teraju.id, Pacet – Jaringan Kyai dan Santri Nusantara (JKSN) terbentuk dalam sebuah deklarasi di PP Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto, Sabtu, 6/10/2018. Acara dimulai 13.30 – 14.30 dengan Musisi Jalanan dan El Kiswah Gambus, dilanjutkan dengan istighotsah untuk keselamatan bangsa dan negara
Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan Syubbanul Wathon turut mewarnai deklarasi. Dimana pada kata sambutan disampaikan oleh Ketua Umum JKSN KH M Roziqi.
Proses deklarasi menurut utusan dari Kalbar, Suryansyah bahwa seluruh perwakilan provinsi berada di atas panggung. Mahallull Qiyam bersama Hadrah PC Muslimat NU Surabaya. Adapun pembacaan deklarasi dukungan JKSN oleh H Zahrul Azhar, dilanjutkan dengan penyerahan mandat dan bendera pataka JKSN kepada perwakikan provinsi. Deklarasi ditutup dengan menyanyikan lagu Bagimu Negeri.
“Acara ini dipungkasi dengan sambutan shohibul bait H Romahurmuzy dan Ketua TKN Erick Tohir.”
Di lokasi deklarasi, diskusi soal dukungan NU struktural maupun kultural menguat. Seperti ulasan Abu Atiqah berikut:
KH Maruf Amin yang juga cawapres Jokowi di tempat Kyai Asep Jatim mengatakan,”…Ini (pemisahan NU kultural dan struktural) malapetaka saya kira. Saya datang ke sini memang ingin mendapatkan dukungan, jangan sampai saya diposisikan sebagai NU struktural, kemudian NU kultural tidak mau mendukung saya…” Dengan kata lain malapetaka jika tidak didukung oleh NU kultural ini pesan kuat dari pernyataan beliau agar struktur dan kultur NU menyatu mendukungnya.
Secara tidak langsung beliau mengisyaratkan bahwa struktur NU tidak mencukupi, maka kekuatan kultur NU harus dirangkul, karena kekuatan riil ada di NU kultural terutama untuk menaikkan keterpilihan.
Selanjutnya pernyataan ini memunculkan spekulasi, pertama, Kiyai Maruf nampaknya sadar bahwa elit struktur NU dianggap tidak mampu mendulang suara, dan ini relevan dengan survei LSI bahwa ketua umum PBNU saja hanya didengar oleh 2% dari warga NU, maka mendekati kultur dan berusaha menghilangkan dikotomi (kultur dan struktur) adalah langkah strategis.
Kedua, Kyai Maruf melihat bahwa struktur NU merupakan bagian dari partai tertentu sementara publik melihat watak partai terkesan prakmatis dan transaksional, konsekwensinya elit struktur NU dianggap oleh warga NU sama darinya. Maka mendekati kultural NU sangat urgen untuk menepis imej tersebut.
Ketiga, Kyai Maruf memahami bahwa di kalangan struktur tidak bulat, maka dukungan kekuatan kultural menjadi keniscayaan untuk konsolidasi mencapai kemenangan.
Keempat, Kyai Maruf mendekati kyai kultur karena ketika pilkada Jatim, kyai kyai kultur bersedia mengeluarkan dana sendiri, sementara struktur akan bergerak kalau ada syaiun syaiun.
Kelima, Kyai Maruf nampaknya sadar struktur PBNU hasil muktamar Jombang tidak mempunyai legitimasi moral di hadapan warga NU, maka kekuatan kultural NU menjadi harapan untuk mencapai kemenangan.
Keenam, Kyai Maruf dapat menangkap kebatinan warga NU kultural yang mayoritas kecewa “PHP” atas Makhfud MD, maka mendekati kultural NU menjadi pilihan untuk mengobati kekecewaan.
Inilah beberapa spekulasi, mengapa Kyai Makruf memunculkan istilah malapetaka dikotomi tersebut dan secara tidak langsung juga memperlihatkan bahwa kekuatan struktur NU jika tidak ditopang NU kultural hanyalah kekuatan semu. (kan/suryansyah)