Oleh: Siti muslikhah
Sudah 10 tahun yang lalu terakhir kali saya tadarus bersama di masjid. Sekarang ini setelah merantau ke Kota Pontianak tak lagi saya temukan tadarusan di masjid dengan berbekalkan Alquran dan buku absensi.
Iya, dulu ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar saya rutin melakukan tadarus di masjid bersama teman-teman dan guru ngaji kami. Buku absensi tanda tangan dari guru ngaji menjadi hal wajib yang harus kami bawa karena sekolah mewajibkan. Sejatinya bukan mewajibkan untuk tadarusan, absensi tarawihlah yang harus kami buat karena setelah selesai puasa nanti akan kami kumpulkan absensi tersebut.
Masih jelas diingatan saya, dulu jarang bahkan tidak pernah saya absen tarawih ataupun tadarus. Padahal jarak dari rumah ke masjid lumayan jauh dan saya menempuhnya dengan jalan kaki. Beruntungnya saya memiliki adik yang bisa menjadi teman saya tadarus.
Tadarus biasanya kami lakukan di sore hari, ba’da asar tepatnya. Setelah selesai melaksanakan salat Asar, kami sudah mengambil posisi masing-masing. Kami duduk dengan membentuk setengah lingkaran tepatnya di depan tempat Imam.
Dengan menggunakan meja kayu sederhana kami membaca bait demi bait ayat Alquran dengan penuh khusyuk. Guru ngaji kami yang sedari awal menyimak bacaan kami dan membenarkan apabila terdapat kesalahan. Satu buah mike yang dihubungkan ke pengeras suara membuat seluruh warga kampung dapat mendengarkan lantunan Alquran yang kami baca.
Rasanya pada saat itu percaya diri saja, yang penting bacaan kami baik dan tajwidnya benar. Guru ngaji kami lumayan galak. sebenarnya bukan galak, tegas karena kami yang sering kali lupa walaupun sudah diajarkan berulang kali.
Gertakan tangan guru ngaji ke atas meja yang sontak memecah konsentrasi kami yang sedang khusyuk menyimak bacaan teman. Pastinya gertakan tersebut karena banyak sekali bacaan yang salah ataupun kami sibuk bermain tidak menyimak bacaan teman.
Mendekati Maghrib beberapa orang teman tidak mau mendapat giliran. Malu atau takut. Mau tak mau saya yang ambil giliran mengaji terakhir.
Setelah selesai mengaji saya dan adik dengan sisa-sisa tenanga berlari-larian agar pulang ke rumah tepat waktu. Biasanya baru setengah perjalanan adzan sudah berkumandang. Ibu dan bapak sudah menunggu kedatangan kami di depan rumah.
Hal-hal tersebutlah yang membuat saya rindu. Tadarus di masjid, gertakan guru ngaji dan berlari-lari pulang ke rumah. (*)