Oleh: Turiman Fachturahman Nur,SH,M.Hum
Demi kejujuran dan kesadaran sejarah, perjalanan hukum Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) hingga terbentuknya Provinsi Kalimantan Barat perlu dipahami bersama. Sejarah adalah cerminan masa lalu yang tak bisa diulang. Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sezaman sebagai “rekam memori” yang krusial.
Mengungkap sejarah menuntut kejujuran dan kesadaran sejarah. Kesadaran ini merupakan sikap jiwa atau mental yang menjadi kekuatan moral untuk mengukuhkan nurani bangsa, belajar dari pengalaman masa lampau, dan menghadap masa kini serta masa depan dengan kearifan dan kebijaksanaan.
Proklamator kita, Bung Karno, pernah mengutip Sir John Seeley, sejarawan Inggris, dalam bukunya The Expansion of England: “History ought surely in some degree to anticipate the lesson of time. We shall all no doubt be wise after the event we study history that we may be wise before the event.” Maknanya, “semua kejadian dalam sejarah mengandung pelajaran, dan kita semua menjadi bijaksana setelah suatu peristiwa sejarah terjadi”—ini adalah logis. Kita tidak boleh tersandung dua kali pada tiang yang sama, melainkan harus bijaksana sebelum suatu peristiwa terjadi.
Kedudukan Hukum Kalimantan Sebelum Kemerdekaan
Berikut adalah fakta objektif mengenai sejarah hukum DIKB dalam tatanan ketatanegaraan Republik Indonesia. Secara yuridis, sebelum kemerdekaan, seluruh wilayah Kalimantan berada di bawah kekuasaan Pemerintah Angkatan Laut Jepang, yaitu Borneo Meinseibu Cokan (1942–Agustus 1945), yang berpusat di Banjarmasin.
Khusus Kalimantan Barat berstatus “Meinseibu Syuu”. Sebelum pemulihan kedaulatan, para Raja atau Sultan di Bumi Khatulistiwa (dengan kode area 0561, yang secara filosofis bermakna “bersihkan dirimu dengan Rukun Islam dan Rukun Iman dan kembali ke Tauhid” menurut ulama atau wali Allah) mencatat “tinta emas”. Semangat inilah yang melahirkan Keputusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 Nomor 20 L. Keputusan ini membagi wilayah menjadi 12 Swapraja dan 3 Neo-Swapraja:
- Swapraja: Sambas, Pontianak, Mempawah, Landak, Kubu, Matan, Sukadana, Simpang, Sanggau, Sekadau, Tayan, Sintang.
- Neo-Swapraja: Meliau, Nanga Pinoh, Kapuas Hulu.
Keputusan para Raja atau Sultan di Kalimantan Barat tersebut kemudian membentuk ikatan federasi bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Keputusan ini disahkan secara hukum oleh Residen Kalimantan Barat melalui surat keputusan tanggal 10 Mei 1948 Nomor 161. Pada tahun yang sama, keluar Besluit Luitenant Gouverneur Jenderal tanggal 2 Mei 1948 Nomor 8 (Staatblad Lembaran Negara 1948/58) yang mengakui Kalimantan Barat sebagai Daerah Istimewa dengan Pemerintahan Sendiri beserta sebuah “Dewan Kalimantan Barat.”
DIKB Bukan Bentukan Belanda: Peran Sultan Hamid II
Berdasarkan rangkaian ketatanegaraan di atas, adalah tidak benar bahwa DIKB merupakan bentukan Pemerintah Belanda, seperti yang ditulis oleh beberapa sejarawan. Mengapa para Raja atau Sultan di Borneo Barat bergabung ke dalam DIKB? Karena Kalimantan Barat merasa tidak ikut dalam Perjanjian Renville.
Pada masa itu, jika Kalimantan Barat ingin membentuk negara di luar RI, sebenarnya bisa saja. Bahkan, Sultan Hamid II pernah ditawari oleh Kerajaan Sarawak, Kuching, Malaysia Timur, namun beliau menolak. Inilah semangat nasionalisme Sultan Hamid II yang kerap tidak terungkap dalam sejarah negara ini, serupa dengan sumbangsihnya dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 dan sebagai Perancang Lambang Negara RI pada tahun 1950.
