Oleh: Noviansyah
Teluk Air terhitung dekat dari dermaga Batu Ampar. Jarak tempuh hanya sekitar 25-30 menit menggunakan “taxi air”.
Taxi air merupakan istilah untuk sampan dengan dengan mesin tempel robin yang populis bagi masyarakat sekitar. Si pengemudi mengatakan, disebut taxi air supaya lebih “modern dan keren” saja layaknya Gojek, Grab atau Maxim sebagai provider jasa angkutan darat.
Kami menggunakan taksi ketika datang ke kampung ini. Ketika kami mendekati dermaga/steher, aktivitas warga dusun Telok Air tidak tampak sibuk. Mereka duduk bercengkrama dengan keluarga dan tetangga sembari mengawasi anak-anaknya mandi di musim air pasang. Si kecil saling tertawa dengan sebayanya di atas pelampung sisa ban dalam yang lainnya menyelam sambil memasang mata tajam mencari belangkas atau mimi (hewan unik, pipih dalam dunia biota laut dikenal dengan nama kepiting ladam atau pari kepiting). Tak nampak sedikitpun kecemasan di mata orang tua dan anak-anak mereka akan penyebaran Covid-19 yang sedang heboh luar biasa di luar sana. Memang belum ada terdengar kabar dari masyarakat setempat bahwa ada warga sakit dengan gejala covid-19 di Teluk Air saat ini.
Taxi air mendekati dusun tersebut tampak biasa-biasa saja sebagaimana dusun lainnya di Kecamatan Batu Ampar. Hanya saja dusun Teluk Air semakin “orisinil” terlihat ketika dusun yang berada di bawah kokohnya bukit Teluk Air –belum ada nama khusus bukit dimaksud). Bukit dipenuhi pohon besar lebat nan-hijau seolah menutupi peradaban kehidupan di dalamnya. Terlihat berdiri tegak satu, dua, sisa bangunan tua pabrik atau somel seolah ingin bersaksi dan mengatakan kepada siapa saja yang datang “Dahulu, Aku pernah berjaya di sini…!” Perusahaan yang pernah berkiprah seperti ; PT. Satya Daya Raya (SDR), PT. Hutan Raya, PT. Aria Jaya dan PT. Lapan-Lapan (bahkan menurut referensi ada perusahan yang telah berdiri sejak 1881)
Perusahaan inilah dianggap sebagai 4 (empat) pabrik terbesar pada masanya saat itu.
Semua perusahaan ini bergerak dalam bidang pengolahan kayu, mulai dari penyiangan kulit kayu hingga dipotong sesuai ukuran standar diinginkan selanjutnya untuk diekspor atau dijual pasaran lokal. Bahan baku kayu yang diolah oleh pabrik/somel ini bukanlah hasil hutan dari Teluk Air, namun diperoleh dari tanah hulu, disatukan diikat dalam bentuk rakit dibawa melalui jalur Sungai Kapuas melintasi Batu Ampar menuju laut di Padang Tikar. Pabrik/somel di Teluk Air hanya sebagai tempat proses pengolahan.
Teluk Air pernah menjadi wilayah digdaya penghasil pengolahan kayu, selain itu juga terkenal sebagai pelabuhan internasional, tempat persinggahan kapal asing ; kapal Rusia dan kapal Italia. Bahkan di sana pernah berlaku 2 (dua) mata uang, dollar dan rupiah.
Fakta memang, dahulu dusun Teluk Air jauh berbeda dari kondisinya yang terlihat saat ini. Dusun Teluk Air pernah menjadi “Kota Metropolitan” di Kecamatan Batu Ampar. Metropolitan berarti bentuk kota yang penuh aktivitas, padat penduduk, kota sebagai pusat transaksi perdagangan dan cahaya terang setiap sudut pemukiman. Sempat pula berdiri Polsek pertama di Telok Air pada saat itu (jauh sebelum dibangunnya Polsek di Batu Ampar).
