Oleh: Nur Iskandar
Pada hari Senin, 22/6/20 persis sehari setelah Webinar terbuka mengenai Sultan Hamid Pengkhianat atau Pahlawan diselenggarakan di Pontianak oleh Yayasan Sultan Hamid namun diikuti banyak netizen berbagai provinsi Indonesia, seorang dosen mengirim pesan singkat: Webinar tandingan muncul bang. Dan dia mengundang para guru sejarah sebagai pesertanya. Kepada saya dilampirkan link Facebook-nya.
Meluruskan sejarah itu penting dengan data dan fakta.
Jeda waktu berbilang jam sebelumnya saya sudah dapat Vidio Conference (VC) yang sama di mana Prof Dr Anhar Gonggong mengenakan batik lengan pendek dan memegang diktat Usulan Calon Pahlawan Nasional Sultan Hamid II.
Beliau membacakan teks lampiran foto usulan Yayasan Hamid di halaman 154 sbb, “Sultan Hamid II menandatangani sebagai Mayor Jenderal dan Ajudan Istimewa Ratu Belanda (Ratu Wilhelmina pada tahun 1946). Lantas guru besar sejarah itu dengan nada tinggi menekankan tahun 1946 “kita sedang dikejar-kejar Belanda. Dikejar-kejar Ratu Wilhelmina, dimana patriotismenya?”
Kemudian dia (Sultan Hamid) dipidana 10 tahun penjara. Menurut Anhar, hal ini melanggar UU pemberian gelar kehormatan dan kepahlawanan yang mensyaratkan pidana penjara minimal 5 tahun.
“Saya minta guru-guru jangan terkecoh,” paparnya seraya mengatakan, bahwa ini yang memberikan fakta itu adalah keluarganya sendiri (maksudnya mungkin pengusul, Yayasan Sultan Hamid, red).
“Bagaimana saya mau menolak fakta ini? Dari mereka bukan dari saya! Di saat Belanda mengejar-ngejar kita? Ratu Wilhelmina mengejar-ngejar kita? Mana patriotismenya?”
Setiap kali mendengar atau membaca nama Anhar Gonggong, saya teringat sebuah momen penting dalam hidup saya sebagai wartawan dan penulis buku. Tepatnya pada tahun 2011 saya diundang ke Mabes Polri untuk menuliskan biografi seorang yang cakap, jujur dan adil di mata para Bhayangkara. Dia adalah Komjen Jusuf Manggabarani. Putra daerah asal Makassar, Sulawesi Selatan. Sosok bangsawan yang juga rupawan.
Setelah bekerja keras menyelesaikan biografi orang kuat yang banyak menghabiskan karirnya di kesatuan utama Brigadir Mobil (Brimob), tibalah saat persiapan peluncuran buku setebal 444 halaman tersebut.
Di ruang kerja Wakapolri, panitia teknis launching buku bertanya, siapa yang akan bertindak sebagai pembedah buku? Disebutlah nama Jusuf Muhammad Kalla. Kenapa dia? Karena Jusuf Kalla kenal baik dengan jejak karir Jusuf Mangga dari muda. Jusuf Kalla juga disegani karena menjadi RI-2 bersama pasangannya RI-1 Susilo Bambang Yudhoyono. Saya wawancara khusus sebelumnya dengan JK di PMI didampingi editor buku saya wartawan senior di Aceh namun ditempatkan di Jakarta, Murizal Hamzah. Kami kebetulan sama-sama mendapatkan fellowship ke Amerika Serikat masing-masing tahun 2002 dan 2004.
Lantas siapa lagi pembedah bukunya? Dicarilah figur muda intelek yang kritis dan independen Teten Masduki. Namun Teten berhalangan di waktu hari H, jam H, sehingga dirujuk nama Ketua Kontras, Usman Hamid.
Nah, untuk ulasan sejarahwan, sebenarnya banyak usulan nama. Mulai dari guru besar sejarah di LIPI Prof Dr Asvi Warman Adam hingga budayawan-sastrawan Radhar Panca Dahana. Atas pilihan itu Wakapolri mengeksekusi nama tersendiri, “Udah, itu saja….siapa itu, sejarawan asal Sulawesi yang berambut gondrong dari UI?”
