in

Benarkah Sultan Hamid Tidak Patriotis lantaran jadi Ajudan Ratu Wilhelmina?

Bantahan Terbuka untuk Prof Anhar Gonggong

Oleh: Nur Iskandar

Pada hari Senin, 22/6/20 persis sehari setelah Webinar terbuka mengenai Sultan Hamid Pengkhianat atau Pahlawan diselenggarakan di Pontianak oleh Yayasan Sultan Hamid namun diikuti banyak netizen berbagai provinsi Indonesia, seorang dosen mengirim pesan singkat: Webinar tandingan muncul bang. Dan dia mengundang para guru sejarah sebagai pesertanya. Kepada saya dilampirkan link Facebook-nya.

Meluruskan sejarah itu penting dengan data dan fakta.
Jeda waktu berbilang jam sebelumnya saya sudah dapat Vidio Conference (VC) yang sama di mana Prof Dr Anhar Gonggong mengenakan batik lengan pendek dan memegang diktat Usulan Calon Pahlawan Nasional Sultan Hamid II.

Beliau membacakan teks lampiran foto usulan Yayasan Hamid di halaman 154 sbb, “Sultan Hamid II menandatangani sebagai Mayor Jenderal dan Ajudan Istimewa Ratu Belanda (Ratu Wilhelmina pada tahun 1946). Lantas guru besar sejarah itu dengan nada tinggi menekankan tahun 1946 “kita sedang dikejar-kejar Belanda. Dikejar-kejar Ratu Wilhelmina, dimana patriotismenya?”

Kemudian, Sultan Hamid dipidana 10 tahun penjara. Menurut Anhar, hal ini melanggar UU pemberian gelar kehormatan dan kepahlawanan yang mensyaratkan pidana penjara minimal 5 tahun.

“Saya minta guru-guru jangan terkecoh,” paparnya seraya mengatakan, bahwa ini yang memberikan fakta itu adalah keluarganya sendiri (maksudnya mungkin pengusul, Yayasan Sultan Hamid, red).

“Bagaimana saya mau menolak fakta ini? Dari mereka bukan dari saya! Di saat Belanda mengejar-ngejar kita? Ratu Wilhelmina mengejar-ngejar kita? Mana patriotismenya?”

Setiap kali mendengar atau membaca nama Anhar Gonggong, saya teringat sebuah momen penting dalam hidup saya sebagai wartawan dan penulis buku. Tepatnya pada tahun 2011 saya diundang ke Mabes Polri untuk menuliskan biografi seorang yang cakap, jujur dan adil di mata para Bhayangkara. Dia adalah Komjen Jusuf Manggabarani. Putra daerah asal Makassar, Sulawesi Selatan. Sosok bangsawan yang juga rupawan.

Setelah bekerja keras menyelesaikan biografi orang kuat yang banyak menghabiskan karirnya di kesatuan utama Brigadir Mobil (Brimob), tibalah saat persiapan peluncuran buku setebal 444 halaman tersebut.

Baca Juga:  Semarak Raker MABM

Di ruang kerja Wakapolri, panitia teknis launching buku bertanya, siapa yang akan bertindak sebagai pembedah buku? Disebutlah nama Jusuf Muhammad Kalla. Kenapa dia? Karena Jusuf Kalla kenal baik dengan jejak karir Jusuf Mangga dari muda. Jusuf Kalla juga disegani karena menjadi RI-2 bersama pasangannya RI-1 Susilo Bambang Yudhoyono. Saya wawancara khusus sebelumnya dengan JK di PMI didampingi editor buku saya wartawan senior di Aceh namun ditempatkan di Jakarta, Murizal Hamzah. Kami kebetulan sama-sama mendapatkan fellowship ke Amerika Serikat masing-masing tahun 2002 dan 2004.

Lantas siapa lagi pembedah bukunya? Dicarilah figur muda intelek yang kritis dan independen Teten Masduki. Namun Teten berhalangan di waktu hari H, jam H, sehingga dirujuk nama Ketua Kontras, Usman Hamid.

Nah, untuk ulasan sejarahwan, sebenarnya banyak usulan nama. Mulai dari guru besar sejarah di LIPI Prof Dr Asvi Warman Adam hingga budayawan-sastrawan Radhar Panca Dahana. Atas pilihan itu Wakapolri mengeksekusi nama tersendiri, “Udah, itu saja….siapa itu, sejarawan asal Sulawesi yang berambut gondrong dari UI?”
Perwira-perwira Bhayangkara koor mengingat nama guru besar yang selalu tampil nyentrik dengan rambut panjangnya tergerai sebahu, “Prof Anhar Gonggong…”
“Iya. Itu!” sahut Jusuf Mangga yang duduk bersama para perwira di meja jati oval ruang tamu–ruang kerja Wakapolri–bersebelahan dengan patung raksasa Mahapatih Gajahmada di luar jendela. Patung hitam yang sakral Gajahmada masih dapat dilihat dari Jalan Untung Suropati sampai Blok M Square.

Saya menghubungi Prof Anhar Gonggong via telepon. Saya sampaikan salam dari Wakapolri yang memintanya secara khusus sebagai pembedah buku biografi yang saya kasih judul, “Jusuf Manggabarani Cahaya Bhayangkara.”