Penduduk lebih ramai dibanding dusun Sungai Limau, dusun Batu Ampar Tengah, dusun Mastura dan dusun lainnya. Namun, warga yang tinggal di Teluk Air saat itu sekitar 70 % adalah berstatus sebagai warga pendatang yang tinggal menetap sebagai pekerja buruh pabrik atau somel, dan sisanya sekitar 30 % penduduk asli. Demikian gambaran dusun Teluk Air saat itu hasil penuturan Pak Dol, salah satu warga yang memilih menetap di Teluk Air.
Pada awalnya mata pencarian utama masyarakat dusun Teluk Air sebelum hadirnya pabrik/somel/pete sebagai petani dapur arang. Mata pencarian ini sebenarnya usaha mengelola proses pembuatan arang dapur sebagai bahan pengganti BBM (bahan bakar minyak) untuk memenuhi kebutuhan memasak rumah tangga hingga untuk memenuhi kebutuhan ekspor hingga keluar negeri.
Pekerjaan warga dusun Teluk Air di dapur arang ini pun sebenarnya sangat unik apabila dilihat dari proses pengolahannya. Dikatakan unik karena menggunakan sistem teknologi sederhana dan akurat. Dibangun di atas tanah keliling bangunan berukuran 8-12 meter persegi berbahan dasar tanah liat, batu bata merah, dilengkapi dengan saluran pembuangan asap/uap panas, didesain dengan tungku pembakaran dan sisi pintu sebagai indikator kematangan arang (kesiapan arang untuk dipaket).
Dari segi bentuk terlihat menyerupai bangunan rumah orang Eskimo, Igloo. Hanya saja Igloo berbahan dasar es. Teknologi ini sebenarnya merupakan warisan turun temurun dari datok nenek masyarakat Teluk Air Kecamatan Batu Ampar. Sementara ini, belum ditemukan referensi akurat siapa yang memulai teknologi dapur arang ini, dari mana asal teknologi ini bermula.
Pekerjaan sebagai pekerja dapur arang ini sempat bergeser mulai tahun 1980-an hingga 1990-an karena masyakarat lebih tergiur dengan membangun asrama-asrama, rumah petak kontrakan bagi buruh pabrik/somel/pete dan merobohkan bangunan dapur arang mereka. Jadilah sebagian warga sebagai pemilik kontrakan dan toko-toko sembako/ warung.
Transisi peralihan mata pencarian semula dari petani dapur arang menjadi pengusaha kontrakan bukan pilihan sulit bagi warga saat itu, malah ini diangap sebagai peluang emas. Berduyun-duyun para pendatang berlabuh di tanah pulau Teluk Air dengan harapan baru untuk sukses merubah diri menjadi lebih sejahtera secara ekonomi. Ramai dan penuh hiruk pikuk suara radio dan tape terdengar dari muka rumah sebagai salah satu sarana hiburan malam dari penat bekerja para buruh, sesekali terdengar bercampur dengan selingan suara mesin-mesin pabrik/somel.
Sepintas tidak dapat dapat dibayangkan dengan kondisi saat ini, bagaimana dulu hebatnya dusun Teluk Air dulu menjadi bagian sejarah dusun yang sangat maju secara ekonomi, memiliki pelabuhan sebagai pusat perdagangan manca negara, dan lokasi berkembangnya pabrik/somel/pete kayu yang terkenal. Kini, Teluk Air tinggalah nama sebuah dusun dengan penduduk yang tidak lebih dari 113 Kepala Keluarga. Kondisinya jauh dari hingar bingar aktivitas pabrik/somel yang hilang sama sekali. Masyarakat kembali dengan mengaktifkan kembali usaha tani dapur arang yang pernah digeluti dan sesekali cuaca bagus mereka bekerja memukat ikan, membuka tambak budidaya kepiting dan ikan tirus. Alam kembali asri, udara terhirup sangat segar, bukit Teluk Air kembali menghijaukan diri dengan pepohonan lebat, hutan kembali dihuni tupai-tupai mengintip malu, dan monyet-monyet liar bebas bergelantungan. Teluk Air sebagai jejak alam yang telah me-restart diri. (*Penulis Mahasiswa IAIN Pontianak)