Oleh: Novie Anggraeni
Sore yang sangat cerah menyelimuti hari ini. Sentuhan sinar orange tampak terlihat, dipadu dengan awan putih dan langit yang biru. Aku bersama keluarga akan pergi ke Sungai Pinyuh untuk berkunjung ke rumah Mama.
Tampak jalan begitu ramai dilalui mobil dan motor. Maklum saja, libur akhir pekan ditambah libur Hari Natal menjadi incaran untuk pergi liburan ataupun pulang kampung untuk bertemu sanak keluarga.
Aku hanya terdiam sambil sesekali melihat kondisi luar melalui kaca jendela mobil. Perjalanan kami baru sampai di Sungai Nipah, Jungkat.
“Lama Eni sekolah sini nih, 3 tahon lah…” ucap lelaki paruh baya yang duduk tepat di depanku itu. Matanya melirik sebuah gedung sekolah tingkat SMA yang berdiri kokoh di tepi jalan raya.
“Deli ndak maok die sekolah situ,” sambungnya menyindir adik laki-lakiku.
“Bukan tak maok Tok, tapi pas Deli nak daftar orangnye bilang tak bise,” jawabnya membela diri.
“Tapi rupenye banyak gak yang bise masok,” ucap Datok.
“Iye, udah didemo barulah diterima semue.” jawab bibiku yang biasa kupanggil Makya. “Kalo ndak gitu dimane budak-budak tuh nak sekolah!,” sambungnya.
Aku hanya terdiam mendengar pembicaraan mereka. Dalam hati aku juga berpikir tentang polemik sistem pendidikan saat ini.
Terlebih dalam penerimaan siswa yang terkadang mau tidak mau harus meniadakan ketentuan yang sudah berlaku karena desakan keinginan masyarakatnya.
Mobil kami melaju meninggalkan bangunan sekolah itu. Aku pun membetulkan posisi duduk sambil menatap kembali dari balik jendela. (*)