Telepon saya diangkat dengan nada Makassar. Saya tak asing dengan aksentuasi spesial itu karena juga turunan dari tanah Sulawesi bagian Selatan. Tanah Bugis. Ayah-ibu saya Bugis. Juga saya meliput di Makassar dalam rangka mendapatkan kisah detail siapa sosok Jusuf Manggabarani.

Baca Juga:  Karnaval Budaya: Gubernur Sutarmidji Ikuti MABM karena Terbanyak - Terrapi dan Ikut Bersholawat

Prof Anhar menyambut dengan ramah. Di sini pointnya. Saya terkesan dengan komunikasi pertama antara saya dan Prof Anhar. Dia kasih saya alamat rumahnya dan minta buku biografi yang hendak dibedah diantarkan ke kediamannya sehingga sempat dia baca.

Singkat kata singkat cerita, saya pun datang ke kediamannya menggunakan taksi. Maklum tahun 2011 belum ada Gojek, Uber atau sejenisnya.

Sesampainya di rumah, saya diterima dengan anggun. Beliau berkaos dan kain sarung. Ibarat bapak ketemu dengan anaknya. Saya diterima di sebuah rumah yang amat sangat sederhana untuk ukuran seorang guru besar, di Universitas Indonesia pula. Dalam pandang mata saya, rumah Prof Anhar adalah rumah orang Indonesia kebanyakan, dan pokoknya saya kagum karena pemilik nama besar bidang sejarah ini tipikal amat sangat sederhana.

“Dia pembicara yang bagus. Independen. Keras. Tegas. Kritis,” begitu penilaian Komjen Jusuf Manggabarani. Saya mengiyakan dalam hati sebab saya melihat dengan mata kepala sendiri setelah berinteraksi dengannya soal buku biografi.

Peluncuran buku Jusuf Manggabarani Cahaya Bhayangkara berlangsung meriah di Auditorium Puri Kencana, Grand Sahid Jaya, kawasan Jalan Jenderal Soedirman, Jakarta. Malam hari yang cerah. Prof Anhar Gonggong tampil mengenakan jas cokelat dengan rambut panjangnya tergerai sebahu. Saya satu meja jamuan makan dengannya…

Turut hadir dalam acara spesial itu guru besar sosiologi Untan Prof Dr Syarif Ibrahim Alkadrie, sekretaris pribadi Sultan Hamid Max Jusuf Alkadrie, jurnalis senior Kalbar cum akademisi Dr Yusriadi, dan 500-an undangan. Turut hadir Kapolri Jenderal Timur Pradopo serta para mantan Kapolri.

Ketika tampil membedah buku, dengan gaya bicaranya yang memukau, Anhar menyarankan agar kisah Jusuf Mangga difilmkan. Kenapa? Kisah heroik merebut TVRI di Timtim dengan aksi baku-tembaknya amat menarik bagi perjuangan insan Bhayangkara. Terutama dari sudut pandang aparat militer/TNI, atau kamtibmas di pundak Polri.

Baca Juga:  Ada Pondok Penghapal Quran Al-Hidayah di Kampung Beting

Saya tentu senang dengan ulasan ini. Apalagi menurutnya, gaya penulisan kisah itu sastrawi. Kembang kempis hidung saya dibuatnya. Apalagi beberapa aktivis jurnalisme sastrawi seperti Imam Safwan yang satu angkatan pelatihannya dengan saya di angkatan ke-9, diampu Andreas Harsono dan Prof Janet Steele turut hadir. Begitulah Prof Dr Anhar Gonggong yang saya kenal.

Saya dengar Prof Dr Anhar Gonggong duduk di Dewan Gelar yang tugasnya menyeleksi usulan-usulan Pahlawan Nasional RI. Saya juga mendengar, bahwa yang paling keras menolak usulan Sultan Hamid II menjadi pahlawan nasional adalah pria nyentrik dengan rambut sebahu itu.

Saya tidak begitu yakin, sosok yang saya kenal sederhana itu begitu keras menolak. Saya diburu rasa ingin tahu di mana alasannya.

Usulan Sultan Hamid II Pahlawan Nasional diajukan tahun 2016, namun tidak ada kabar berita dari Kementerian Sosial yang mengurusi gelar pahlawan ini, hingga tahun 2017. Mensos Khofifah Indar Parawansa baru mengundang Yayasan Hamid presentasi pada limit akhir tahun 2017. Namun tahun berganti, lama sekali tidak ada kabar beritanya, sampai akhirnya beberapa persyaratan formal administratif minta dilengkapi. Yayasan Hamid berkesiap. 2 troli kelengkapan administrasi disampaikan. Nota serah terima pun ditanda-tangani.

Yayasan Hamid terkejut bukan kepalang ketika akhir Januari 2019 diperoleh kopi surat di kalangan keluarga istana (bukan kepada pengusul, yakni Yayasan Sultan Hamid, sesuatu yang aneh di mana pengusulnya siapa, tetapi yang disurati siapa?). Bunyi surat itu semacam penolakan dengan disebutkan: 1. Sultan Hamid pelaku makar/pengkhianat kepada negara karena berkomplot dengan pemberontak Westerling. 2. Dia bukan perancang tunggal Lambang Negara. 3. Disharmoni hubungannya dengan Sri Sultan HB IX–Sultan Jogja.

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

“Quiet”

Masalahnya Bukan pada Pancasila, tapi pada Implementasinya