cukup tambun. Sebaliknya Syafri lebih ringan sehingga lincah membagikan botol mineral dan kue kepada para penumpang.
20 menit sejak meninggalkan terminal tadi, kami belum benar-benar sepenuhnya meninggalkan kota. Damri masih menjemput penumpang.
Di depan hotel dan resto Surya Alam, seorang ibu berbaju dan berkerudung merah marun menjadi orang terakhir yang dijemput. Si ibu tidak sendiri. Ia ditemani barang bawaan yang sangat banyak. Setidaknya saya melihat 1 pikap terisi penuh. Tak ayal panjang waktu untuk memindahkan barang ke bagasi. Penumpang tampak gelisah.
Putra Turiman berseloroh, “Ini buat lama kita di pemeriksaan Imigrasi nanti.” Kami hanya saling pandang. Macam-macamlah hajat para penumpang.
Damri kemudian menderu. Tancap gas seperti membayar waktu yang tergerus penumpang jemputan.
Sejurus waktu kemudian, riuh rendah perbincangan mulai hilang. Damri benar-benar lengang. Para penumpang agaknya telah dibuai mimpi masing-masing. *