Oleh: Setioko
Kecamatan Teluk Pakedai Kubu Raya, pada tahun 2017, penulis telah bekerja di sebuah Kecamatan yang bernama Kecamatan Teluk Pakedai. Kecamatan ini berada di Kabupaten Kubu Raya. Berdasarkan sejarah yang penulis himpun dari berbagai sumber, asal muasal Teluk Pakedai berasal dari sebuah cerita yang menurut penulis cukup unik.
Sejarah Teluk Pakedai
Konon Pada zaman dahulu kala, kerajaan Kubu yang letaknya berada di pulau Kubu terjadilah perubahan, pada saat itu di wilayah Kubu sendiri berada di dalam kondisi yang kacau balau, hampir setiap malam penduduk diresahkan oleh adanya gerombolan perampok. Keadaan penduduk semakin tidak aman karena ulah perampok yang tidak hanya mengambil harta tetapi juga mereka tidak segan untuk memperkosa anak, istri bahkan menghabisi nyawa penduduk setempat.
Bersamaan dengan situasi dan kondisi tersebut, kerajaan Kubu yang semakin memburuk, tersebarlah berita bahwa ada sebuah perahu yang terdampar di sebuah pulau sebelah utara Kubu, pulau ini bernama pulau Padang Tikar. Raja Kubu akhirnya memerintahkan dan mengutus beberapa orang dari golongan kerajaan untuk pergi menyelidiki secara pasti akan kebenaran berita ini.
Setelah para utusan tersebut tiba, apa yang diberitakan itu benar, dan ternyata pula perahu tersebut adalah sebuah perahu berasal dari negeri Sulawesi yang berawak 4 orang yang kesemuanya bersuku Bugis. Dalam waktu singkat terjadilah percakapan diantara mereka yang masing masing awak perahu dengan utusan kerajaan saling memberi informasi tentang asal usul diri pribadi mereka.
Singkat cerita keempat sahabat itu menemui sang raja dan tak lama berpamitan demi meluruskan niatnya untuk membuka suatu perkampungan. Perjalanan yang menggunakan perahu, mereka menelusuri sungai sepanjang mereka dayung, dan sampailah pada suatu tempat yang malamnya salah satu mereka bermimpi bertemu dengan seorang makhluk ghaib yang sangat besar dan aneh.
Setelah beberapa saat dan selalu ditemui makhluk aneh tersebut, salah satu sahabat mengungkapkan keinginannya untuk mendirikan perkampungan di daerah tersebut dan merekapun bertanya kepada makhluk aneh itu tentang persyaratannya.
“Dengarlah…,” demikian ucapan makhluk aneh itu. “Kalian kuizinkan atas restu Tuhan Yang Maha Kuasa untuk membuka perkampungan di sini, namun sebelum kuutarakan persyaratannya, perlu kau ketahui bahwa aku mempunyai kawanan yang sangat banyak, sebagian berasal dari tanah Bugis (Makasar) dan sebagian lagi berasal dari Gunung Ambawang. Kemudian kau bermaksud akan membuka perkampungan untuk kau jadikan sebagai tempat menetap serta membuka perladangan dan perkebunan, oleh karena itu syarat-syarat yang harus kau penuhi adalah: Hutan-hutan ini baru boleh kau tebangi pada hari Ahad bulan depan setelah Shalat Shubuh. Sebelum menebang, buangkanlah rokok sirih, telur dan pinang ke dalam sungai, lalu hamburkan beras kuning dan berteh. Kau harus menepati yang telah kita janjikan setiap tahun dua kali yaitu satu kali di darat saat kau akan memulai menyemai padi, dan potonglah seekor hewan yaitu kambing dan seekor ayam kemudian makanlah bersama kaummu serta penduduk kampungmu. Kemudian sekali lagi di laut setelah panen, bawalah hasil panenmu ke laut dan mohonlah bersama kaummu serta penduduk kampungmu. Kemudian sebelum kau dan kerabatmu serta penduduk kampungmu menyantap makanan tersebut, dahuluilah membaca doa selamat dan tolak bala di tanah pekarangan, dan doa arwah nenek moyangmu setelah di rumah. Demikian pula di laut, sebelum kau berangkat dari rumah berdoalah dulu dengan membaca doa tolak bala. Sebelum makan kumpulkan sekalian orang yang hadir, setelah berkumpul bacalah doa selamat. Sekembalinya dari laut, bacalah doa selamat sekali lagi untuk sepiring nasi kuning dan telur, dan sepiring lagi doa arwah untuk nenek moyangmu.”
