OLeh: Dr Joko Santoso
(Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Perpusnas RI)
INDONESIA adalah republik yang didirikan oleh para pecinta buku. Bahkan, jika para pendiri republik ini bukan pecinta buku, barangkali kita tidak pernah merdeka. Mereka para perintis dan pejuang itu tidak hanya aktif dalam pergerakan, tetapi juga masif dalam menciptakan narasi kemerdekaan.
Tan Malaka dan buku blue print Republik Indonesia
Naar de Republiek Indonesia adalah karya terpenting Tan Malaka. Karya ini mengukuhkan peran Tan Malaka sebagai konseptor pertama negara Republik Indonesia. Buku ini terbit pada tahun 1925, atau tiga tahun sebelum terjadi peristiwa Sumpah Pemuda 1928, yang berikrar tentang satu nusa, satu bangsa dan menjunjung bahasa persatuan Indonesia. Naar de Republiek Indonesia merupakan buku yang berisi tentang rancangan Republik Indonesia.
Dalam buku itu dibahas mengenai bentuk Negara, hingga struktur pemerintahan. Daya nalar Tan Malaka untuk merencanakan sebuah tata pemerintahan Indonesia yang merdeka bahkan melampaui jamannya.
Buku Naar de Republiek Indonesia terbit jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, 1945. Tulisan ini juga lebih awal dibanding karya Mohammad Hatta, yang berjudul Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka pada 1933.
Jika pada buku Naar de Republik Indonesia, Tan Malaka telah menciptakan pijakan konsepsional bagi lahirnya Republik Indonesia yang merdeka, segera di awal tahun 1926, menyusul buku Tan berikutnya, Masa Actie. Buku itu ditulis dan diterbitkan diam-diam dari tempat persembunyiannya di Geylang Serai, Singapura. Buku sepanjang 129 halaman ini disambut penuh gairah oleh kalangan nasionalis. Situasi memang sedang panas saat itu, gerakan antikolonialisme menggeliat di Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya di Hindia Belanda.
Massa Actie adalah minyak tanah yang membuat percik-percik perlawanan pada kolonialisme makin berkobar. Massa actie ini semacam buku panduan yang mengungkap sejarah ringkas akan arti sebuah imaji kedaulatan bernama Indonesia.
Di dalam Massa Actie, Tan membongkar takhayul bangsa jajahan dan mentalitas kuli. Tan Malaka menunjukkan kejahatan imperialisme, menyodorkan arti revolusi, dan membimbing bagaimana kekuatan rakyat bisa dimanfaatkan untuk mencapai tujuan besar.
Massa Actie adalah cetak biru revolusi massa menuju Indonesia merdeka. Bahkan Tan memperkenalkan kepada sesama rakyat di negeri terjajah akan pentingnya persatuan di bawah bendera Federasi Republik Indonesia, yang merupakan gabungan Indonesia Selatan, tempat bercokolnya Hindia Belanda, dan Indonesia Utara, alias Filipina, yang dijajah Amerika. Termasuk Semenanjung Malaka, yang ada di bawah kuasa Inggris.
”Mari kita satukan 100.000.000 yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan lalu lintas seluruh benua Asia dan samuderanya,” Tan menulis.
Tak pelak, buku Massa Actie menjadi bacaan wajib Soekarno, Hatta, Sjahrir, Soekarni, Soebardjo, Hadidjojo Nitimihardjo dan para aktivis pendiri republik lainnya.
Bahkan, seorang pemuda bertubuh ceking berwajah tirus bernama Wage Rudolf Supratman menggubah dan memainkan lagu Indonesia Raya terinspirasi dari bagian akhir buku Massa Actie. W.R. Supratman memasukkan kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk ”Khayal Seorang Revolusioner”.
Di situ Tan antara lain menulis, ”Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri…. Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.” (Dikutip dari laman FaceBook, 24/11/20)