teraju.id, Pontianak – Kota Pontianak ditetapkan sebagai “Siaga 1” dengan ketentuan “tembak di tempat” bagi siapa saja yang terbukti melakukan kerusuhan.
Hal ini dilandasi oleh beredarnya kabar akan terjadinya demonstrasi besar-besaran disusul aksi penyapuan alias sweeping maupun penjarahan kepada kelompok serta kalangan tertentu di jalan-jalan tertentu. Suasana pun mencekam. Khususnya di sosial media. Dan hal itu dibenarkan dengan pengerahan personil polisi serta TNI yang berselempangkan senjata api laras panjang di wilayah pecinan, perdagangan, perbankan, serta perkantoran.
***
Jumat, 20/1/17 pagi matahari menyapa Kota Khatulistiwa dengan sumringah. Warga beraktivitas sebagaimana biasanya, di mana pelajar berangkat masuk sekolah dan pegawai menuju kantor seperti hari-hari sebelumnya. Jalan raya penuh pada jam-jam macet dan pertokoan serta warung-warung kopi tetap melayani konsumennya. Mereka tak terpengaruh dengan silang sengketa isu maupun reaksi tegas penegak keamanan.
“Bagaimana Bui? Suasana aman?” Begitu saya bertanya kepada Abui, warga Tionghoa di Purnama yang bekerja sebagai pengantar air galon. Ia dengan penuh semangat bekerja seraya senyum menjawab, “Aman Pak. Namun penjagaan ekstra ketat. Banyak polisi dan tentara bersenjata di Gajahmada dan Flamboyan sampai ke Jalan Purnama,” ungkapnya.
Saya tidak heran dengan ungkapan Abui tersebut, karena di sosial media sudah keras sekali pembicaraan soal kecemasan akan gangguan keamanan. Tak pelak, Ketua Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan Barat, Prof Dr Chairil Effendy pun sudah meminta agar seruan damai dan menjaga kondusifitas perdamaian yang berasal dari MABM diviralkan. Begitupula aliansi damai ANPRI (Aliansi untuk Perdamaian dan Transformasi) segera menelurkan sejumlah point yang berisi merekatkan kebersamaan dan kegotongroyongan sembari menepis isu-isu bersifat hoax/sampah.
Dua hari sebelumnya, Pendeta Daniel Alpius mengabari saya bahwa ada pertemuan para tokoh agama bersama Kapolda di Hotel Mercure. Dan Pendeta Daniel merasa was-was dengan situasi yang rentan pecah serta menimbulkan banyak korban di mana mereka tak mengerti apa-apa. Kalbar ini punya sejarah kelam dengan konflik etnis. Ribuan nyawa melayang. Ribuan rumah terbakar. Ratusan ribu mesti mengungsi.
Aktivis lingkungan, Demanhuri Gustira yang sedang berada di luar kota (pedalaman) mengaku kaget bahwa Kota Pontianak ditetapkan sebagai “Siaga 1”, ada apa? Begitu dia menulis di grup diskusi WhatsApp. Dia menyentil bahwa keretakan sosial sebenarnya bukanlah disebabkan karena faktor suku dan agama–sebagaimana kasus “salah paham” atas penolakan Tengku Zulkarnain di Bandara Soesilo–melainkan perebutan sumber-sumber ekonomi beralaskan sumber daya alam.
“Banyak lahan warga Melayu atau Dayak diserobot tanpa ganti rugi. Silahkan dicek di lapangan. Mereka semua adalah korban. (Melayu identik dengan Islam dan Dayak identik dengan Kristen). Diskusi pun berkembang ke kapitalisme ekonomi dan pelariannya adalah religi.
Di tempat lain, Wahyu Chundrik Pamungkas, mantan Ketua Remaja Masjid Mujahidin Pontianak merisaukan, kenapa Masjid Raya Mujahidin setelah renovasi besar-besaran dua tahun silam justru bertumbuh sebagai wadah aksi politik? “Masjid Raya Mujahidin menjadi tempat aksi politik tanpa baju,” ungkapnya.
Hal ini ditengara akibat banyaknya aksi dengan mengambil tempat di halaman masjid terbesar Kalbar itu khususnya setelah waktu shalat Jumat.
Kebetulan dua Jumat terakhir ini ada aksi. Aksi itu bernama Bela Ulama Bela Islam. Sebuah gerakan yang terakhir, Jumat (20/1/17) berwujud Aliansi Umat Islam Kalimantan Barat Bersatu berisi 16 ormas Islam.
