Oleh Hermayani Putera
September 2012. Cerita hari ini masih tentang buku. Mirip trilogi, pada momen istimewa mensyukuri 50 tahun WWF berkaya di Indonesia ini kami bisa menerbitkan tiga buku. Dua buku pertama sudah kuceritakan di catatan sebelumnya. Nah, buku ketiga ini mengulas tentang Koridor Labian-Leboyan yang menghubungkan dua taman nasional di Kapuas Hulu, yakni Taman Nasional Betung Kerihun (800.000 ha) dan Taman Nasional Danau Sentarum (132.000 ha). Kami berlima menjadi co-editor dalam penerbitan buku ini: Peter Widmann (Katala Foundation), Albert, Jimmy, Stephan Wulfraat, dan saya sendiri (WWF-Indonesia).
Koridor adalah salah satu agenda prioritas dari inisiatif Heart of Borneo (HoB) yang telah dideklarasikan oleh tiga negara: Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia pada Februari 2007. Deklarasi HoB menegaskan komitmen ketiga negara untuk menjaga, mempertahankan dan mengelola kawasan hutan yang masih tersisa di Borneo secara adil dan lestari. Menyadari masih sedikitnya publikasi yang bisa menjadi referensi tentang HoB dari sisi Indonesia, buku ini hadir dalam versi bahasa Inggris, dengan judul „Connecting Biodiversity: People and Nature of Labian-Leboyan Corridor In the Indonesian Heart of Borneo“.
Buku yang diterbitkan atas kerjasama WWF, Universitas Tanjungpura, Center for International Migration and Development (CIM, Germany), Kelompok Kerja HoB, KfW-BMU Jerman ini kaya data hasil kajian, survei dan riset lapangan. Kerja kolaboratif ini juga diperkaya dengan hasil kerja lapangan untuk semakin mematangkan konsep dan teori tentang implementasi koridor sebagai salah satu model bentang alam berkelanjutan (sustainable landscape).
Buku ini bercerita tentang Koridor Labian-Leboyan yang mulfungsi: membangun konektivitas atau ketersambungan antara manusia tempat tinggal dan meneruskan kehidupan bagi masyarakat di hulu, tengah, dan hilir sepanjang DAS Labian-Leboyan, rumah bagi hidupan liar, perlindungan air dan tanah, dan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Kami bersyukur buku ini bisa ikut menyumbang gagasan mengenai sustainable landscape, sebuah pendekatan yang belakangan banyak diadopsi oleh berbagai lembaga dalam program-program mereka. Bagi diriku — mohon maaf bisa jadi ini sangat subyektif — secara praksis di lapangan Koridor Labian-Leboyan adalah salah satu lokasi kerja terbaik WWF dengan pendekatan bentang alam (landscape) di Kalimantan Barat.
Di sini kami memadukan kerja bersama masyarakat dalam mengembangkan strategi sumber penghidupan yang adil dan lestari bagi mereka dengan banyak menu program sosial-budaya dan lingkungan, seperti restorasi, konservasi orangutan, dan kampanye kesadartahuan (fotografi berbasis masyarat, radio komunitas).
Kami juga mengintegrasikannya dengan strategi lain seperti pemberdayaan perempuan. Konsep tembawang dan karet dengan produksi dan pemasaran yang lebih baik juga dikembangkan di kawasan ini. Ada pula kajian biomassa dan stok karbon, serangkaian riset keanekaragaman hayati, dan lebih khusus adalah upaya konservasi orangutan. WWF juga mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat, energi terbarukan (mikrohidro, panel surya, tungku hemat energi), dan penyediaan instalasi air bersih bagi masyarakat.
Salah satu isu perekat utamanya adalah orangutan sebagai species kunci (flagship species) atau spesies payung (umbrella species). Bahasa sederhananya, dengan melindungi orangutan, maka secara tidak langsung kita juga dapat melindungi banyak spesies lain yang membentuk satuan ekologis di habitat orangutan tersebut.
Kami mendesain semua program sejauh mungkin mempunyai kaitan dengan isu orangutan. Dalam kegiatan restorasi yang dilakukan oleh tim yang beranggotakan Lorens, Rudi, Buncau, Lasah, Agus, dan Haraan, misalnya, kami menanam beberapa jenis pohon yang merupakan pakan orangutan, agar ketersediaan pakan bagi orangutan di alam semakin berlimpah di masa yang akan datang.
Dalam survei dan monitoring yang dipimpin oleh Albert yang dibantu Dewi dan Khotiem, WWF juga menyertakan masyarakat yang biasa berburu dan menjadwalkan mereka terlibat secara bergilir. Dari cerita mereka, tim WWF bisa menggali informasi di mana saha pernah berjumpa dengan orangutan.
Bahkan beberapa dari mereka mengakui pernah menembak orangutan sebagai target buruan. Dengan ikut survei dan monitoring, perlahan masyarakat mendapatkan pengetahuan dan pemahaman ang lebih baik tentang pentingnya menjaga hutan sebagai rumah orangutan dan membiarkan orangutan hidup dengan tenang dan aman di habitatnya.
Hasil survei dan monitoring lalu diolah oleh Tim Kampanye yang dikoordinir oleh Bung Jimmy dan diback up oleh Lia, Ismu, Mas Sugeng (almarhum), dan Bung menjadi materi kampanye menarik dan sesedekat mungkin menghubungkannya dengan keseharian masyarakat, terutama generasi muda.
Tim kampanye pernah menggelar Orangutan Camp, di mana siswa dari beberapa sekolah di Koridor Labian-Leboyan diajak berkemah di alam terbuka selama 2-3 hari. Mereka langsung mendapat cerita tentang hutan, orangutan, dan kehidupan mereka sehari-hari. Mereka juga diajak bercerita sambil mewarnai gambar yang masih polos hasil sketsa mendiang Mas Sugeng.
“Hutan adalah tabungan masa depan kami. Tidak boleh seorang pun yang boleh merusak dan mengganggunya, karena itu berarti merusak masa depan kami. Orangutan adalah nenek moyang kami, jadi siapa pun tidak boleh mengambilnya dari hutan, apa lagi membunuhnya,“ cerita Anton, salah seorang siswa yang ikut Orangutan Camp, sambil menunjukkan hasil karya mewarnainya tim WWF. Kedua orangtua Anton berasal dari dayak Iban, yang mempercayai bahwa orangutan adalah leluhur mereka.
Salam Lestari, Salam Literasi
#MenjagaJantungKalimantan#KMOIndonesia#KMOBatch25#Sarkat#Day10#hermainside#SalamLestariSalamLiterasi