Dalam KMB, Sultan Hamid II sebagai wakil BFO dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Republik Proklamasi 17 Agustus 1945 Yogyakarta bersepakat membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Pertanyaan bagi para sejarawan: jika Sultan Hamid II tidak menandatangani hasil KMB di Den Haag, apakah Belanda secara hukum internasional akan mengakui kedaulatan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad Hatta? Mengapa jasa Sultan Hamid II sebagai “strategis politis” tidak diangkat, di mana secara tidak langsung Pemerintah Belanda sebagai penjajah mengakui secara yuridis Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diwakili Mohammad Hatta? Inilah fakta objektif secara hukum ketatanegaraan mengenai DIKB.
Secara objektif, DIKB dalam Konstitusi RIS 1949 Pasal 1 dan penjelasannya jelas dinyatakan sebagai Daerah Bagian, bukan negara bagian. Menurut penjelasan Konstitusi RIS 1949, DIKB termasuk dalam perumusan satuan-satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, seperti Dayak Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Banjar. Jadi, secara yuridis ketatanegaraan, DIKB bukan negara bagian, tetapi Satuan Kenegaraan yang berdiri sendiri yang merupakan Daerah Bagian RIS. Ini setara dengan Negara Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 yang berkedudukan ibu kotanya di Yogyakarta. Fakta ini jarang diangkat secara objektif dalam penulisan sejarah DIKB yang digagas secara brilian oleh para leluhur Raja atau Sultan di Borneo Barat atau Kalimantan Barat.
DIKB Tidak Pernah Dibubarkan Secara Hukum Tata Negara
Secara Hukum Tata Negara, DIKB tidak pernah dibubarkan. Jika pada saat itu ada demonstrasi di Pontianak terhadap Sultan Hamid II yang berujung pada pembubaran DIKB, secara yuridis ketatanegaraan, hal itu adalah “kebohongan sejarah”. Demonstrasi yang dimotori oleh anak-anak muda, salah satunya almarhum Ibrahim Saleh, terjadi karena perbedaan visi dan tingkat pendidikan, serta kurangnya pemahaman mengapa para Raja atau Sultan di Borneo Barat sepakat mendirikan DIKB.
Pembentukan DIKB ini didukung oleh Sultan Hamid II, yang berkedudukan sebagai Raja Kesultanan Pontianak (1945–1976) dan saat itu sebagai Gubernur DIKB. Berbagai kesultanan di Kalimantan Barat hingga kini masih eksis dan didukung oleh tokoh adat serta masyarakat. Para Raja atau Sultan memiliki pandangan visioner ke depan, dan manfaatnya baru kita rasakan sekarang. Bukti pemekaran beberapa kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat, salah satu proposalnya, menyatakan bahwa daerah tersebut adalah bekas Swapraja atau Neo-Swapraja sebagai faktor historis, yang notabene adalah bekas wilayah DIKB. Fakta hukum objektif ini belum pernah diangkat oleh sejarawan.
Alasan para demonstran terhadap Sultan Hamid II saat berkunjung ke Pontianak adalah karena Sultan Hamid II beristrikan wanita Belanda (keponakan Wilhelmina), dan DIKB dianggap sebagai sisa peninggalan pemerintahan Belanda. Pertanyaan bagi sejarawan hukum tata negara: apakah secara yuridis DIKB, yang didirikan oleh para Raja atau Sultan di Kalimantan Barat berdasarkan Keputusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 Nomor 20 L (dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo-Swapraja) dan diakui secara konstitusional pada Pasal 1 Konstitusi RIS 1949, adalah sisa peninggalan pemerintahan Belanda? Adalah naif jika dipahami oleh sejarawan tanpa analisis pendekatan Sejarah Hukum Ketatanegaraan Pemerintahan berdasarkan fakta hukum yang dikonstruksi secara objektif tentang DIKB.
Secara objektif, desakan demonstrasi kepada Sultan Hamid II untuk membubarkan DIKB terjadi karena perbedaan visi antara kaum muda yang dimotori kepentingan politis dan tidak mengerti pandangan para Raja atau Sultan saat itu, serta pandangan Sultan Hamid II tentang maksud pendirian DIKB. Bacalah secara lengkap Pledoi Sultan Hamid II pada Sidang Mahkamah Agung tanggal 23 Maret 1953. Mengapa pandangan Sultan Hamid II terhadap maksud pendirian DIKB tidak diangkat ke permukaan oleh sejarawan? Tulislah sejarah secara objektif dengan fakta historis yuridis jika mengangkat sejarah Tata Pemerintahan yang berkaitan dengan DIKB. Bangunlah fakta sejarah dengan konstruksi sejarah hukum melalui analisis objektif.
