Oleh: M Hermayani Putera
Ini hari keduaku di Bungan. Aku sempatkan berkeliling Nanga Bundan, pusat Desa Bungan Jaya. Menikmati suasana asri, khas perkampungan di dalam hutan. Halimun masih menggantung di punggung bukit seberang kampung, menyapa pagi, enggan pergi.
5-10 menit menjelang jam 07.00 WIB, anak-anak berseragam bertelanjang kaki bergegas ke sekolah. Kampung ini kecil, tak perlu waktu lama menjangkau sekolah mereka. Pagi itu anak-anak cuma belajar sampai jam 10.00. Guru-guru dan kepala sekolah harus ikut menyambut rombongan bupati yang akan datang beberapa saat lagi.
Beberapa anak yang tadi berseragam sekolah, kali ini sudah berganti kostum. Pakaian adat, warna-warni, dihiasi manik-manik. Anak-anak ini siap membawakan tarian adat, menyambut tamu agung. Para remaja dan orang tua, laki-laki maupun perempuan, sudah siap dari pagi. Rapi jali juga berpakaian adat.
Sekitar pukul 11.00 WIB, petugas pembawa acara mengumumkan lewat pengeras suara, bahwa Bupati A.M. Nasir dan Ibu, Wakil Bupati Agus Mulyana beserta Ibu, dan rombongan sudah tiba. Corong TOA yang dipasang di bagian atas bangunan sekolah, lantang menyapa seisi Nanga Bungan.
Rombongan disambut perahu hias. Suasana meriah sekali. Bupati, wakil bupati, dan rombongan satu per satu meniti tangga, dan berkumpul di halaman tak jauh dari tangga.
Mereka berbaris rapi, menunggu arahan dari pembawa acara. Setelah disambut tarian adat, rombongan dipersilakan memasuki halaman sekolah yang cukup luas untuk menampung banyak orang.
Tak lupa bupati dan rombongan menyalami satu per satu perwakilan warga desa yang berjejer rapi menunggu mereka. Semua suka cita menyambut kedatangan dirinya dan rombongan. Potret sebuah ketulusan, bagaimana tuan rumah memuliakan sang tamu yang datang bertandang.
Beberapa anak muda memainkan sape, alat musik khas dari Kalimantan, mengiringi anak-anak yang membawakan tarian adat khas Dayak Punan. Sebagian besar masyarakat Dayak di Kalimantan juga mengenal alat musik ini.
Dawai Sape dipetik seperti gitar. Selain sebagai salah satu sarana hiburan, sape juga digunakan sebagai sarana pengiring tarian serta pendukung upacara ritual masyarakat adat Dayak pada umumnya.
Di tengah kenikmatan mendengar petikan sape dan tarian adat, tiba-tiba Pak Lacik masuk ke tengah halaman sekolah, pusat keramaian. Ia memberikan kejutan kepada semua orang. Langkah kakinya selaras dengan bunyi petikan sape. Dengan elegan, ia membawakan tarian adat Punan.
Ayunan tangannya bagaikan kelopak burung enggang terbang mengangkasa. Gerakan kakinya lentur namun kokoh menopang badannya yang makin merendah. Semua orang terkesima.
Aku jadi teringat ketika kunjungan muhibah ke Sarawak tahun 2003 lalu. Saat itu, Pak Lacik juga mendemonstrasikan kebolehannya menari setelah jamuan makan malam oleh pengelola Taman Negara Batang Ai. Ia menari di hadapan pimpinan, staf, dan beberapa wakil masyarakat di sekitar Batang Ai. Ketika gerakan tarian sudah selesai, ia didaulat terus menari, kali ini diikuti beberapa tokoh masyarakat Iban yang tinggal di dalam kawasan Batang Ai.
Pak Basyah dari Kayan Mendalam juga ikut menari, menghangatkan malam kami yang panjang. Jadilah sebuah harmoni tarian Punan, Iban, dan Kayan malam itu. Negara yang berbeda, suku pun berbeda, tak menghalangi mereka terus menari. Satu saudara, beda bendera.