Perwira-perwira Bhayangkara koor mengingat nama guru besar yang selalu tampil nyentrik dengan rambut panjangnya tergerai sebahu, “Prof Anhar Gonggong…”
“Iya. Itu!” sahut Jusuf Mangga yang duduk bersama para perwira di meja jati oval ruang tamu–ruang kerja Wakapolri–bersebelahan dengan patung raksasa Mahapatih Gajahmada di luar jendela. Patung hitam yang sakral Gajahmada masih dapat dilihat dari Jalan Untung Suropati sampai Blok M Square.
Saya menghubungi Prof Anhar Gonggong via telepon. Saya sampaikan salam dari Wakapolri yang memintanya secara khusus sebagai pembedah buku biografi yang saya kasih judul, “Jusuf Manggabarani Cahaya Bhayangkara.”
Telepon saya diangkat dengan nada Makassar. Saya tak asing dengan aksentuasi spesial itu karena juga turunan dari tanah Sulawesi bagian Selatan. Tanah Bugis. Ayah-ibu saya Bugis. Juga saya meliput di Makassar dalam rangka mendapatkan kisah detail siapa sosok Jusuf Manggabarani.
Prof Anhar menyambut dengan ramah. Di sini pointnya. Saya terkesan dengan komunikasi pertama antara saya dan Prof Anhar. Dia kasih saya alamat rumahnya dan minta buku biografi yang hendak dibedah diantarkan ke kediamannya sehingga sempat dia baca.
Singkat kata singkat cerita, saya pun datang ke kediamannya menggunakan taksi. Maklum tahun 2011 belum ada Gojek, Uber atau sejenisnya.
Sesampainya di rumah, saya diterima dengan anggun. Beliau berkaos dan kain sarung. Ibarat bapak ketemu dengan anaknya. Saya diterima di sebuah rumah yang amat sangat sederhana untuk ukuran seorang guru besar, di Universitas Indonesia pula. Dalam pandang mata saya, rumah Prof Anhar adalah rumah orang Indonesia kebanyakan, dan pokoknya saya kagum karena pemilik nama besar bidang sejarah ini tipikal amat sangat sederhana.
“Dia pembicara yang bagus. Independen. Keras. Tegas. Kritis,” begitu penilaian Komjen Jusuf Manggabarani. Saya mengiyakan dalam hati sebab saya melihat dengan mata kepala sendiri setelah berinteraksi dengannya soal buku biografi.
Peluncuran buku Jusuf Manggabarani Cahaya Bhayangkara berlangsung meriah di Auditorium Puri Kencana, Grand Sahid Jaya, kawasan Jalan Jenderal Soedirman, Jakarta. Malam hari yang cerah. Prof Anhar Gonggong tampil mengenakan jas cokelat dengan rambut panjangnya tergerai sebahu. Saya satu meja jamuan makan dengannya…
Turut hadir dalam acara spesial itu guru besar sosiologi Untan Prof Dr Syarif Ibrahim Alkadrie, sekretaris pribadi Sultan Hamid Max Jusuf Alkadrie, jurnalis senior Kalbar cum akademisi Dr Yusriadi, dan 500-an undangan. Turut hadir Kapolri Jenderal Timur Pradopo serta para mantan Kapolri.
Ketika tampil membedah buku, dengan gaya bicaranya yang memukau, Anhar menyarankan agar kisah Jusuf Mangga difilmkan. Kenapa? Kisah heroik merebut TVRI di Timtim dengan aksi baku-tembaknya amat menarik bagi perjuangan insan Bhayangkara. Terutama dari sudut pandang aparat militer/TNI, atau kamtibmas di pundak Polri.
Saya tentu senang dengan ulasan ini. Apalagi menurutnya, gaya penulisan kisah itu sastrawi. Kembang kempis hidung saya dibuatnya. Apalagi beberapa aktivis jurnalisme sastrawi seperti Imam Safwan yang satu angkatan pelatihannya dengan saya di angkatan ke-9, diampu Andreas Harsono dan Prof Janet Steele turut hadir. Begitulah Prof Dr Anhar Gonggong yang saya kenal.
