Untuk Apa Aku Menulis?

4 Min Read

Tentu menulis yang kumaksud di sini adalah selain skripsi atau makalah sebagai syarat kelulusan studi mata pelajaran tertentu.

Belakangan ini aku sering merenung. Melihat sudah banyak sekali penulis dan buku-buku, baik kumpulan cerpen, novel, puisi, opini, yang bertebaran di mana-mana. Penunjang untuk menjadi seorang penulis pun sudah banyak. Banyak klub, forum, sekolah yang bergerak di bidang kepenulisan dilengkapi dengan penerbit indie yang memudahkan kita untuk meraih gelar ‘seorang penulis’.

Kalau penulis sudah banyak, kenapa aku mesti dan masih (harus) menulis?

Aku akan mengawali dengan: Pertama, aku menulis untuk mengutarakan pendapat. Kedua, untuk mendapatkan uang.

Selain itu, mungkin tentu ada kepentingan lain, seperti: memperbaiki CV, agar terlihat keren dan terkenal dan alasan lain yang tidak bisa dipungkiri sebagai manusia.

Aku ingin bahas yang pertama karena itu merupakan alasan utamaku. Kalau pendapat kedua mungkin agak berat. Berat kalau menyangkut honor penulis.

Aku sadar secara penuh kalau aku bukan tipe orang yang pandai bicara. Kalau sedang ngobrol dengan teman-teman, sekedar menggosipkan selebritis atau mendiskusikan masalah yang sedang ramai diperbincangkan di media, ketika berpendapat dan memberi pandangan, aku merasa cenderung berputar-putar. Aku pun sering berkata, “Eh, bentar. Aku lupa nak bilang ape.” Atau “bentar lok, kamek dah bilang itu kan tadi?”

Padahal aku bukan orang yang anti sosial sehingga menjadi manusia yang saking introvertnya, bicara pun jadi tak lancar. Bukan pula manusia yang kekurangan literasi sehingga kehabisan kosa kata. Bukan juga penderita amnesia dadakan. Aku lebih menikmati berbicara dengan keyboard dan monitor laptop. Karena kalau selesai menulis, kita bisa merevisi, mengedit tulisan kita sepuas mungkin sampai kita PD memberikannya ke publik.

Bayangkan kalau berbicara kita mengedit dulu kalimat yang kita ingin katakan. Pasti lawan bicara mendadak tua sebab menunggu terlalu lama kemudian mencap kita sebagai orang yang tak asik diajak ngobrol.

Teringatlah aku ide lahirnya novel pertamaku yaitu PARA-Kepulangan Bintang. Ide novel tersebut secara jujur muncul ketika sedang maraknya isu lesbian, gay, Bisex, Transgender atau dengan nama beken LGBT. Sehingga di bahas di kantin, di sosial media, di rumah ibadat, bahkan mungkin di dapur saat seorang ibu sedang memasak bersama puterinya.

Menyakitkan hatiku, di depan wajahku sendiri, beberapa teman tertawa-tawa membahas isu LGBT dan seorang dari mereka setelah habis mengejek mengatakan, “emangnya kamu mau terima darah atau donor ginjal dari LGBT? Aku sih, najis!!”

Secara jujur pula, aku bukan orang yang pro LGBT. Bagiku, LGBT understandable! Bukan berarti aku endorser!
Dari keprihatinan itulah ide novel pertamaku muncul. Maka, untuk mengutarakan pendapatku tentang LGBT, aku mulai dengan menulis status singkat di facebook atau membuat PM di BBM. Tetapi semua itu belum cukup. Novel adalah wadah yang pas untuk menulis pendapat lengkap tentang LGBT. Karena seseorang tentu punya history yang layak untuk didengar kenapa seseorang memiliki penyimpangan seksual. Meskipun di novel ini masih membeberkan klimaks, belum ke tahap pemberian solusi.

Aku berharap 2017 sekuel PARA atau PARA seri #2 akan hadir memberi solusi untuk LGBT yang isunya sedang dikesampingkan karena isu hot pemilihan kepala daerah ibukota Negara tercinta atau karena orang-orang sebenarnya sudah bosan dengan topik ini.

Tentunya solusi yang ditawarkan buka secara ilmiah. Tetapi hanya sebagai seorang perempuan yang peduli terhadap ‘hak berbahagia’, seseorang yang usianya masih dua puluhan sehingga pendapatnya mungkin tidak layak didengar.

Tentu saja buku penentuan kelulusan atau skripsi juga sedang menunggu untuk diselesaikan. Nanti kita diusir mamak kalau tak jadi sarjana. Hehehe. Salam.

Pontianak, 18-10-2016.


Kontak

Jl. Purnama Agung 7 Komp. Pondok Agung Permata Y.37-38 Pontianak
E-mail: [email protected]
WA/TELP:
- Redaksi | 0812 5710 225
- Kerjasama dan Iklan | 0858 2002 9918
Share This Article