Ternyata, di halaman sekolah itulah terakhir kalinya aku bisa menikmati keanggunan menari Pak Lacik. Beberapa tahun kemudian, ia wafat. Terima kasih Pak Lacik, untuk banyak contoh keramahan, kesederhanaan, kegigihan memperjuangkan hidup, dan mempertahankan tradisi budaya.
Silaturahim warga Desa Bungan Jaya dengan bupati dan wakil bupati ini dimanfaatkan warga untuk menyampaikan aspirasi mereka. Sebagian besar tentang fasilitas dasar: listrik, instalasi air bersih, sarana telekomunikasi, pendidikan, dan kesehatan.
Sederhana, tak muluk, tapi inilah hal-hal mendasar yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup warga di sini. Meminta negara hadir bersama mereka yang tinggal di hulu sungai dan di tengah hutan.
Dusun Nanga Bungan ini dibelah menjadi tiga bagian oleh Sungai Kapuas Koheng dan Sungai Bungan, anak Sungai Kapuas. Dua wilayah menjadi konsentrasi pemukiman penduduk, dan bagian ketiga menjadi pusat kegiatan pengelolaan TNBK dan pengembangan ekowisata.
Di bagian ini dibangun fasilitas Kantor Resor Bungan. Di sebelahnya, ada homestay yang dibangun oleh Dinas Pariwisata Kapuas Hulu. Homestay ini disiapkan untuk tamu dan para turis yang transit di Bungan, sebelum melanjutkan trip Cross Borneo Kapuas-Mahakam yang terkenal dan banyak peminat di kalangan petualang mancanegara.
Berawal dari Sungai Kapuas dan berakhir di Sungai Mahakam, paket ini menawarkan sensasi petualangan menyusuri dua sungai terpanjang di Indonesia selama 10-14 hari.
Kondisi geografis dusun ini mirip dengan Kota Pontianak, yang wilayahnya juga terbagi tiga oleh Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Juga seperti Kota Sintang yang dibelah tiga oleh Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Mirip pula dengan Kota Sanggau yang wilayahnya dibagi tiga oleh Sungai Kapuas dan Sungai Sekayam.
Masyarakat di tiga bagian dusun Nanga Bungan ini plus staf taman nasional praktis menggunakan perahu sebagai sarana transportasi utama untuk saling berhubungan. Ada mimpi yang sudah lama diperbincangkan oleh warga serta perangkat desa dan dusun. Apa itu? Bisa ‘berjalan’ di atas sungai. Maksudnya tentu dengan meniti jembatan, hehe…
Alhamdulillah, mimpi itu akhirnya terwujud, ketika Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan hadir di Desa Bungan Jaya. Seorang nenek berumur 60-an tahun yang aku temui di bawah ujung jembatan mengucap syukur, impiannya agar ada jembatan menghubungkan kedua wilayah dusun terwujud.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan mendanai pembangunan jembatan gantung ini sebesar Rp331.412.000,-. Swadaya masyarakat melengkapinya senilai Rp 171.822.000. Ini info proyek yang kubaca di papan pengumuman, dipasang tak jauh dari jembatan. Hari itu, jembatan gantung diresmikan penggunaannya oleh Bupati.
Info yang kudapat dari teman-teman di Pemkab Kapuas Hulu, sebenarnya di dalam skema PNPM tidak ada item pembangunan fisik seperti jembatan. Namun mengingat kondisi khusus di Bungan ini, Pemkab Kapuas Hulu dan Fasilitator Program PNPM Mandiri Kabupaten Kapuas Hulu berhasil menegosiasikan hal ini dengan manajemen program PNPM di Jakarta.
Perjuangan ini berbuah manis. Begitulah seharusnya pembangunan menyentuh masyarakat. Tak boleh semuanya seragam, tidak memberi ruang bagi kebutuhan dan konteks lokal. Segalanya diatur seragam dari Jakarta.
Pembangunan jembatan gantung Nanga Bungan oleh PNPM Mandiri Perdesaan ini memberi contoh. Asal dibahas dengan hati terbuka, berorientasi menjawab kebutuhan rakyat, selalu ada opsi bagi sebuah solusi.
Salam Lestari, Salam Literasi