APAKAH OTORITARIANISME ?

15 Min Read


Oleh: Turiman Facturahman Nur

  1. Istilah otoritarianisme atau authoritarian yang berasal dari bahasa Inggris authority, yang sebetulnya merupakan turunan dari kata Latin auctoritas, yang berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas.
  2. Otoritarianisme adalah paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan dan kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan bertindak. Ketika paham ini memasuki organisasi sosial atau organisasi negara, yang terjadi adalah “penyerahan kekuasaan”
  3. Otoritarianisme adalah bentuk organisasi sosial yang ditandai oleh penyerahan kekuasaan. Otoritarianisme biasa disebut juga sebagai paham politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu.
  4. Ototitarianisme, apabila digunakan didalam ilmu politik, biasa disebut sebagai Politik Otoriter. Politik Otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara.
  5. Politik otoriter ini ditandai oleh dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijakasanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elite politik yang kekal, serta di balik semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan. Dalam politik otoriter, partai partai tidak dapat menunjukan harkatnya, tetapi lebih banyak menjalankan kehendak penguasa.
  6. Ciri-Ciri Sistem Politik Otoriter Theodore M. Vestal dari Oklahoma State University, Amerika Serikat, dalam bukunya Ethiopia: A Post-Cold War African State, menuliskan beberapa ciri pemerintahan dengan sistem politik otoriter, yaitu :
    • Infrastruktur dan fasilitas pemerintahan dikendalikan secara terpusat. Kekuatan politik diperoleh dan dipertahankan melalui suatu sistem represif yang menentang segala bentuk tentangan atau yang berpotensi menentang.
    • Partai politik dan organisasi-organisasi masyarakat digunakan sebagai alat untuk memobilisasi masyarakat dalam rangka pemenuhan tujuan pemerintah.
    • Mengikuti prinsip-prinsip berikut:
    o aturan datang dari seseorang, bukan dari hukum;
    o pemilihan umum bersifat kaku (seringkali orang bisa mengetahui siapa pemenangnya, bahkan sebelum pemilu itu berlangsung);
    o semua keputusan politis ditentukan oleh satu pihak dan berlangsung tertutup; dan
    o penggunaan kekuatan politik yang seolah-olah tidak terbatas.
    • Pemimpin dipilih sendiri atau menyatakan diri. Kalaupun ada pemilihan, hak kebebasan masyarakat untuk memilih cenderung tidak diacuhkan.
    • Tidak ada jaminan kebebasan sipil, apalagi toleransi bagi yang ingin menjadi oposisi.
    • Tidak ada kebebasan untuk membentuk suatu kelompok, organisasi, atau partai politik untuk bersaing dengan kekuatan politik yang incumbent.
    • Kestabilan politik dipertahankan melalui:
    o kontrol penuh terhadap dukungan pihak militer untuk mempertahankan keamanan sistem dan kontrol terhadap masyarakat;
    o birokrasi dikuasai oleh orang-orang yang mendukung rezim;
    o kendali terhadap oposisi dari internal negara; dan
    o pemaksaan kepatuhan kepada publik melalui berbagai cara sosialisasi.
    o Selain ciri-ciri tersebut, ciri paling khas sistem politik otoriter adalah kekuasaan politik yang tidak terbatas atau nyaris tidak terbatas dimiliki oleh si pemimpin atau partai yang berkuasa.
  7. Berapa Pernyataan Tokoh:
    a. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, Busyro Muqqodas, meringkus situasi Indonesia sepanjang periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo sebagai berikut: “Otoritarianisme gaya baru atau neoauthoritarianism.” Dalam sebuah diskusi daring, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu memberikan contoh bagaimana demokrasi mundur di era Jokowi. Salah satunya soal penempatan banyak polisi ke dalam instansi-instansi pemerintahan. “TNI berhasil dibersihkan dari dwifungsi, sekarang multifungsi dilakukan oleh Polri.” Beberapa lembaga negara yang dipimpin perwira polisi, baik yang masih aktif atau sudah pensiun dini, di antaranya KPK, Badan Intelijen Negara, Badan Urusan Logistik, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, hingga Kementerian Dalam Negeri.
    b. Wijayanto, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, lembaga yang rutin mengeluarkan kajian sosial sejak Orde Baru, mengatakan setidaknya ada empat indikator sebuah negara atau sistem pemerintah bisa disebut otoriter. Indikator-indikator itu diambil dari buku terbaru Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Dies, yang terbit 2018 lalu.Ironisnya, Indonesia sudah memenuhi keempat indikator itu, kata Wijayanto.
    c. Sosiolog dan Ketua Penasehat Public Virtue Institute, Tamrin Amal Tomagola melihat demokrasi Indonesia kini mengarah ke otoritarianisme (oligarki).Hal itu menurut dia, telah terlihat sejak masa kedua pemerintahan Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2009 lalu. Saat itu masyarakat sipil atau intelektual banyak meninggalkan gelanggang masuk dan mencari jabatan politik. Menjelang transisi pemerintahan dati SBY ke Joko Widodo (Jokowi) kata dia, terjadi konsolidasi oligarki dalam bidang ekonomi dan politik.Oligarki kata dia, semakin terlihat merajalela saat pemerintahan Presiden Jokowi.
    “Oligarki merajalela saat kita dapat Presiden Jokowi. Presiden Jokowi itu untuk menggambarkan gebrakannya, itu saya pakai metafora lagi itu seperti ‘dia ingin jalan tol di mana-mana,'” ujar Tamrin Tomagola, saat jadi pembicara dalam diskusi “Ironi Ruang Publik, Demokrasi di Masa Pandemi’ pada Jumat (4/9/2020) yang disiarkan langsung di Channel Youtube Erasmus Huis.
    d. “Apa itu jalan tol? Sifatnya tanpa hambatan. Jadi yang dia inginkan adalah suatu pembangunan ekonomi yang konkrit yang tidak terhalang oleh berbagai macam hambatan undang-undang hambatan tiba-tiba ditangkap oleh KPK kemudian apa hambatan-hambatan moneter, kemudian hambatan dari Mahkamah Konstitusi,” jelasnya. Dia mencontohkan, ketika Rancangan Undang-Undang omnibus law atau RUU Cipta Kerja dibahas diam-diam di DPR.”Ini diam-diam, jauh dari sorotan publik, jauh dari kontrol publik. Tidak ada dengar pendapat dengan publik. Ini gebrakan Jokowi,” jelasnya.