Saya dengar Prof Dr Anhar Gonggong duduk di Dewan Gelar yang tugasnya menyeleksi usulan-usulan Pahlawan Nasional RI. Saya juga mendengar, bahwa yang paling keras menolak usulan Sultan Hamid II menjadi pahlawan nasional adalah pria nyentrik dengan rambut sebahu itu.
Saya tidak begitu yakin, sosok yang saya kenal sederhana itu begitu keras menolak. Saya diburu rasa ingin tahu di mana alasannya.
Usulan Sultan Hamid II Pahlawan Nasional diajukan tahun 2016, namun tidak ada kabar berita dari Kementerian Sosial yang mengurusi gelar pahlawan ini, hingga tahun 2017. Mensos Khofifah Indar Parawansa baru mengundang Yayasan Hamid presentasi pada limit akhir tahun 2017. Namun tahun berganti, lama sekali tidak ada kabar beritanya, sampai akhirnya beberapa persyaratan formal administratif minta dilengkapi. Yayasan Hamid berkesiap. 2 troli kelengkapan administrasi disampaikan. Nota serah terima pun ditanda-tangani.
Yayasan Hamid terkejut bukan kepalang ketika akhir Januari 2019 diperoleh kopi surat di kalangan keluarga istana (bukan kepada pengusul, yakni Yayasan Sultan Hamid, sesuatu yang aneh di mana pengusulnya siapa, tetapi yang disurati siapa?). Bunyi surat itu semacam penolakan dengan disebutkan: 1. Sultan Hamid pelaku makar/pengkhianat kepada negara karena berkomplot dengan pemberontak Westerling. 2. Dia bukan perancang tunggal Lambang Negara. 3. Disharmoni hubungannya dengan Sri Sultan HB IX–Sultan Jogja.
Merasa tidak menerima tembusan surat tentang usulannya, Yayasan Sultan Hamid mengirim utusan mendatangi Kementerian Sosial secara langsung. Dan arsip suratnya pun dibagikan, sekaligus diketahui bahwa tujuan surat adalah kepada Gubernur Kalimantan Barat.
Demi membaca surat itu Yayasan Sultan Hamid diundang Asisten III yang membidangi Kesra. Dijembatani pula kepada Dinas Sosial.
Saya mencium ketidakberesan di instansi Provinsi Kalimantan Barat, maupun Kemensos. “Jangan-jangan ada udang di balik batu soal pengusulan calon pahlawan nasional. Apakah sama dengan award-award lainnya?”
Penciuman subjektif saya itu sisi lain yang perlu diteliti kebenarannya. Untuk itu pula pemerintah mesti transparan terhadap prosedur, seperti seminar lokal dan nasional. Dari mana dananya? Berapa besarannya? Siapa yang diundang? Dsb. Dst.
Ketidak beresan lainnya adalah percaturan politik daerah di mana kental usulan itu dilihat dari sudut pandang etnik dan agama, sehingga mempengaruhi sistematika surat menyurat dan tali koordinasi. Termasuk juga soal dana penelitian dan kait-kaitannya.
Terus terang saja ada tiga nama teratas yang diusulkan dari Kalbar. 1. Sultan Hamid. 2. JC Oevaang Oeray. 3. Jeranding Abdurahman.
Alhasil sejumlah petinggi Kalbar ditemui Yayasan Sultan Hamid. Mulai dari Asisten III, Asisten II, Asisten I Setda, hingga pada akhirnya diambil alih oleh Gubernur Kalbar H Sutarmidji, SH, M.Hum.
Kemelut isi surat Kemensos yang bernada penolakan atas usulan Sultan Hamid pahlawan nasional “diributkan” Yayasan Sultan Hamid. Terbit sebagai headline di beberapa koran daerah, termasuk di Indo Pos, Jakarta. Ini cikal bakal merebaknya pengetahuan publik atas perjuangan Hamid, di mana ketiga anasir isi surat “penolakan” dijawab tuntas oleh Yayasan Hamid. Kekuatan media konvensional diperkuat media sosial di mana lewat dunia maya bisa segera viral.
