Oleh Sukron Al-Farisi
Ketika mendengar perintah untuk menulis sebuah buku, dalam benak saya langsung terbesit sebuah pertanyaan apakah saya bisa membuat buku? Sebab saya tidak pernah berpengalaman menulis. Mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, saya tidak pernah merasakan hal itu, seperti halnya saya tidak pernah membuat cerpen, artikel, apalagi buku! Karena saya rasa hal semacam itu adalah rumit, padahal faktanya tidak serumit yang dibayangkan.
Dalam hal menulis yang sering saya rasakan adalah kebingungan untuk merangkai sebuah kata-kata. Apa yang saya tulis apakah sesuai dengan tata cara standar kepenulisan atau bahkan tulisannya ngawur, seperti koma, tanda tanya, tanda petik, tanda seru, titik dan lain-lain. Namun di sisi lain benak saya mengatakan saya harus menulis walaupun tidak sesuai dengan standar kepenulisan, mungkin dengan tuntutan inilah saya bisa mewujudkan apa pernah diimpikan yaitu mempunyai sebuah buku.
Semestinya orang yang bukan siapa-siapa; jika ingin dikenal orang lain di masa hidupnya ataupun orang yang hidup setelahnya, Maka hendaklah menulis karena dengan tulisanlah orang lain akan mengenal kita bahwasanya kita pernah hidup di masa itu. Beda halnya dengan seorang pahlawan, pemimpin, ulama, dan lain-lain orang yang seperti itu akan lebih mudah kenal, mengapa? Karena orang yang hidup di masanya walaupun ia tidak pernah menulis tentang dirinya sendiri, lantas ada orang lain yang hidup di masanya lalu teringat tentang kebaikannya, dan orang tersebut mencatat atau menulis tentang jasanya, maka orang yang bersangkutan akan lebih mudah dikenal orang atau bahkan dikenang, sebab tulisan orang lain yang menulisnya.
Di pekan pertama, awal menulis sebuah autobiografi saya meminta izin kepada pembimbing selama satu pekan karena mempunyai kesibukan di Ponpes Darun Nasyi’in, akhirnya saya mendapatkan idzin dari kakak pembimbing, saya pun fokus di kegiatan pondok dan tugas kuliah online. Setelah satu pekan berlalu saya pun memulai menulis, namun saya tidak melapor perkembangan tulisan, akhirnya kakak memberikan peringatan di grup Literasi nama-nama tersangka hehe… kurang lebih 6 orang, di antaranya saya. Saya tidak ada kabar selama 4 kali pertemuan.
Pembimbing mengatakan apabila masih tidak ada kejelasan untuk pertemuan selanjutnya kami akan keluarkan dari grup ini. Saya pun sedikit kaget membacanya, lalu saya langsung japri kakak pembimbing dan mengirimkan tulisan saya kepadanya, dengan kelembutan & kebijaksanaan kakak Novie Anggraeni akhirnya menerima alasan-alasan yang saya tuliskan dalam via WhatsApp.
Dalam menjalani hal menulis di sela-sela kesibukan mengerjakan tugas mata kuliah, seperti makalah, resum, video, dan lain-lain. Ternyata saya masih bisa meluangkan waktu untuk menulis sebuah autobiografi yang berjudul Ha Ana Dza, hal ini merupakan pertama kalinya saya menulis untuk dijadikan sebuah buku.
Suatu hari saya mendapatkan saran dari pembimbing agar juga menceritakan sosok orang tua. Di sela-sela merangkai kata-kata, saya sambil bertanya-tanya pendek kepada ayah tentang usia remajanya, tentang kehidupannya, pekerjaannya dan lain sebagainya.
Ayah menjawabnya, “Waktu itu saya begini, seperti ini, dan seterusnya”. Kemudian di lain waktu di lain hari saya menanyakan lagi, lalu respon orang tua lain, emang untuk apa menanyakan hal itu? Jawab saya, “Untuk tugas membuat buku Yah! “o.. “emang ayah kira untuk wawancara UKT dan Beasiswa. “Iya.!
Menulis adalah suatu karya seseorang, yang dengan hal itu kita bisa mengetahui karya orang lain sebab tulisan. Sebaliknya orang lain akan mengetahui karya diri kita masing-masing apabila kita juga menulis. Oleh karena itu jika Anda ingin dikenal orang maka menulislah, sebab dengan tulisan itulah anda dikenal orang bahwasanya anda pernah hidup di masa itu. (Peserta Rumah Literasi FUAD IAIN Pontianak).