Indikator Otoriatianisme

Indikator pertama adalah adanya penolakan atau setidaknya memiliki komitmen yang lemah terhadap aturan main yang demokratis. Kata Wijayanto, hal tersebut terlihat ketika Jokowi menginstruksikan kepala daerah hingga tentara untuk mengampanyekan kebijakan pemerintah dan meminta mereka menangkal banyak kabar palsu terkait dirinya sebelum Pilpres 2019.
Contoh lain adalah ada upaya memobilisasi kepala daerah hingga Polri untuk mendukung petahana.

“Kombinasi antara mobilisasi pejabat sipil dan aparat militer atau penegak hukum adalah tipikal bagaimana seorang incumbent maju untuk kembali terpilih,” kata Wijayanto kepada reporter Tirto, Selasa (16/6/2020).
Contoh lain terjadi pada Desember 2019. Ketika itu muncul wacana dari parpol pendukung Jokowi mengenai amandemen UUD yang memungkinkan presiden menjabat tiga periode. Saat itu Jokowi hanya marah tanpa melakukan hal-hal lebih konkret.

Indikator kedua adalah pemberangusan oposisi. Dalam konteks ini, Wijayanto mengatakan Jokowi melakukan itu pertama-tama dengan memberikan Gerindra–partai oposisi utama dalam Pilpres 2019–dua kursi menteri. Akibatnya oposisi lain, yaitu Demokrat, PAN, dan PKS jadi tak punya taji di legislatif. Suara mereka timpang dibanding koalisi partai pendukung pemerintah.

Manuver ini semakin kentara ketika partai koalisi pemerintah merevisi UU MD3 dan menambah kursi pimpinan MPR. Dampaknya, lebih banyak partai berkesempatan mendapat jatah kursi, merapat ke kekuasaan, dan tak lagi jadi oposisi.

Indikator ketiga, selanjutnya relatif lebih berdampak langsung ke sipil: memberi toleransi atau bahkan menganjurkan kekerasan aparat ke warga. Hal ini juga terjadi di era Jokowi, kata Wijayanto, contohnya kasus gerakan Reformasi Dikorupsi pada September 2019. LBH Jakarta menyebut pendekatan polisi saat menangani aksi massa saat itu “adalah pendekatan represif, kekerasan.”
Contoh lain selain yang disebut Wijayanto adalah aksi berujung kerusuhan pada 21-23 Mei. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan ada 10 orang tewas dalam peristiwa tersebut, empat di antaranya masih anak-anak (di bawah 18 tahun). Delapan orang tewas karena tertembak peluru tajam.

