Oleh: Leo Sutrisno
Dikabarkan bahwa pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi secara tatap muka secara nasional akan dimulai lagi pada Januari 2021. Namun, pelaksanaannya diserahkan pada kebijakan pemerintah daerah setempat. Menurut Mendikbud mereka yang tahu persis keadaan terkini di daerahnya. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Keputusan Bersama empat Menteri (Pendidikan dan Kebudayaan, Kesehatan, Agama, dan Dalam Negeri).
Selanjutnya, Menteri Nadiem Makarim menjelaskan bahwa kegiatan belajar mengajar sekolah di semester pertama 2021 masih akan menggunakan pembelajaran jarak jauh atau PJJ dikombinasikan dengan tatap muka. (Youtube Media Indonesia 5-11-2020).
Dalam bidang pembelajaran penggunaan kombinasi dua atau lebih metoda disebut selagai ‘blended learning’ (Lisa R. Halverson, Charles R. Graham, Kristian J. Spring, dan Jeffery S. Drysdale, 2012).
Barbara M Means, Yukie Toyama, Robert Murphy, dan Marianne Bakia, (2013) menyatakan bahwa hasil Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak berbeda secara signifikan dari pembelajaran reguler di kelas (tatap muka).
Bagi Indonesia, Penerapkan PJJ (daring) secara nasional di masa pandemi Covid-19 ini, mengalami banyak kendala. Bukan hanya ketidak-cukupan peralatan teknologinya tetapi juga ketidak-siapan hati (afektif) dan pikiran (kognitif) para pemangku kepentingan yang terlibat. Sehingga, belakangan ini muncul bermacam kritik yang mengungkapkan bahwa PJJ selama pandemi ini tidak efektif.
Keluhan seperti ini sesungguhnya tidak mengherankan karena semua serba darurat dan mendadak. Hasil belajar siswa melalui PJJ yang dilaksanakan dalam keadaan normal, sebelum masa pandemi COVID-19, pun rendah (ES= 0.048, k= 39, N= 71,731- Mike Allen, Edward Mabry, Michelle Mattrey, dan John Bourhis, 2004).
Mickey Shachar, 2016, memeta-analisis 125 penelitian eksperimental dan kuasi eksperimental yang membandingkan hasil pembelajaran tatap muka dan PJJ yang dilaksanakan dalam kurun waktu 20 tahun. Ada 20.000 siswa yang berpartisipasi. Hasilnya, PJJ juga tidak cukup tinggi dibadingkan dengan yang tradisional (ES= 0.257)
Qian Liu, Weijun Peng, Fan Zhang, Rong Hu, Yingxue Li, Weirong Y, 2016, membandingkan besar efek ‘blended learning’ dan pembelajaran tradisional di kalangan profesi kesehatan. Mereka memeta-analisis 56 penelitian yang memenuhi syarat. Ditemukan bahwa besar efeknya juga tidak tinggi (ES= 0.26).
Penelitian Cheng Li,, Jing He, Chenxi Yuan, Bin Chen, dan Zhiling Sun, (2019) juga membandingkan besar efek ‘blended learning’ dan terdisional masih di lapangan kesehatan, yaitu di palangan pendidikan keperawatan. Ada 8 penelitian yang memenuhi syarat dan 574 perawat tang beroartisipasi. Ditemukan bahwa blended learning secara signifikan meningkatkan pengetahuan (ES = 0.70), ketrampilan (ES= 0.58), dan kepuasan para perawat terhadap kompetensinya (ES= 0.72).
Tahun 2020 ini, Alexandre Vallée, Jacques Blacher, Alain Cariou, dan Emmanuel Sorbets memeta-analisis 56 penelitian ‘blended learning’ masih di bidang kesehatan (9943 partisipan). Hasilnya, terhadap pembelajaran daring tinggi (ES= 0.73). Namun, terhadap luring, tidak jauh berbeda (ES= 0.08)
Di bidang pendidikan umum, meta analisis ‘blended learning dilakukan oleh Hien M.Vo, ChangZhu, dan Nguyet A.Diep (2017). Besar efek ‘blended learning’ jika dibandingkan dengan tatap muka rendah (ES= 0.385, N=51)
Walau kebijakan ‘blended learning 2021’ ini secara khusus diambil untuk menghadapi ‘new normal’ di masa pandemi COVId-19, ada harapan di masa mendatang terutama untuk memenuhi kebutuhan para milenial.
Tahun 2012, Jeffery S. Drysdale, Charles R.Graham. Kristian J.Spring, serta Lisa R.Halverson, menganalisis 205 disertasi dan tesis tentang ‘bllended learning’. Ada sembilan topik yang dibahas, yaitu: 1. hasil belajar siswa, 2. desain instruksional, 3. interaksi, 4. teknologi, 5. demografi, 6. disposisi, 7. komparasi, 8. pengembangan profesional dan 9. Lain-lain.
Ada baiknya, ke-9 hal ini juga dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan ketika akan menerapkan ‘blended learning’ di Indoneisa awal 2021 mendatang. Tantangan utama adalah memilih desain pendekatan yang paling tepat guna karena bagi Indonesia ini merupakan sesuatu yang ‘baru’ (Ali Alammary, Judy Sheard, dan Angela Carbone, 2014).
Ada medan baru baru para peneliti pendidikan. Semoga.
Pakem Tegal, Yogya, 25 Nov 2020