Oleh: Anshari Dimyati
76 tahun yang lalu (1944), Kalimantan Barat bersimbah darah oleh Jepang. Korban yang terbunuh barangkali dapat dikatakan sebagai yang paling besar persentasenya jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada masa itu di daerah lain. Banyak data yang menyebutkan jumlah korban terbunuh mencapai angka puluhan ribu manusia.
Menurut pengakuan Kiyotada Takahashi, Presiden Marutaka House Kogyo Co. Ltd, yang dulu pernah bertugas sebagai salah seorang opsir bala tentara Jepang di Kalimantan Barat, jumlah korban tersebut mencapai angka 21.037 orang. Kemudian disampaikan pula dari kesaksian Yamamoto, seorang Kepala Kempeitai di Kalimantan Barat, bahwa jumlah korban mencapai angka sekitar 50 ribu orang. (Peristiwa Mandor Berdarah, 2009, Syafaruddin Usman).
Surat Kabar Borneo Sinbun di Pontianak, 1 Juli 1944, memberitakan tentang dihukum matinya 48 tokoh yang disebut-sebut sebagai kepala-kepala komplotan yang sedang mempersiapkan rencana untuk menggerakkan perlawanan bawah tanah terhadap pasukan Jepang yang ada di Kalimantan Barat. Mereka beserta yang lainnya ditembak mati pada 28 Juni 1944 dengan tidak disebutkan dimana hukuman mati itu dilaksanakan dan dimana jenazah para korban dimakamkan.
Pinggiran Kota Mandor, sebuah kota kecil di Kabupaten Mempawah, yang terletak 88 kilometer dari Kota Pontianak, belakangan diketahui sebagai salah satu tempat dimana sebagian korban dikubur secara massal. Saat ini, di daerah tersebut terdapat monumen sejarah yang dinamakan Makam Juang Mandor, yang merupakan penanda terhadap aneksasi pasukan pendudukan Jepang dan menjadi saksi jatuhnya banyak korban di Kalimantan Barat, antara 1942-1945. Tanggal 28 Juni pun diperingati sebagai hari berkabung untuk seluruh masyarakat Kalimantan Barat.
Fakta tragis ini tak saja menunjukkan kebrutalan Jepang, tetapi juga keberanian seorang Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (Sultan Pontianak ke-VI), Sultan-sultan lainnya di Kalimantan Barat, dan para tokoh masyarakat. Meski kemudian harus berkalang tanah. Dia memperjuangkan marwah Kalimantan Barat atas kedaulatan wilayahnya yang bernama Federasi Borneo Barat, terdiri dari kerajaan-kerajaan Melayu di Kalimantan Barat. Federasi Borneo Barat inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), tahun 1947.
Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan Jepang ke Pontianak pada 1942. Hadirnya bala tentara fasis Jepang, yang menjadi rekan dari fasis Jerman dalam hasratnya menguasai Asia dan Eropa, menjadi petaka bagi Kesultanan Pontianak yang dekat dengan Belanda dan Inggris (lihat: Membaca Ulang Pahlawan Kita). Pada 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan Kesultanan Pontianak, dan Kesultanan lainnya.
Tak hanya melakukan penangkapan-penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan orang Pontianak. Pada 28 Juni 1944, Jepang menghabisi Sultan Syarif Muhammad beserta keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, cerdik pandai (ilmuwan), dan tokoh masyarakat Pontianak, pun para sultan lain dan masyarakat lain di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan ‘Peristiwa Mandor’.
Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada di Pontianak. Saat itu dia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas pada 1945. Kelak, Syarif Hamid merupakan Sultan terakhir dari dinasti Kesultanan Pontianak, yang berjaya memiliki kedaulatan.
Berakhirnya kekuasaan Sultan Syarif Muhammad karena Peristiwa Mandor itu menciptakan kekosongan pada pemerintahan Pontianak. Atas kewajibannya sebagai seorang anak Sultan, pun atas permintaan rakyat, Syarif Hamid kembali ke Pontianak dan ditabalkan menjadi sultan Pontianak ke-VII (1945-1978) pada 29 Oktober 1945. Dia bergelar Sultan Syarif Hamid Alkadrie, atau lebih dikenal dengan nama Sultan Hamid II.
Setiap 28 Juni, ada haru yang mendesak dalam batin setiap bumiputra Kalimantan Barat. Ingatan tentang Jepang merebak, yang pada 76 tahun silam melakukan pembantaian massal terhadap dua generasi; para leluhur-leluhur kami. Yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji di Kalimantan Barat ini bahkan bukan Belanda? Melainkan, Jepang!
Diunggah sebagian yang berasal dari Tulisan lama saya: Anshari Dimyati, “Kalimantan Barat, di Antara Jepang dan Indonesia” – Lentera Timur. 2012.
Dalam Memperingati Hari Berkabung Daerah,
Kalimantan Barat, 28 Juni 2020. (YSH II)