Yayasan Hamid sejak saat itu lebih pro-aktif mensosialisasikan etos kejuangan Sultan Hamid sebagai Perancang Lambang Negara dan diakuinya kedaulatan RI lewat Konferensi Meja Bundar.
Hasil kerja-kerja itulah yang kemudian disambut Prof Dr AM Hendropriyono dengan Agama Akal TV yang membuat trending topik nasional selama lebih seminggu terakhir ini. Bahwa katanya sudah viral di medsos bahwa Sultan Hamid II Pahlawan Nasional, padahal Sultan Hamid II itu pengkhianat bagi bangsa dan negara.
Viral berbalas viral. Webinar berbalas webinar di tengah pandemi Covid-19.
Menonton webinar Prof Anhar Gonggong kepada para guru, saya tidak kecoh. Komentar saya kepada dosen yang me-WA, “Alhamdulillah apa yang kita lakukan didengar seluruh Indonesia. Gemanya kuat menghentak. Bahkan Dewan Gelar sudah diterima Presiden Jokowi di Istana Bogor. Ada Prof Anhar Gonggong di situ.”
Feeling saya sebagai wartawan, pertemuan dengan RI-1 terkait persiapan Hari Pahlawan 10 Nopember 2020 siapa yang diajukan sebagai calon pahlawan nasional. “Inside” di dalamnya adalah kehebohan pasca pernyataan Prof Dr AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara bahwa Sultan Hamid tak layak menjadi pahlawan nasional karena dia pengkhianat kepada bangsa dan negara (Agama Akal TV-Youtube, 11/6/20). Pernyataan yang langsung ditanggapi pihak Kesultanan Pontianak dengan melaporkannya ke Mapolda Kalbar (12/6/20), serta jumpa pers Yayasan Sultan Hamid (13/6/20), serta Webinar terbuka Sultan Hamid Pengkhianat atau Pahlawan (21/6/20) yang menghadirkan narasumber Wakil Ketua MPR-RI Dr Hidayat Nur Wahid, Gubernur Kalbar H Sutarmidji, SH, M.Hum, wakil DPR RI Dapil Kalbar H Syarif Abdullah Alkadrie, SH, MH, Ketua Yayasan Hamid Anshari Dimyati, SH, MH dan pengamat sejarah nasional JJ Rizal, SS.
Dalam VC/Webinar tampak Prof Anhar Gonggong berpakaian batik lengan pendek dan memegang dokumen usulan pahlawan nasional atas nama Sultan Hamid II. Ia menyitir teks foto di halaman 154. Bahwa SH-II menandatangani dirinya sebagai Mayjen dan Ajudan Istimewa Ratu Wilhelmina pada tahun 1946.
Keras dan pedas ungkapan Prof Anhar Gonggong bahwa pada saat itu Belanda mengejar-ngejar kita, Ratu Wilhelmina mengejar-ngejar kita, sementara dia dibanggakan menjadi Mayjen, sehingga jauh kesan dari sikap patriotis.
Saya memegang diktat usulan calon pahlawan nasional yang juga dipegang Prof Anhar Gonggong. Saya bukan sejarawan, hanyalah seorang wartawan yang memberitakan seputar Hamid sejak tahun 1994. Sejak aktif sebagai wartawan kampus, saya yang semula dari SD-SMA membaca buku sejarah bahwa Hamid adalah pengkhianat negara pelan-pelan berubah. Bahkan ke sini-sini saya menilai banyak jasa Hamid yang pantas kita hormati dan dia pantas diajukan sebagai pahlawan nasional.
Saya tidak kecoh dengan uraian Prof Anhar karena foto yang dibacakan teksnya itu hanyalah 1 dari 120-an foto. Kesemua foto itu hanya yang terdapat dalam lampiran, di luar foto halaman utama dari diktat setebal 211 halaman.
Selengkapnya pada diktat usulan terdiri dari rekomendasi Pemda (Gubernur Kalbar), surat pengantar dari Dinas Sosial, rekomendasi dari Walikota Pontianak, riwayat hidup SH-II, biografi, seminar usulan, dan dokumen-dokumen pendukung.
