Oleh: Juharis
Dari ujung negeri kulangkahkan kaki ini, menikmati indahnya mentari saat keluar dari peraduannya. Memadu decak kagum yang termanifestasi menjadi rindingan di dalam diri terhadap maha luasnya ciptaan-Mu. Mengarungi bibir laut yang menaburkan semiliar buih lautan, angin berhembus yang memasuki relung-relung sukma. Suasananya takkan pernah kulupa.
Perjalanan menuju pelosok negeri yang dahulu sempat menjadi serambinya Mekah karena kekuatan peradabannya. Negeriku Sambas tercinta. Di ujung tanahmu terdapat keindahan dari sang maha Cipta, dari desa Temajuk ini kudapatkan semiliar asa dan cita. Menempuh perjalanan lebih kurang 12 jam dari Pontianak, sungguh pengalaman yang luar biasa yang takkan habis dan sirna meski sering di nostalgia.
Masyarakat perbatasan adalah tameng dan pedang terdepan kita, bagaimana stabilnya kedaulatan negara seringkali dinilai dari kondisi yang ada dikawasan perbatasan. Kita bisa melihat sejarah Indonesia yang berjuang keras demi mempertahankan wilayah perbatasan, dinamika Timor Leste misalnya, menjadi gambaran yang mesti kita ambil pelajaran.
Begitu halnya dengan Temajuk, daerah perbatasan yang kini sudah mulai menampakkan taring keindahannya dan kemudianpun sudah mulai disoroti oleh berbagai kalangan sebab keindahannya. Sehingga tidak berlebihan sekiranya Temajuk disebut-sebut sebagai Bali nya Kalimantan Barat.
Menelisik perbatasan, tak mengherankan jika dikaitkan dengan stigma keterbatasan. Keadaan yang jauh dari perhatian pemerintah karena akses yang susah dijangkau, kurangnya penerangan dan jalan yang rusak menjadi ikon tersendiri bagi perbatasan. Tapi tidak menutup kemungkinan perbatasan adalah daerah yang sangat diperhatikan, apalagi punya keindahan alam yang menakjubkan. Dalam hal ini adalah Temajuk, maka perhatian pemerintah yang lebih di tingkatkan menjadi kesepakatan kita bersama. Ini bukan hanya aset Sambas, Kalimantan Barat tapi juga aset Indonesia.
Tidak hanya pada keindahan alamnya tapi juga binatang-binatang yang ada disana. Misalnya saja penyu, yang sudah mulai punah akibat manusia yang tidak mau bersahabat dengan penyu. Mengambil telurnya untuk diperjualbelikan dan berbagai tindakan yang tidak semestinya dilakukan. Pada salah satu penangkaran penyu di Paloh, salah seorang yang mengurusi penangkaran penyu, akrab dipanggil pak Tam, beliau mengatakan “keberadaan penyu menurut WWF sudah mulai punah, siapa lagi kalau bukan kita yang melestarikan penyu.” Dalam kesempatannya beliau banyak mengajarkan kepada kami terkait pelestarian penyu dan sempat melepas tukik atau anak penyu bersama di pantai. Ketika melihat tukik yang dilepaskan, timbul rasa kebahagian tersendiri terhadap alam dan rasa hormat kita pada ciptaan Tuhan.
Selain penyu, ada juga binatang yang sudah mulai punah. Burung Enggang, populasi burung enggang dikalimantan Barat pun ikut punah, pasalnya burung enggang lari ke hutan Malaysia, tak lain disebabkan oleh hutan Indonesia sudah tidak memadai lagi akibat ulah masyarakatnya sendiri. Hutan malaysia yang punya potensi lebih untuk keberadaan binatang-binatang hutan pada umumnya, menjadi sarang bagi binatang-binatang yang sebelumnya ada di Indonesia. Nasi sudah menjadi bubur, binatang sudah kabur dari tanah air kita, sebagai masyarakat yang baik kita seharusnya menyadari setiap langkah kecerobohan kita dalam mengadaptasi dan mengelola lingkungan alam. Sejatinya alam adalah tempat kita bernaung, bagaimana mungkin kita bisa betah dalam naungan yang dipenuhi oleh keserakahan manusianya sendiri dan jauh dari suasana asri.
Meskipun demikian, kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia adalah tetap harus mencintai negeri ini, karena inilah tanah kelahiran kita. Maka caranya adalah batasi hal-hal yang dapat merusak keutuhan hutan agar berbagai binatang yang berada disana hidup dengan tenteram sebagaimana kita ingin hidup tenteram. Mari cintai Indonesia dengan seutuhnya, jangan mau kalah dengan penyu yang punya ikatan sejarah terhadap tanah kelahirannya meskipun ia jauh menempuh perjalanan di lautan.