Apakah DIKB “Pernah Bubar” Secara Hukum Tata Negara?
Untuk mengatasi “titik krusial” desakan tersebut, berdasarkan Keputusan Dewan Kalimantan Barat tanggal 7 Mei 1950, Nomor 234/R dan 235, baik Badan Pemerintahan Harian DIKB maupun pejabat Kepala Daerah DIKB menyerahkan wewenangnya kepada Pemerintah Pusat RIS yang diwakili oleh seorang Pejabat berpangkat Residen. Jadi, tidak ada pembubaran oleh Dewan Kalimantan Barat terhadap status hukum DIKB, karena DIKB secara konstitusional diakui secara hukum ketatanegaraan berdasarkan Pasal 1 Konstitusi RIS 1949.
Selanjutnya, untuk menampung hal ini, Menteri Dalam Negeri RIS dengan Surat Keputusan 24 Mei 1950 Nomor B. Z 17/2/47 menetapkan bahwa hak-hak dan kewajiban pemerintahan yang diserahkan tersebut untuk sementara dijalankan oleh seorang Residen Kalimantan Barat yang berkedudukan di Pontianak, berdasarkan Pasal 54 Konstitusi RIS. Jadi, status hukum DIKB belum bubar, hanya diambil alih oleh Residen Kalimantan Barat berdasarkan Konstitusi RIS Pasal 54. Mengapa hal ini juga tidak diangkat oleh sejarawan? Bahkan, terlalu berani menyatakan bahwa DIKB telah bubar. Dari mana dasar hukumnya dari sisi Hukum Tata Negara? Hati-hati, seorang sejarawan telah melakukan “kebohongan sejarah” dan melukai “suara hati” para leluhur, yaitu para Raja dan Sultan di Kalimantan Barat yang tergabung dalam DIKB kala itu. Para keturunan mereka telah membentuk ikatan persatuan para Raja se-Indonesia/Nusantara. Sejarawan tersebut bisa diklaim telah melakukan “kebohongan sejarah DIKB”. Hendaknya objektif dalam menulis sejarah, tanyakan kepada ahlinya jika tidak mengetahui, sebagaimana pesan Rasulullah SAW kepada para sahabat.
Pada tahun 1950, keluar Peraturan Pemerintah RIS Nomor 2/1950 tanggal 4 Agustus 1950 yang menetapkan bahwa seluruh Kalimantan, kecuali Daerah Jajahan Kerajaan Inggris, menjadi satu daerah Provinsi administratif. Dengan demikian, secara Hukum Tata Negara, Kalimantan Barat secara administratif merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan di bawah pemerintahan Gubernur yang berkedudukan di Banjarmasin. Ini berarti Kalimantan (tanpa Kalimantan Barat yang berstatus DIKB) dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang terdiri dari:
- Daerah Bagian Kalimantan Timur (Keputusan Presiden RIS No. 127 tanggal 24 Maret 1950)
- Banjar (Keputusan Presiden RIS No. 13 tanggal 4 April 1950)
- Dayak Besar (Keputusan Presiden RIS No. 138 tanggal 4 April 1950)
- Kota Waringin (Keputusan Presiden RIS No. 140 tanggal 4 April 1950)
Semua daerah ini menggabungkan diri dengan Negara Bagian Republik Indonesia 17 Agustus 1945 Yogyakarta. Pemerintah RIS mengangkat seorang Gubernur sebagai pejabat pemerintahan tertinggi atas wilayah hukum seluruh Kalimantan, terkecuali Kalimantan Barat sebagai DIKB. Kedudukan Residen di Pontianak bersama Residen Banjarmasin dan Samarinda dihapus atau diambil alih oleh Gubernur, yaitu di bawah Gubernur yang baru dengan sebutan masing-masing sebagai Residen Koordinator.
Pertanyaan untuk sejarawan: apakah DIKB secara Hukum Tata Negara “bubar” berdasarkan Konstitusi RIS 1949? Secara objektif berdasarkan fakta hukum, bukan fakta hasil demonstrasi ketika Sultan Hamid II berkunjung ke Pontianak, DIKB tidak pernah bubar. Fakta inilah yang harus dikonstruksi kembali oleh sejarawan Kalimantan Barat dengan pendekatan sejarah hukum agar lebih objektif dan ilmiah.
Perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia kemudian memasuki UUDS 1950 yang berbentuk negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950. Maka, secara konstitusi, DIKB sebagai Daerah Bagian RIS atau sebagai Kesatuan Kenegaraan berdasarkan Pasal 1 Konstitusi RIS 1949 hapus. Hak dan kewajiban Pemerintahan yang dijalankan oleh DIKB jatuh kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah UUDS 1950. Namun, Residen tetap di pos Pontianak sebagai Pegawai Pejabat Pemerintahan Negara Kesatuan. Artinya, para pejabat di masa DIKB berubah status sebagai pegawai atau pejabat Pemerintah Negara Kesatuan, dan Bapak Jimmi Ibrahim adalah salah satunya.
Dengan demikian, DIKB yang pernah didirikan berdasarkan Keputusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 Nomor 20 L (dibagi dalam 12 Swapraja dan 3 Neo-Swapraja) menjadi hapus secara konstitusional, sedangkan hak-hak dan kewajiban pemerintah dikembalikan kepada anggota-anggota federasi DIKB. Fakta hukumnya, para Raja menjadi pejabat atau pegawai Pemerintahan Negara Kesatuan di bawah UUDS 1950.
Pada tahun 1951, keluar Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Tanggal 8 September 1951 Nomor Pem 20/6/10 yang menyatakan bahwa cakupan ketentuan pembagian administratif Daerah Kalimantan Barat atau DIKB, yang dahulu dikenal dengan “Residentie Westerafdeling van Borneo”, dibagi menjadi enam Daerah Kabupaten administratif, yaitu:
- Kabupaten Pontianak
- Kabupaten Ketapang
- Kabupaten Sambas
- Kabupaten Sintang
- Kabupaten Sanggau
- Kabupaten Kapuas Hulu
- Sebuah daerah Kota Administratif Pontianak
Berdasarkan ketentuan di atas, Kalimantan Barat yang dahulu DIKB menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan dan dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Pontianak. Residen ini merupakan subordinat Gubernur Kalimantan yang berkedudukan di Banjarmasin. Jadi, secara Hukum Tata Negara, Residen Kalimantan Barat di Pontianak bukan seorang Residen pendukung hak dan tugas sendiri, melainkan hanya melaksanakan tugas koordinator dengan sebutan “Residen Koordinator”. Hal ini belum pernah diangkat sebagai fakta sejarah hukum DIKB.
Terbentuknya Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat
Pada tahun 1953, keluar Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1953 yang mulai berlaku dari tanggal 7 Januari 1953. UU ini mengacu atau berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1948. Pasal 1 UU Darurat tersebut menyatakan bahwa Daerah Provinsi Kalimantan yang bersifat administratif, seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21/1950 (yaitu DIKB), kemudian dibentuk sebagai Daerah Otonom Provinsi Kalimantan yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri.
Pada tanggal 7 Januari 1953, UU Darurat Nomor 2 Tahun 1953 tentang Pembentukan Resmi Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten/Kota Besar dalam Lingkungan Daerah Provinsi Kalimantan Barat diberlakukan.
Kemudian, untuk melaksanakan UU Darurat Nomor 2 Tahun 1953, Pemerintah RI mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 yang disahkan pada tanggal 26 Juni 1959. Perlu diketahui, pada tahun 1956, daerah-daerah otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur mencabut UU Darurat Nomor 2 Tahun 1953. Ini berarti secara Hukum Tata Negara, UU Nomor 25 Tahun 1956 ini memecah Provinsi Kalimantan menjadi tiga Provinsi Otonom.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Des 52/10/56 tanggal 12 Desember 1956, UU tersebut ditetapkan mulai berlaku pada 1 Januari 1957. Dengan demikian, secara “de jure” atau secara Hukum Tata Negara, sejak tanggal 1 Januari 1957, secara yuridis formal Kalimantan Barat menjadi Daerah Otonom Provinsi. Oleh karena itu, sangat tepat jika HUT Pemerintahan Provinsi Kalimantan Barat jatuh pada tanggal 1 Januari setiap tahun, walaupun secara “de facto” di Banjarmasin diselenggarakan serah terima dari Gubernur/Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Adapun wilayah Kalimantan Barat, yang dahulu merupakan wilayah DIKB, meliputi daerah swatantra Kabupaten Sambas dan Pontianak, sebagaimana ditetapkan oleh UU Darurat Nomor 3 Tahun 1953, demikian dipaparkan dalam risalah Tanjungpura Berjuang, 1970, oleh SENDAM XII/Tanjungpura.