Setelah semua persyaratan selesai diutarakan makhluk aneh itu, dia berpaling dan bertanya kepada salah satu sahabat tersebut, “Bagaimana Tuan…? Apakah persyaratan tersebut dapat kau penuhi..??”
Sejenak beliau berfkir sembari menoleh ke arah ketiga sahabatnya yang saling memandang dan dengan anggukan kepala seraya berkata “Sanggupilah tuan”.
Mereka berempat kembali memandang ke arah makhluk aneh tersebut seraya berkata “Insya Allah, semua persyaratan tersebut akan kami penuhi”. Kedua makhluk yang berbeda asal usul ini bersalaman pertanda persahabatan terjalin. Begitu tangan dilepas, makhluk aneh itupun lenyap dari pandangan mereka seiring dengan terbenamnya matahari di kaki langit sebelah barat.
Memasuki bulan Puasa yang bertepatan hari Minggu, selesai Shalat Subuh cuaca yang sangat mendukung dan angin pun bertiup perlahan disambut kicauan burung yang mengiringi pagi yang cerah segala sesuatu sudah dipersiapkan dan pekerjaanpun segera dimulai. Salah satu dari mereka yang dipercayakan membuang rokok sirih, pinang dan telur ke dalam sungai lalu menghamburkan beras kuning bercapur berteh dan kemudian mereka bersama-sama naik ke daratan menuju hutan yang akan digarap.
Teluk Pakedai Kecamatan yang Unik
Berdasarkan dari beberapa sumber yang penulis temui, kecamatan ini sendiri memiliki empat belas desa dengan Sungai Pinyuh sebagai muara dan dermaga yang menghubungkan Kota Pontianak dan Pulau.
Menurut penulis kehidupan di kecamatan ini sendiri sangat unik, meski setidaknya kecamatan ini sedikit modern, namun tidak melupakan sisi tradisionalnya. Salah satu yang membuat penulis betah adalah makanan.
Makanan di Teluk Pakedai sangat murah sehingga jika kita memiliki uang Rp. 100.000,- di kocek. maka kita bisa makan selama beberapa minggu. Sebagai contoh harga mie instan yang telah dimasak adalah Rp. 4000,- tanpa telur. Hal ini berbeda dengan Kota Pontianak yang memiliki harga Rp. 7.000,-
Masyarakat di Teluk Pakedai masih menyimpan kebiasaan transportasi di perairan sebagian besar, meski untuk mencapai ke kecamatan tersebut dapat dicapai dengan kendaraan darat seperti motor dan mobil.
Untuk mencapai ke Kecamatan Pakedai dari Sungai Jawi maka kita membutuhkan waktu 2 jam perjalanan, bukan kenapa, hal ini disebabkan oleh perjalanan menuju Pakedai jika dilalui dengan darat akan terhubung ke Punggur, dimana daerah ini memiliki Parit Berkat yang jalanannya sangat buruk. Akibat truk yang sering lalu lalang di jalanan ini.
Pada umumnya generasi muda Pakedai adalah pelajar, sebab sebagian besar dari penduduk Pakedai akan melanjutkan pendidikan di Pontianak, hal ini dikarenakan tidak adanya universitas atau sekolah tinggi di Pakedai. Selain itu pola pikir masyarakat pedesaan adalah di kota masih banyak peluang kerja daripada di desanya.
Hal ini menurut penulis sangat tidak mendasar, sebab di kota masyarakat yang ada sudah memiliki pola pikir yang modern apalagi di Pontianak, dimana dewasa ini sebagian besar anak kecil atau SD di kota sudah fasih dalam berbahasa Inggris.
“Distance” atau jarak bukanlah suatu penghalang bagi para bule atau warga negara asing untuk belajar di kota Pontianak. Sedangkan di desa pola pemikiran mereka masih tradisional. Justru sisi tradisional inilah yang membuat suatu kebudayaan mampu bertahan dan berkembang.
Masyarakat di Kecamatan Teluk Pakedai saling kenal mengenal hal ini tidak penulis rasakan ketika berada di kota, selain itu suasana di desa sangatlah sejuk karena masih banyak pohon yang besar.
Sayangnya di satu sisi ada jaringan internet di Teluk Pakedai sangat terbilang lamban apalagi jika listrik padam, maka tidak ada satu pun jaringan telepon atau Internet di kecamatan itu. Penulis berharap semoga ke depannya hal ini dapat ditingkatkan lagi. *