Oleh: Tuti Alawiyah
Pada suatu hari, seorang santri sebut inisialnya C, menyeret tubuhnya yang kelelahan. Ia berjalan menuju asramanya. Teman sekamarnya berinisial Kk dan Nn sudah dari tadi berada di kamar.
“Assalamu’alaikum” ucapnya sambil memegang gagang pintu, lalu mendorongnya.
“Wa’alaikumsalam” jawab mereka yang begitu pelan.
Langkah kaki terus berjalan menuju meja belajarku paling pojok dekat jendela. Hanya ada dua ruang yaitu ruang tidur sekaligus belajar dan ruang dapur. Seperti biasa ia menaruh tas, lalu duduk bersandar di ranjang melepas lelah. Tak lupa mengambil segelas air dan melihat Samsung Galaxy GTS7262 miliknya.
Berbicara seperti biasanya, mengungkapkan keadaan apa dan tentang apa yang ingin dikatakan kepada mereka, atau salah satu mereka menyampaikan sesuatu pembicaraan yang lucu, penting atau sebuah pertanyaan atau apalah itu.
Namun, pikirannya tetap sama seperti hari-hari biasanya. Kawannya tidak bisa rapi, segala barang-barangnya seperti tas, kaos kaki, buku-buku tulis maupun pelajaran berserakan di mana-mana.
“Simpanlah barang kalian di tempat yang sesuai, jangan diletakkan di atas tempat tidur, apalagi di dekat pintu!” Kata itu yang ingin sekali ia katakan.
“Cucilah piring atau bekas kalian pakai makan tuh!” Kata itu juga yang ingin sekali ia katakan ke mereka setelah melihat tumpukan piring, gelas dan sebagainya berada di tempat pencucian.
Keadaan tersebut nampaknya sepele, tak perlu dipermasalahkan. Tapi, bagaimana jika perbuatan tersebut membuat orang lain resah risau, merasa dirugikan atau merasakan sakit hati.
Hal demikian terkadang membuat mereka mengalami situasi tegang, penuh emosi dan hanya diam-diaman saja. Seolah telah bertengkar mulut secara hebat. Tapi, hanya dalam diam. Mereka tidak memungkinkan untuk mengobrol, apalagi bercanda. Bisa dibilang mereka penganut slogan “Diam itu emas”
Cerita di atas mengingatkan saya tentang budaya sungkan. Sungkan diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai malas, enggan, merasa tidak enak hati dan menaruh hormat serta segan. Dan ada yang mengatakan budaya sungkan lahir dari suatu unsur feodalismenya.
Hubungan antar manusia ditentukan oleh peran yang mereka miliki. Ada hubungan secara vertikal dan secara horizontal. Dalam hubungan vertikal ini, misalnya murid dengan gurunya, anak dengan orang tuanya. Sedangkan hubungan secara horizontal, misalnya antar sesama atau sebaya yaitu sesama mahasiswa atau sesama pengawai negeri dan lainnya.
Dari relasi antar manusia itulah terjadi komunikasi yang penuh kesungkanan. Seperti seorang anak tidak boleh mengkritik orang tuanya karena bisa “Pamali”. Dan seperti cerita di atas seseorang yang enggan berterus terang saat melihat seuatu yang tidak baik dilakukan oleh temannya.
Satu hal yang perlu kita sadari bersama bahwa budaya sungkan memang sangat diperlukan untuk mempererat hubungan antar masyarakat dan untuk menjaga keharmonisan. Namun dalam hidup bersama atau pun tinggal bersama haruslah ada keterus-terangan walaupun pahit. Suatu saat itu akan berbuah manis dan jika berpikir positif itu akan membangun. Janganlah segan-segan untuk mengatakan apa-apa yang kurang dan harus diperbaiki. Budaya ini sangat tidak baik jika dilakukan secara berlebihan. Semoga kita dapat mempraktekkan budaya terus terang dan mempraktekan budaya sungkan sewajarnya saja. (*)