Jika dibaca seluruh isinya tanpa—mengutip pernyataan Gubernur Kalbar bersifat “tendensius”, maka tidak akan tampak bahwa SH-II tidak patriotik kepada Indonesia. Jika dibaca dengan sabar seluruh lembar, maka justru sebaliknya terang benderang Hamid II Alkadrie itu patriotis sejati. Nasionalis tulen. Lihat pengakuan ahli sejarah Kalbar Drs H Soedarto bahwa Hamid selalu memikirkan rakyat (h-140), Uun Mahdar, SH yang meneliti aspek hukum hak cipta Lambang Negara Hamid itu federalis, tapi nasionalis (h-141), tokoh adat Dayak Baroamas Djabang Balunus Massuka Djanting bahwa Hamid itu orang baik, pandai bergaul.
Pengakuan senada Djanting dikemukakan wartawan senior Rosihan Anwar. Bahkan peneliti SH-II dalam KMB, Denny Amiruddin, SH tegas menyatakan, “Jangan kita dibutakan sejarah.” (H-148).
Begitupula lampiran foto. Lampiran foto pertama (h-150) menampilkan wajah Hamid dari masa ke masa dan wajahnya di antara desain lambang negara karyanya. Foto yang dikritisi Prof Anhar di halaman 154 tidak ilmiah jika dibaca parsial lalu dibumbui opini sepihak dalam menilai sikap patriotisme seseorang. Semua foto mesti dibaca utuh sebagai perjalanan hidup dan sikap seseorang.
Tersebut di halaman 151: foto perjalanan sejarah SH-II. H-152: Disajikan fakta bahwa Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan Ke-VI Kesultanan Pontianak adalah ayahanda SH-II yang wafat atas kekejaman Jepang. Di foto ini jelas tersirat bahwa SH-II putra seorang pejuang.
Peristiwa penangkapan Sultan Muhammad oleh Jepang pada tahun 1944 sebelum Hamid menjadi Mayjen dan ajudan ratu Wilhelmina. Pada 1944 juga Kerajaan Pontianak eksis sebagai tata pemerintahan merdeka. Ia tidak tunduk kepada siapa-siapa di Jakarta, Jawa atau mana-mana daerah Nusantara. Hubungan kerjasamanya meliputi Malaysia, Singapura, China, Arab hingga Eropa. Sejarah besar berada di belakangnya.
Sultan Muhammad sebagaimana sultan lainnya di Nusantara juga sebagian besar bisa bekerjasama erat dengan Belanda.
Sultan Muhammad mereformasi baju kebesaran kerajaan ala Eropa. Termaksud pesan di dalamnya bahwa perubahan itu penting. Namun dia juga memajukan pendidikan, sosial, ekonomi, hingga politik. Untuk inilah dia dianggap mengancam kepentingan Jepang yang membuat Belanda menyerah tanpa sarat.
Ayah Sultan Hamid ditangkap dan dibunuh Jepang dengan tuduhan akan mendirikan Negara Borneo Barat Merdeka. Jika Kesultanan Pontianak pada waktu itu adalah “kita” dalam terminologi Prof Anhar, kemanakah Indonesia “kita” menyikapi dibunuhnya Sultan Muhammad? Siapa yang mengadili tentara Jepang? Siapa yang menuntut keadilan hilangnya nyawa 21.037 jiwa rakyat Kalbar di ladang pembantaian Mandor?
Sultan Hamid II memang berkarir di tentara Hindia-Belanda (KNIL). Namun hukum dan UU saat itu apa melarang anak pribumi bekerja di KNIL?
Sebagai putra Sultan yang reformis, wajar Hamid dapat pendidikan terbaik. Sejak kecil sudah diserahkan pengasuhannya kepada guru asal Inggris, sehingga dia fasih berbahasa internasional. Ia sekolah Belanda sejak dasar, lanjut dan menengah.
Sempat setahun di ITB kemudian ambil jurusan militer di Breda-Belanda.
Banyak anak-anak orang kaya dan cerdas sekolah di Belanda. Ada Hatta. Ada juga Hamengkubuwono IX.