Aksi Bela Ulama Bela Islam ini sebagai respon dari aksi sebelumnya di Bandara Soesilo, Kota Sintang (400 km dari Kota Pontianak) pada Kamis 12/1/17 yang dilakukan Pemuda Dayak dalam rangka menolak kehadiran “oknum FPI” yang ternyata adalah Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Prof Dr Tengku Zulkarnain. Mereka menolak kehadiran FPI, Padahal yang datang adalah Wasekjen MUI, bukan FPI. Dan masalah kesalahpahaman ini telah selesai dengan permohonan maaf Ketua Dewan Adat Dayak Kota Sintang. Kota Sintang sendiri tidak ada gejolak dan memang kota ini sejak dulu selalu aman dari pertikaian. Termasuk konflik etnis.
Tokoh agama, Solihin dari Muhammadiyah di hadapan Kapolda Kalbar mengakui bahwa dia telah bertemu Ketua Dewan Adat Dayak Sintang Jefray Edward sehari setelah kejadian penolakan Tengku Zulkarnain di Sintang. “Beliau telah menyampaikan permohonan maaf dan bercerita banyak kepada kami,” tutur Solohin.
Sementara Kapolda Kalbar Brigjen Musyafak mengutip Tengku Zulkarnain di detik.com bahwa aksi penolakan terhadap dirinya tidak dipersoalkan. “Beliau tidak membuat laporan atas tindakan tidak menyenangkan dan telah memaafkan kesalahpahaman tersebut.” Apalagi setelah penolakan yang terjadi di Bandara Soesilo, Tengku Zulkarnain kembali hadir ke Sintang atas undangan Bupati dr Jarot Winarno dan beliau pun berdakwah di Negeri Senentang tersebut dengan aman. Situasi Sintang kondusif.
***
Sesuai dengan info yang beredar bahwa akan ada aksi demo besar-besaran berpusat di Masjid Raya Mujahidin selepas ibadah salat Jumat, 20/1/17 maka saya turut hadir untuk mendengarkan isi khutbah. Ternyata isi khutbah tidak menyinggung prihal ulama dan penistaan. Khatib menyampaikan pesan ubudiyah yang sangat personal kepada Allah SWT di mana setiap insan mesti ikhlas. Imam pun membacakan ayat Quran yang berisi bahwa orang-orang baik akan masuk ke syurga secara berombong-rombongan. QS Az Zumar.
Setelah zikir dan doa dan jamaah bubar, barulah terdengar orasi dari halaman masjid. Di sana massa berkumpul sekitar 200-500 orang. Namun lambat laun massa menjadi ramai hingga waktu Ashar. Seusai salat Ashar massa yang lebih dari 1000 orang itu bergerak menuju Polda Kalbar. Dari waktu menunggu tersebut orasi berisi ulasan hukum, sosiologi dan agama tentang penolakan yang terjadi di Bandara Soesilo, salawatan dan juga sesekali terdengar pekik Allahu Akbar.
***
Saya sempat meninggalkan keramaian aksi dan orasi di halaman Mujahidin dengan tujuan keliling kota seraya cek situasi. Ternyata apa yang disampaikan Abui si pedagang air galon Purnama itu benar. Sejumlah personil diplot di lokasi perdagangan, pecinan dan perkantoran. Mobil Dalmas siaga di berbagai sudut kota. Polisi dan tentara memanggul senapan. Wajar suasana mencekam. Oleh karena itu juga ada bos-bos yang menyewa “centeng” dalam menjaga bisnisnya agar tetap aman.
Kendati Kota Pontianak mencekam, namun kesiap-siagaan aparat menjadi jaminan warga untuk beraktivitas normal. Sampai ke Jl Tanjungraya dan Jl Tanjung Hulu semua pergerakan massa masyarakat tampak normal di antara kendaraan dan penjagaan. Saya sendiri yakin bahwa tidak akan pecah huru-hara. Sebab, isu jika ditepis dengan keseriusan menjaga keamanan, dan menjadi perhatian bersama, maka “pencoleng” tak akan berani buat aksi rusuh. Dalam hal ini tindak tegas aparat berupa status “Siaga 1” pantas diacungi jempol.
Saya baru masuk ke jalur Jalan Ahmad Yani pada pukul 15.30 bertepatan dengan keluarnya massa dari Mujahidin seusai Ashar. Mereka bermobil dan kendaraan roda dua. Sebagian besar pakai peci dan ikat kepala warna kuning. Ada poster bertuliskan Bela Ulama Bela Islam.
