Oleh: Ambaryani
Saat pertama kali suami menunjukkan buku saya yang kalau tak ada halangan akan dilaunching 29 Januari nanti, perasaan saya campur aduk. Antara bahagia dan haru.
Bahagia, karena setelah sejak 2010 perdana saya menulis buku kompilasi maupun tandem, ini first saya menulis buku sendiri. Hanya ada nama saya di situ.
Haru, karena rasanya tak percaya. Keinginan menulis buku sendiri Allah amini tahun ini. Justru saat saya sudah mulai sibuk lagi. Saya banyak kilas balik, 5 tahun lalu.
Masa-masa pena saya tumpul. Hanya sesekali dipakai. Bahasanya, jarang diasah.
Buku ini saya jadikan cambuk. Cambuk untuk terus mengasah pena. Agar ke depan tak hanya mentok satu buku.
Dulu, targetnya 6 bulan pertama di Kubu lahir 1 buku. Ini sudah bonus, karena belum genap 3 bulan sudah lahir buku “Pesona Kubu”.
Merawat kebiasaan menulis justru lebih sulit dibanding menumbuhkan kecintaan pada dunia tulis menulis. Itu yang pernah saya rasakan.
Itu sebabnya, kadang saya setengah memaksa diri sendiri untuk menulis. Karena khawatir rasa cinta yang sudah ada akan hilang karena ketidakrajinan saya merawatnya.
Iya, saya ibaratkan sedemikian. Karena memang, menulis nampak sederhana. Tapi nyatanya, banyak orang yang jujur pada saya, keinginan menulis itu ada, tapi mentok pada paragraf pertama. Malah ada yang stop sampai batas keinginan, niat.
Ide bejibun, tapi tak tertuang. Alhasil, ide menguap begitu saja. Karena tak ada realisasi. Komunitas menulis, penting untuk difollow. Karena dalam suatu komunitas, sudah ada iklimnya. Jadi tak bisa kita nulis ikut mood. Pilihannya hanya 2 jika sudah begitu. Tetap ada di komunitas dan terus menulis, atau tidak menulis dan hengkang. Dan semuanya terpulang pada pilihan kita. (*)