Latar belakang inilah yang kemudian membuat Kontras dan YLBHI sama-sama menilai kekerasan oleh aparat makin menjadi-jadi di era Jokowi. Mereka pun mendesak pemerintah untuk segera mereformasi Polri besar-besaran.

Indikator keempat, juga berdampak luas ke warga sipil, yaitu kesediaan penguasa untuk membatasi kebebasan sipil, termasuk media.

Menurut Wijayanto, beberapa ukuran kebebasan sipil yang dikekang dan dilanggar di era Jokowi adalah: pelarangan dan razia buku, pembubaran dan teror terhadap diskusi kritis, membubarkan paksa dan penangkap peserta demonstrasi isu Papua, hingga peretasan dan penyadapan para aktivis pro demokrasi.

“Terjadi kesepakatan di antara setidaknya selusin ilmuwan politik dari dalam dan luar negeri bahwa Indonesia sedang mengalami proses kemunduran demokrasi yang dirumuskan dalam berbagai istilah, dari mulai kemunduran (regression, decline, back sliding) hingga putar balik ke arah otoritarianisme (authoritarian turn) dan otoritarianisme baru (neoauthoritarianism),” katanya.
Kemunduran tersebut terjadi secara perlahan sejak 2016 dan terus berlanjut dalam gradasi yang lebih serius setelah Pemilu 2019, ditandai dengan contoh-contoh yang tadi sudah disebut: dari mulai diabaikannya aturan main demokratis hingga hilangnya oposisi di parlemen.

Jika itu masih kurang, Wijayanto menambahkan sejak dua tahun terakhir rezim Jokowi sangat mudah mengintervensi benteng kebebasan akademik: kampus. “Tergerusnya kebebasan akademik hari-hari ini,” simpul Wijayanto, “merupakan penanda kemunduran demokrasi terburuk yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak reformasi politik 1998 dan putar balik ke arah otoritarianisme.”

Namun tentang hal itu dibantah bahwa “Tidak Mudah Berlaku Otoriter”
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian mengatakan “pasca reformasi, siapa pun [presiden] termasuk Jokowi tidak mudah berlaku otoriter.” “Sulit presiden berlaku otoritarian karena [kerja] diawasi DPR, LSM, ormas. Jadi pengawasnya banyak,” katanya, Senin (15/6/2020).

Meski demikian, ia menegaskan Jokowi percaya bahwa hak-hak sipil politik “mensyaratkan hak-hak ekonomi-sosial-budaya” seperti “pendidikan, kemakmuran, melalui berbagai skema bantuan sosial.” Donny bilang, “Pak Jokowi tetap berkomitmen untuk menegakkan HAM, menghormati hak-hak dasar, menghormati kebebasan-kebebasan dasar warga terutama kebebasan hak-hak sosial ekonomi.

Dengan kata lain, menurut Donny, pemerintahan Jokowi lebih memprioritaskan hak ekosob ketimbang sipol. Pemenuhan hak ekosob jadi prasyarat alias pondasi bagi pemenuhan hak sipol.

Pernyataan ini tidak menjawab pokok masalah karena kecenderungan otoriter sebagaimana yang diungkapkan Busyro dan dielaborasi lebih jauh oleh Wijayanto ada di ranah sipil-politik. Ini terkait bagaimana orang-orang biasa berani mengkritik pemerintahnya sendiri tanpa takut dikriminalisasi, bukan apakah perut dan kebutuhan dapur masyarakat dipenuhi pemerintah.

Kritik serupa sempat dilayangkan aktivis HAM Haris Azhar saat mengomentari debat Pilpres 2019. Ketika itu Haris bilang Jokowi hanya fokus membahas isu ekosob dan terang-terangan meninggalkan hak sipil.

“Hak sipil dan politik dan ekososbud itu tidak bisa dipisahkan, harus dipenuhi dalam satu kesatuan,” katanya saat itu.
Perbedaan mendasar Orde Baru dan pasca-reformasi terletak pada relasi negara dan warga negara (civil society) yang berada di posisi seimbang dalam konteks politik. Pemerintah, selaku representasi negara, membuat kebijakan, sementara warga negara memiliki kebebasan untuk berkomentar dan memberi kritik, yang salah satu keluarannya berpotensi membatalkan atau mengubah kebijakan yang tengah dirancang oleh pemerintah. Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa keseimbangan kekuatan politik tersebut bersifat positif dalam konteks negara demokrasi dan sebagai benteng atas potensi kembalinya otoritarianisme.

