Pak Joko Widodo-Presiden RI yang baik. Kami masih sabar dengan belum ditetapkannya Sultan Hamid II Alkadrie sebagai Pahlawan Nasional atas jasanya merancang Lambang Negara RI yang kita pakai sejak 1946 hingga kini. Pada tahun 2019 ini sudah ditetapkan Pahlawan Nasional itu, dan kami respek kepada mereka semuanya sebagaimana para pahlawan nasional lainnya, baik yang disebut secara formal, informal, maupun non-formal. Sebab kami yakin, bahwa setiap orang yang berjuang tidaklah ingin jasa-jasanya disematkan dengan dua kata: Pahlawan Nasional, sebab mereka orang orang yang ikhlas dalam berbuat dan berjuang. Jangankan sekedar pujian diminta, harta benda dan jiwa saja mereka siap korbankan. Saya yakin Pak Joko Widodo juga sepemikiran dengan itu. Insya Allah.
Di dalam QS Al Kahfi yang sangat terkenal dengan empat kisah naratif-nya itu, esensinya adalah pengakuan bahwa segenap perjuangan hidup ditujukan kepada Ketuhanan YME. Persis prinsip sila pertama. Ini sudah tertuang dengan lambang cahaya bintang bersudut lima, dimana Sultan Hamid menyebutnya: nur–cahaya ilahi. Semoga nilai Al Kahfi yang mengajarkan kesabaran kepada Nabi Musa, kepada pemilik kebun, dan kepada Zulkarnain, bahkan kepada 7 penghuni gua bisa kita ejawantahkan. Jangan kan menunggu gelar Pahlawan Nasional kepada salah satu putra terbaik Bumi Khatulistiwa bernama Sultan Hamid II Alkadrie selaku perancang lambang negara dan diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB), 7 penghuni gua (Ashabul Kahfi) sabar tidur 309 tahun lamanya. Mereka baru diakui benar dalam berjuang setelah 12 generasi berganti. 309 tahun.
Kami dari Yayasan Hamid selalu sabar karena pada tahun 2013 kami menulis biografi lengkap Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara (Penerbit TOP Indonesia–launching di Gedung Pontianak Convention Centre bersama Wakil Ketua MPR RI), sehingga per 2019 ketika syarat administrasi pengusulan sudah paripurna dalam 3 tahun terakhir–tidaklah seberapa jika dibandingkan masa tidur 7 penghuni gua Ashabul Kahfi. Di sisi lain sambutan warga di Nusantara akan pengetahuan Sultan Hamid II Alkadrie-lah perancang Lambang Negara sejak ditetapkan oleh Bung Karno tahun 1946–sejak 17 Agustus 1945 kita belum punya lambang negara–disambut hangat juga kawula muda millenial. Setiap pameran rancangan lambang negara dimulai dari Gedung Pancasila-Jakarta hingga Sumatera, Jawa dan Kalimantan selalu diikuti ribuan pasang mata. Bahkan di Desember 2019 digelar pameran di Jatim dengan salah satu potret pamerannya tentang Sultan Hamid II Alkadrie perancang lambang negara elang rajawali Garuda Pancasila. Nilai sila kemanusiaan yang adil dan beradab dengan simbol rantai semoga menginspirasi kita bahwa kita seiya sekata dalam kebenaran sejarah. Sementara kami secara investigasi jurnalistik maupun akademik telah membuktikan kebenarannya. Bahwa Sultan Hamid bukan biang kerok makar APRA. Terbukti dengan seluruh butir putusan Mahkamah Agung RI di saat itu. Dan semua pledoi hingga putusan MA tertuang di dalam buku biografi politik Sultan Hamid II yang kami tulis dan terbitkan tahun 2013–genap 100 tahun–atau seabad Sultan Hamid II. Simbol rantai itu pula dari bumi Kalimantan. Kalung khas etnis simbolisasi bersatunya seluruh etnis Nusantara. Rantai kotak dan bulat. Simbol pertautan umat manusia yang terdiri dari pria dan wanita. Seiya sekata saling melengkapi sehingga sempurna dalam mengangkat harkat dan martabat ummat.
