teraju.id. Bandung – Ikatan dan wawasan kebangsaan mesti menjadi dasar etos kerja SDM di seluruh Indonesia sehingga sekat-sekat yang telah terbangun karena kepentingan politik bisa terhapus. Karena tanpa ikatan dan wawasan kebangsaan, SDM yang ada di Indonesia hanya akan menjadi alat politik dan kepentingan para pengusaha saja.
Demikian ditegaskan tim ahli ekonomi, Sistem Ekonomi Indonesia Raya Incorporated (IRI), DR D Wahyu Ariani SE, MT, Selasa (25/4/2017), ketika menyikapi kondisi bangsa dalam kaitannya dengan pembangunan SDM Indonesia berkualitas serta fenomena PILKADA DKI Jakarta.
Wahyu Ariani mengatakan bahwa dalam hal ini Panca Sila, terutama sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia harus menjadi jiwa pembangunan SDM Indonesia.
“Kita prihatin ketika mendengar bahwa Freeport merumahkan para pekerjanya ketika negosiasi antara Freeport Indonesia dan pemerintah menemui jalan buntu. Padahal kalau ditelusuri, justru para pekerja Indonesialah yang menjadi tulang punggung operasional tambang emas terbesar di dunia tersebut. Jadi mengapa harus takut?” ujar Wahyu Ariani.
Menurut dosen Universitas Kristen Maranatha Bandung ini, para pekerja Indonesia di perusahaan asing tidak perlu ragu dalam bekerja karena merekalah yang sebenarnya menjadi tulang punggung beroperasinya perusahaan di Indonesia. Dengan berbasis pada ikatan kebangsaan (nasionalisme), pekerja di perusahaan asing sebenarnya tidak perlu khawatir akan masa depannya. Ibaratnya, meskipun ganti pemilik, pekerja tidak akan tergantikan.
Hanya saja kata Wahyu Ariani, pembangunan SDM berbasis pada ikatan kebangsaan, pada saat ini dibutuhkan tidak hanya urusan nasionalisme (asing vs nasional), tetapi juga terkait dengan urusan politik dan kepentingan para pemilik usaha sekalipun semuanya adalah pengusaha nasional.
“Akan menjadi kehancuran ekonomi Indonesia, jika kemudian urusan SDM tercampur dengan kepentingan politik-ekonomi pemilik dan bahkan terkait dengan urusan kepercayaan. Belum lagi jika ternyata di sebuah perusahaan terjadi perpecahan pekerja hanya karena urusan kepercayaan atau perbedaan pilihan politik. Pilkada DKI Jakarta menjelaskan tentang hal ini,” tegas Wahyu Ariani.
Wahyu Ariani mengajak bangsa Indonesia melihat, ketika ekonomi terbagi berdasarkan kepentingan agama atau politik, maka yang akan dihadapi oleh Indonesia adalah kehancuran. Contoh, jika balai latihan kerja (BLK) ternyata dikuasai kepercayaan atau suku tertentu, atau departemen dikuasai partai politik tertentu, Indonesia dengan sendirinya akan terpecah-pecah.
“Pilkada DKI Jakarta menjelaskan adanya perubahan mendasar yang telah terjadi pada pembangunan SDM ini. Terlambat dalam mengantisipasi perubahan ini, pada akhirnya pemerintah dan pelaku ekonomi akan berhadapan pada kenyataan kehancuran ekonomi Indonesia. Rekruitmen pada akhirnya didasarkan pada pilihan politik dan kepercayaan yang dianut seorang pekerja. Selama ini saja kita semua sudah kesulitan dalam mencapai standar untuk sebuah kompentensi, masa depan Indonesia semakin menjadi tidak jelas karena disorientasi terkait kepercayaan dan pilihan politik dalam pekerjaan,” tegasnya.
SDM Indonesia menurut Wahyu Ariani terbangun dengan pola extrinsic motivation (orientasi pada tujuan) sejak usia sekolah dan bukan intrinsic motivation (orientasi pada proses), yang membangun motivasi untuk meningkatkan kompetensinya. Pendidikan Indonesia masih menekankan pada extrinsic motivation.
“Mencintai negara, bangsa dan tempat bekerja berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila sebagai motivasi dasar dalam membangun kompetensi harus ditanamkan sejak dini. Dan ini bagian dalam instrinsic motivation yang selama ini tidak ada dalam dunia pendidikan. Ini yang akan membangun kualitas SDM yang berwawasan kebangsaan yang akan menghindarkan konflik horisontal SDM berdasarkan pilihan politik atau perbedaan kepercayaan,” ujar Wahyu Ariani.
Permasalahan di Freeport, sebagai contoh, menurut penulis buku “Perilaku Kewargaan Organisasional: Tinjauan Teoritis dan Empiris” ini, harusnya tidak menjadi suatu ancaman ketika ikatan kebangsaan merupakan motivasi kuat dalam bekerja. Pemerintah dan pemilik usaha harus memulai untuk membangun kualitas SDM dengan ikatan dan wawasan kebangsaan yang kuat.
Yang dimaksud Wahyu Ariani, pemerintah disini tidak hanya pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah. Antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus ada kesamaan visi dalam membangun SDM berdasarkan ikatan kebangsaan dan bukan kedaerahan.
Sistem ekonomi IRI pertama kali diusulkan AM Putut Prabantoro, Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) dan didukung penuh oleh Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). Konsep IRI ini oleh Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) segera dibawa kepada pemerintahan Joko Widodo.
Ada empat belas akademisi yang tergabung dalam tim ahli IRI. Selain Wahyu Ariani, tim ahli ekonomi IRI adalah Sari Wahyuni MSc Ph.D (Universitas Indonesia), DR Bernaulus Saragih MSc (Universitas Mulawarman), DR Agus Trihatmoko MBA, MM (Universitas Surakarta), Prof DR H Werry Darta Taifur MA (Universitas Andalas), Prof Mudrajad Kuncoro PhD (Universitas Gadjah Mada), Prof DR B Isyandi MS (Universitas Riau), Prof DR Ir Darsono MSi (Universitas Sebelas Maret), Prof DR Djoko Mursinto MEc (Universitas Airlangga), Prof Dr Tulus Tambunan (Universitas Trisakti), Prof DR Munawar Ismail DEA (Universitas Brawijaya), Dr Syamsudin (Universitas Muhammadiyah Surakarta), DR Y Sri Susilo MSi (Universitas Atma Jaya Yogyakarta) dan Winata Wira SE MEc (Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepri).(Mering)