Hal ini menjadi cerminan bahwa demokratisasi tetap terjaga dan terus berlangsung. Gerakan masyarakat sipil menjadi salah satu upaya untuk menciptakan checks and balances dalam relasi negara-rakyat. Keseimbangan relasi ini harus terus dijaga karena jika salah satu pihak lebih kuat, implikasinya destruktif terhadap demokrasi.

Namun cara pandang pemerintah terhadap fenomena masifnya gerakan masyarakat sipil ini berpotensi menciptakan roh otoritarianisme dan melahirkan neo-otoritarianisme. Perbedaannya, sementara pada rezim Orde Baru pendekatan dan cara pandangnya adalah pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat, pada era neo-otoritarianisme, yang dilakukan bersifat lunak, yakni pendekatan dan cara pandang yang menganggap gerakan masyarakat sipil sebagai upaya perlawanan terhadap pemerintah sehingga pemerintah tidak boleh kalah. Cara pandang seperti ini berpotensi menimbulkan pengabaian dan delegitimasi aspirasi publik karena menganggap dan membenturkan pemerintah dengan masyarakat sipil.

Pandangan yang menganggap gerakan masyarakat sipil tersebut sebagai bentuk perlawanan membuat persoalan mengerucut ke arah pemerintah berhadap-hadapan dengan masyarakat sipil. Ini mengakibatkan sempitnya keluaran dan gengsi persoalan menjadi menang atau kalah, sehingga pemerintah beranggapan, jika kehendak sipil dituruti, itu artinya kekalahan. Padahal, dalam konteks demokrasi, gerakan masyarakat sipil tentu menjadi vitamin dan penyangga demokratisasi.

Perimbangan kekuatan negara dan sipil memunculkan sebuah konsolidasi antara negara dan masyarakat sipil yang melahirkan relasi positive-sum (Huntington, 1995). Perimbangan kekuatan itulah yang nantinya memungkinkan dijalankannya checks and balances atau pengawasan masyarakat sipil kepada pemerintah.

Lebih dari itu, dalam konteks elemen bernegara, gerakan masyarakat sipil juga menjadi penyeimbang antara pemerintah dan sektor swasta. Gerakan masyarakat sipil menjadi tameng untuk mencegah terjadinya kongkalikong di lingkup internal pemerintah, antara pemerintah dan sektor swasta, atau bahkan kuasa “pemodal-predatoris” yang implikasinya berpengaruh pada hajat hidup orang banyak. Melalui hal-hal demikian, peran advokasi, pemberdayaan, dan kontrol sosial masyarakat sipil terpenuhi.

Kebangkitan otoritarianisme digital Sebagai organisasi regional yang fokus pada membela hak-hak digital di Asia Tenggara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) betul-betul khawatir bahwa Indonesia akan segera menyusul banyak negara di kawasan yang kini mempraktikkan otoritarianisme digital. Kekhawatiran ini dapat dibaca dalam laporan kondisi hak digital di Indonesia pada Juli 2020.

Laporan SAFEnet 2020 ini menyatakan situasi perlindungan hak digital di Indonesia berada pada siaga satu otoritarianisme digital. Penindasan teknologi, seperti menggunakan bandwith throttling atau pemadaman Internet di wilayah tertentu, memperburuk situasi yang selama ini telah terjadi banyak pelanggaran kebebasan berekspresi dan kebebasan untuk mengadakan protes damai.

Laporan tahunan ini didasarkan atas pemantauan organisasi ini terhadap tiga hak digital di Indonesia. Pertama, hak untuk mengakses informasi: termasuk kebebasan untuk mengakses Internet, seperti ketersediaan infrastruktur, kepemilikan dan kendali ISP, kesenjangan digital, kesetaraan akses antar gender, sensor daring dalam bentuk penapisan dan pemblokiran, dan juga pemadaman internet. Kedua, hak untuk berekspresi secara bebas: termasuk keragaman konten, kebebasan berpendapat, dan penggunaan Internet dalam memobilisasi masyarakat sipil. Ketiga, hak untuk merasa aman saat daring: termasuk bebas dari pengawasan massal dan penyadapan tidak sah, kondisi perlindungan privasi, dan bebas dari serangan siber.


Kontak

Jl. Purnama Agung 7 Komp. Pondok Agung Permata Y.37-38 Pontianak
E-mail: [email protected]
WA/TELP:
- Redaksi | 0812 5710 225
- Kerjasama dan Iklan | 0858 2002 9918
Share This Article