Sultan Hamid II pula menaikkan simbol persatuan Indonesia dengan pohon beringin yang diambil inspirasinya dari taman keraton Jogja. Bahwa kekuatan raja-raja Nusantara adalah esensi persatuan Indonesia dengan cengkeraman seloka Bhinneka Tunggal Ika. Sesuatu yang paling dibutuhkan penguatanya dalam rangka merawat Indonesia Raya kekinian menuju abad teknologi 4.0 atau bahkan 5.0–6.0–7.0–8.0–9.0…
Pak Joko Widodo – para menteri – Dewan Gelar dan pembaca medsos yang mulia, Sultan Hamid II pula yang menaikkan simbol banteng dimana diambil dari Sumatera. Ranah Minang. Ranah pejuang yang hebat di Nusantara bahkan dunia dengan arti kerja keras, gotong royong. Sehingga pas dengan pemikiran Bung Karno di sila keempat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dus, padi dan kapas, sila kelima, mewakili seluruh kepulauan Indonesia yang subur dengan sandang dan pangan disimbolkan dengan padi dan kapas.
Saya sebagai salah satu dari anak negeri ini sedih dan pedih, kenapa sosok yang menghembuskan napas terakhirnya dalam keadaan sujud–jelas sekali tanda khusnul khatimahnya–keinginan hamba-hamba yang bertakwa seluruhnya di dunia–cucu-cicit Rasulullah Muhammad SAW, pria yang menemani Bung Karno saat menghembuskan napas terakhirnya, laki-laki jenderal yang ikhlas menerima putusan 10 tahun penjara tanpa dia melakukan tindak pidana bisa lolos dari sebuah kata oleh negara yang hebat ini: Pahlawan Nasional.
Kami dari Yayasan Hamid masih sabar sesuai standar normatif administrasi di Kementerian Sosial. Bahwa seluruh rekam jejak administrasi yang dipersyaratkan sebagai pengajuan Pahlawan Nasional dari kami sudah lengkap kap kaaaaap! Paripurna. Ada tanda serah terimanya. Ada bukti faktualnya. Dua koli banyaknya buku dan referensi. Maka, mengingat kinerja Bapak Jokowi yang cepat dan responsif, kami terus terang lapor dengan dada kembang kempis menahan napas sabar. Sabar. Sabar. Kami masih sabar menunggu untuk gelar pahlawan nasional itu tahun depan, 2020. Berampah-ampah dokumen itu sudah kami tabur di website dan internet. Tidaklah sulit melacak seluruh rekam jejak pengajuan pahlawan nasional dari Kalimantan Barat.
Then, apakah perjuangan kami bersama bhakti Hamid hanya sampai ke gelar Pahlawan Nasional? Tidak. Kami ingin nilai-nilai Pancasila dengan simbol empiriknya mengejawantah ke Nusantara. Kita ingin Bhinneka Tunggal Ika jaya. Jaya dalam NKRI yang sejahtera. Adil. Makmur. Sentosa. Menjadi negeri adidaya baru dunia. Derifat programnya mulai dari pusat studi ilmiah sejarah, monumen nasional elang rajawali Garuda Pancasila hingga wisata sejarah di Bumi Khatulistiwa yang membentang dari Istana Kadriah, Mesjid Jami hingga Makam Batulayang di mana dikebumikan para raja-raja Pontianak. Adalah strategis sekali Monas Elang Rajawali yang lebih baik daripada Patung Liberty milik Uncle Sam dibangun di Pulau Hanyut antara Makam Batu Layang dan Kampus Universitas Panca Bhakti sekaligus menghadap laut lepas China Selatan dijadikan centeral point emas baru sebagai ikonik pariwisata bahari Kalbar. Toh ibukota negara juga akan pindah ke Kalimantan 2025. Sambung menyambung Kalimantan menjadi sebuah kekuatan nasional.
Selamat dan Sukses atas pelantikan Bapak Jokowi dan kabinet baru. Selamat berbahagia juga FB’ers yang membaca naskah ini. Semoga kita semua adalah Pancasila dan Elang Rajawali Garuda Pancasila. Kita hadapi masa depan dalam kebersamaan dan kesabaran. Innallaha Ma’ashobirin. Tuhan Yang Maha Esa bersama orang-orang yang sabar. * (By Nur Iskandar/HP-WA 08125710225)