in

Masjid Putra dan Putrajaya

Berikut adalah catatan lanjutan dari Islamic Trip dan Travel Book ke Malaka, Malaysia Oktober 2019 lalu. Selamat membaca. Semoga bermanfaat

WhatsApp Image 2020 10 04 at 14.31.37

Oleh Hermayani Putera

Salah satu ikon dari pusat pemerintahan Malaysia di Putrajaya ini adalah Masjid Putra. Nama masjid ini diambil dari nama Perdana Menteri Malaysia pertama, Tunku Abdul Rahman Putra Al Haj. Karena posisi fondasinya yang menjorok ke sungai, Masjid Putra kadang disebut juga sebagai masjid apung. Berlokasi tak jauh dari Perdana Putra, bangunan utama Istana Perdana Menteri Malaysia, Masjid Putra mudah dikenali dari jauh karena kubah yang terbuat dari granit berwarna merah dengan ketinggian 80 meter berdiri tegak mencolok.

Dengan bangunan tiga lantai yang dimilikinya, kapasitas Masjid Putra sangatlah besar, bisa menampung hingga 15 ribu jamaah. Dua lantai di bagian atas sebagai ruang sholat dan berbagai aktivitas ibadah muamalah lainnya, dan satu lantai di bagian bawah tanah (basement) sebagai tempat wudhu.

Pembangunan masjid ini memakan waktu dua tahun (1997-1999). Karena lokasinya di sekitar Komplek Istana Perdana Menteri dan pemerintahan Malaysia, masjid ini juga sering dipakai oleh Perdana Menteri Malaysia untuk shalat Jumat berjamaah dengan tamu negara dan pejabat dari negara lain.

Keputusan pemerintah Malaysia memindahkan pusat pemerintahannya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya pada tahun 1995 menjadi model yang sukses dan banyak dipelajari oleh berbagai negara. Saya tidak tahu, apakah pemerintah Indonesia juga belajar dari Malaysia terkait keputusan pemerintahan Jokowi memutuskan pusat pemerintahan RI pindah dari Jakarta ke Kalimantan Timur beberapa waktu lalu.

Apa yang dihadapi Malaysia dan Indonesia kurang lebih sama, yakni kemacetan lalu lintas yang kian parah. Kantor-kantor kementerian yang terpencar membuat kebutuhan untuk melakukan pertemuan koordinasi terkendala kemacetan. Seperti halnya Jakarta, Kuala Lumpur juga menjadi ikon dan pusat pertumbuhan Malaysia. Tapi pemerintahan Mahathir masa itu segera mengambil keputusan cepat dan tepat agar kualitas hidup dan bekerja di Kuala Lumpur sebagai pusat pemerintahan Malaysia tidak semakin buruk.

Pemerintah Malaysia kemudian memutuskan menyediakan pusat pemerintahan baru, yaitu di Putrajaya. Kawasan Putrajaya seluas 46 km2 adalah bekas lahan perkebunan kelapa sawit. Jaraknya dari Kuala Lumpur sekitar 25 Km, dengan jarak tempuh sekitar 40-45 menit dengan kendaraan roda empat. Seperti halnya Masjid Putra, nama Putrajaya juga diambil dari nama Perdana Menteri Malaysia yang pertama, Tunku Abdul Rahman Putra.

Proses pembangunan seluruh infrastruktur pendukung dan gedung-gedung kementerian seluruhnya menggunakan anggaran negara, sehingga praktis tidak banyak investasi swasta di sini. Tidak juga perlu berutang ke luar negeri.

Seluruh kementerian yang semula berkantor di Kuala Lumpur dipindahkan ke sini. Hanya Kementerian Perdagangan dan Investasi yang masih berpusat di Kuala Lumpur, mengingat area pusat perdagangan dan kawasan komersial lainnya masih terkonsentrasi di Kuala Lumpur dan sekitarnya.

Boleh dibilang Malaysia sukses memindahkan pusat pemerintahannya. Seorang rekan media yang pernah diundang meliput ke Putrajaya bercerita kepada saya, ada cukup banyak efisiensi dan efektifitas pasca pemindahan ini, termasuk produktivitas pegawai di sana.

Cerita dari salah seorang pegawai di salah satu kementerian yang juga ikut shalat Jumat di Masjid Putra menambah lengkap informasi tentang Putrajaya. “Jarak dari kementerian satu ke kementerian lain hanya berkisar 5 hingga 15 menit dengan jalan kaki. Sangat simpel dan efisien jika perlu ada koordinasi antar kementerian, dan bahkan dengan kantor Perdana Menteri. Bisa sambil sarapan atau makan siang atau makan malam,” katanya, saat kami sama-sama mengantre mengambil air mineral yang disediakan gratis oleh Masjid Putra kepada para jamaah setelah shalat Jumat. *

Written by teraju.id

covid-19

Faktor Kemanusiaan di Tengah Protokol Covid-19

Hartford Courant--USA--2002--Indo Journalist Programme dengan tema Journalism in Ethics and Investigative Reporting

Benarkah Indonesia Dijajah Belanda 350 Tahun?