Penutup: Kejujuran Sejarah dan Masa Depan Kalimantan Barat
Mengacu pada paparan sejarah hukum ketatanegaraan DIKB hingga terbentuknya Provinsi Kalimantan Barat, secara fakta hukum tata negara DIKB tidak pernah dibubarkan sampai berlakunya UUDS 1950 pada tanggal 17 Agustus 1950. Sangat disayangkan bahwa penulisan sejarah Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat telah dicederai oleh seorang yang mengaku sejarawan Kalimantan Barat, yaitu Syafaruddin Usman, yang menyatakan bahwa DIKB dibubarkan setelah ada demonstrasi kepada Sultan Hamid II. Seharusnya beliau memohon maaf kepada seluruh masyarakat Kalimantan Barat, lebih khusus kepada kerabat Raja-Raja atau Sultan yang dahulu leluhurnya pernah mendirikan Federasi sebagai Kesatuan Kenegaraan (bukan negara bagian RIS 1949) yang diakui secara konstitusional berdasarkan Pasal 1 Konstitusi RIS 1949 dan tak pernah dibubarkan secara hukum tata negara.
Tulislah sejarah seobjektif mungkin, jangan melakukan “kebohongan sejarah di publik Kalimantan Barat” tanpa analisis sejarah yang didukung fakta hukum, apalagi yang ditulis adalah sejarah DIKB yang merupakan ranah Sejarah Hukum Ketatanegaraan.
Sekali lagi, patut disadari bersama oleh anak bangsa bahwa sejarah adalah urusan dengan masa silam, kejadian-kejadian yang telah lewat dan tidak mungkin diulang kembali. Penelusuran sejarah memerlukan bukti-bukti sezaman sebagai “rekam memori” yang sangat penting dan diperlukan dalam pembuktian sejarah. Untuk mengungkapkannya perlu adanya kejujuran dan “kesadaran sejarah”, karena kesadaran sejarah itu adalah sikap kejiwaan atau mental attitude dan state of mind yang merupakan kekuatan moral untuk meneguhkan hati nurani kita sebagai bangsa dengan hikmah kearifan dan kebijaksanaan, dalam menghadapi masa kini dan masa depan dengan belajar dan bercermin kepada pengalaman-pengalaman masa lampau.
Itulah hikmah kearifan dan kesadaran sejarah. Pernyataan itu selaras dengan ungkapan bersayap, bahwa sejarah harus dijadikan motor penggerak bagi hari depan suatu bangsa, dan hanya bangsa yang besarlah yang mau menghargai sejarah bangsanya. “Tanpa ingatan akan sejarahnya di masa yang lampau setiap bangsa tidak mengerti arti sejarahnya hari sekarang dan tidak akan mempunyai pegangan untuk hari depannya,” demikian yang dinyatakan Roeslan Abdul Gani dalam buku Arsip dan Kesadaran Sejarah, 1979 halaman 2.
Semoga Allah memberikan rahmat dan pembuktian nyata kepada siapa saja yang melakukan “kebohongan-kebohongan sejarah”, dan ampunan dari Allah terbuka lebar bagi manusia. Semoga para Raja atau Sultan yang pernah mengukir tinta emas berdirinya Daerah Istimewa Kalimantan Barat/DIKB di bumi Khatulistiwa Kalimantan Barat mendapat balasan. Akhirnya, pengamatan terhadap sikap dan perilaku seseorang tetaplah menjadi sesuatu yang belum pasti. Biarlah hal ini tetap menjadi misteri, dan hanya Allah SWT sajalah yang mengetahui niat para Raja atau Sultan ketika mendirikan DIKB yang ternyata saat ini banyak mengandung manfaat dalam perjalanan sejarah pemerintahan daerah di Kalimantan Barat, yaitu pengulangan sejarah DIKB dalam bentuk lain. Ini terlihat dalam perjuangan pemekaran berbagai kabupaten di wilayah Provinsi Kalimantan Barat kepada Pemerintah RI dengan mengulang bekas swapraja dan neo-swapraja DIKB yang berjumlah 12 Swapraja dan 3 Neo-Swapraja. Jadi, kita berhak untuk melakukan pemekaran kabupaten menjadi 15 Kabupaten di wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Selamat berjuang DIKB dalam bentuk lain.
(Penulis adalah Expert Hukum Tata Negara UNTAN dan pernah menulis Sejarah Hukum Lambang Negara RI sebagai Tesis UI, 1996).