Oleh: Saripaini
Tanah, batu dan air berkolaborasi menjadi satu tak ubah adonan kue. Becek, licin, lubang di sana sini, sudah biasa bagi warga Parit Deraman Hulu. Bukan baru-baru ini tapi sejak dulu. Sejak 3 atau 4 tahun lalu setelah pembangunan jalan yang dibangun pada tahun 2010 rusak, setelah itu tak banyak perbaikan yang dilakukan. Bisa dikatakan bahwa ini adalah salah satu jalan terparah yang ada di desa Punggur Kecil.
Bukan karena tak peduli atau orang-orang terlahir di sana adalah para pejuang tangguh yang tak peduli dengan infrastuktur jalan yang dilalui, banyak upaya yang mereka lakukan bahkan mereka rela merogoh uang dari dalam kantong pribadi untuk memperpanjang jalan semen (dulu sebelum tahun 2010 semuanya tanah), dan memperbaiki jalan sekarang tidak lagi karena sudah terlalu parah, sekarang hanya bergotong royong menimbus lubang yang dilakukan 2 kali sebulan.
Tak sedikit orang yang tahu bagaimana kondisi jalan yang rusak parah di tempat itu, tapi tahu saja sepertinya tak cukup, salah seorang perwakilan warga harus datang dengan membawa proposal jika tidak, bantuan tak akan datang kecuali sisa di akhir tahun. Sepertinya proposal memang tak pernah datang dari warga Parit Deraman Hulu, karena ketidakpahaman mereka mengenai hal tersebut. Mereka hanya mengandalkan lisan dan orang pun tahu bahkan melihat sendiri bagaimana kondisinya.
Anak-anak berangkat ke sekolah SD, SMP, SMA dan mahasiswa, orang dewasa pergi bekerja semuanya akan melalui jalan itu. Tak ada pilihan lain kecuali jalan becek sepanjang 2 KM. Mereka sudah terbiasa bahkan menikmati. Mencuci motor setiap pagi, menjinjing alas kaki setiap pagi, tepatnya setiap pagi di musim hujan.
Hujan itu rahmat dari Allah maka hujan tak salah, jalan yang rusak tak tahu apa-apa maka jalan tak salah. Warga tak salah karena mereka tak paham. Tak ada yang salah dan mencari siapa yang salah itu tak penting dan tak bermanfaat.
Punggur Kecil, 06 Februari 2018