Iring-iringan massa begitu panjang. Saya taksir massa mencapai 1500 orang. Namun tetap tertib walau ada yang tak pakai helm dan seorang di antaranya diamankan aparat karena membawa senjata api Air Soft Gun. Di antara pergerakan massa yang membelah jalan protokol saya melihat fotografer profesional berlari-lari mengambil momen. Paling istimewa tentunya dari jembatan yang sedang dibangun di depan Ayani Mega Mall.
Penjagaan di sepanjang jalur Jalan Ahmad Yani yang menghubungkan Mujahidin dengan Polda sejauh 4 km sangat kentara. Semua bersenjata, berpentungan dan bertameng. Hanya Polwan yang tampil cantik dengan balutan rompi warna hijau muda alias hijau dangdut. Kehadiran mereka membuat suasana sedikit lembut dan wangi.
Massa memarkir kendaraan di Gedung Zamrut Khatulistiwa dan sekitarnya. Dan jalanan pun macet tak terkira. Hal ini disebabkan aksi long march dari Zamrut ke Polda sejauh 500 meter dan ramainya warga menonton dari pinggir jalan. Massa diarahkan ke halaman hijau Mapolda. Di sana mereka dikelilingi aparat bertameng dan sejumlah anjing herder.
Tepat pukul 17.00 sebanyak 16 perwakilan aliansi diterima di ruang lobby Mapolda Kalbar. Mereka diterima para direktur di jajaran Polda, sementara Kapolda duduk di tepi ruangan. Komandan polisi nomor satu di Kalbar ini hendak memberikan kesempatan kepada tim yang telah dibentuknya sepekan silam untuk menjelaskan bagaimana penanganan kasus Bandara Soesilo Sintang.
Direskrimum di hadapan perwakilan massa menjelaskan ada tiga pelanggaran hukum yang terjadi di Bandara Soesilo yang dilakukan oleh 30-an Pemuda Dayak. Pertama kelakuan tidak menyenangkan kepada Tengku Zulkarnain. Kedua, membawa senjata tajam jenis mandau sehingga melanggar UU Darurat. Ketiga memasuki area vital run way bandara yang terlarang. “Dua pelanggaran hukum wilayah kerja kami di Polri. Yang terakhir domain Perhubungan.”
Tim bentukan Kapolda telah memeriksa 8 orang saksi. Namun agaknya Tengku Zulkarnain terlebih dahulu telah memaafkan tindak tidak menyenangkan sehingga 30-an orang itu terlepas dari jerat hukum. Adapun yang kedua, yakni pelanggaran UU Darurat, di mana mereka membawa senjata tajam bisa terlepas dari jerat hukum pula karena dalam suasana upacara adat. Adapun yang ketiga, domain Perhubungan belum ada konfirmasi.
***
Ke-16 perwakilan massa berbicara hanya 6 orang. Intinya mereka minta pelaku penolakan dakwah tengku Zulkarnain ditangkap agar ada efek jera dan tegaknya supremasi hukum. Sebab bisa terjadi suatu waktu selain ulama ditolak berdakwah, juga pendeta dan uskup. Untuk itu tokoh agama minta penegakan hukum.
Perwakilan tokoh agama juga menyampaikan bahwa aliansi umat islam ini bukan hanya Front Pembela Islam atau FPI.
Menjawab aspiasi umat islam dalam aksi Jumat, Kapolda Musyafak menggaris-bawahi bahwa Polisi bekerja secara profesional. Polisi tidak bisa ditekan dan diatur-atur kecuali oleh Undang-Undang. Namun polisi akan bekerja melindungi dan mengayomi masyarakat serta menjamin tidak adanya kerusuhan maupun penjarahan.
Kapolda menjamin transparansi di mana kinerja tim bisa dicek setiap hari tanpa pengerahan massa besar-besaran.
“Tak perlu pengerahan massa karena berpotensi tampilnya perusuh. Terbukti ada 1 yang kita amankan karena membawa senjata api,” katanya seraya menjelaskan bahwa aksi massa mesti ada surat pemberitahuan. “Sempat saya katakan stop pergerakan aksi, namun karena niatnya hadir baik-baik, maka saya terima dengan baik-baik pula,” ungkap Kapolda.
Di tempat yang sama Kapolresta Pontianak mengawal kehadiran massa dan meminta massa bubar dengan tertib pula. Alhamdulillah hingga Sabtu pagi, 21/1/.17 situasi Kota Pontianak aman dan kondusif. (Nur Iskandar)