Seusai tamat dari pendidikan militer di Belanda, wajar Hamid berkarir di instansi militer di Indonesia. Namun saat Belanda menyerah kepada Jepang, dia juga ditawan selama 3 tahun.
Bagaimanakah hukum saat itu? Hukum siapa yang dipakai? Apakah salah warga pribumi bekerja sebagai KNIL? Seperti juga Nasution? Soeharto? Mereka semua juga anggota KNIL. Tidak patriotis kah mereka?
Sebagai wartawan, saya hanya bertanya, karena hak utama wartawan adalah bertanya demi mencari kebenaran. Dan jawaban saya peroleh dari Dekan Fakultas Hukum Untan, Dr Hasyim Azizurahman, bahwa tidak ada larangan menjadi anggota KNIL pada saat itu bagi pribumi, bahkan dinilai berprestasi karena lolos seleksi fisik, mental, dan intelektiual. Tidak ada larangan menjadi ajudan ratu.
Bahkan dari foto selanjutnya tampak sekali bahwa Sultan Hamid menggunakan kedekatannya dengan Ratu Wilhelmina Cq Ratu Juliana untuk diplomasi Konferensi Meja Bundar sehingga proklamasi 17 Agustus diakui kedaulatannya oleh Belanda. Walaupun bentuk negara yang disepakati adalah Republik Indonesia Serikat.
Persoalan unitaris dan federalis adalah persoalan ide bagaimana tata pemerintahan Indonesia. “Adalah rugi besar bagi rakyat Indonesia jika sejarahnya tentang RIS tidak dibuka lebar-lebar. Banyak manfaat membaca sejarah federalisme itu.” Begitu kira-kira pesan peneliti dan penulis buku Sejarah yang Hilang, Mahendra Petrus. (Kanisius, 2017).
Anggota DPR RI dapil Kalbar, H Syarif Abdullah Alkadrie, SH, MH menegaskan, pada tahun 1946 usia kemerdekaan Indonesia masih bayi. “Jika Sultan Hamid tidak berjuang untuk pengakuan kedaulatan RI saat itu entah apa jadinya Indonesia,” kata dia dalam Webinar, 21/6/20.
Jadi, saya sebagai insan pers membela Yayasan Hamid bahwa foto 1946 di mana Hamid menandatangani pengangkatannya sebagai Mayjen dan Ajudan Khusus Ratu Wilhelmina memang patut dibanggakan, karena saat 1946 Hamid juga baru naik tahta menggantikan ayahnya yang tewas dibunuh Jepang dengan tuduhan hendak mendirikan Negara Borneo Barat Merdeka (baca: tidak ada frasa Indonesia). Apa artinya untuk Kesultanan Pontianak? Bahwa Pontianak adalah entitas pemerintahan otonom, tidak di bawah siapa-siapa termasuk Jakarta atau Jogjakarta. Banyak wilayah Indonesia lainnya berbentuk kerajaan dan otonom. Kelak atas jasa Hamid melalui BFO, kerajaan-kerajaan yang masih otonom itu berhimpun dan bergabung ke NKRI. Ini jelas patriotik dan nasionalisme tinggi untuk menjadi Indonesia.
Lihat foto halaman 163, tahun 1947 di mana selain Sultan Hamid, juga ada Dr Tengku Mansoer Wali Negara Sumatera Utara. Mereka menghadiri penobatan Ratu Juliana menggantikan Ratu Wilhelmina. Agaknya, dua sultan ini harmonis dengan Belanda. Harmonis dengan Belanda, namun mengenakan pakaian daerah masing-masing. Di sini makna federalis. Local wisdom terpelihara, bukannya penyeragaman seperti era Orba. Justru Orba tumbang dengan lahirnya gerakan reformasi serta berbuah otonomi daerah. Bukankah otonomi daerah yang kita nikmati sekarang ini adalah ruhnya federal? Tidakkah itu terbaca bahwa perjuangan Hamid bersama BFO melampaui zamannya?
Bung Hatta dan HB IX juga alumni pendidikan di Belanda namun tidak serta merta digolongkan pro Belanda. Bagaimana struktur penggolongan antara Hamid dan yang lainnya? Di halaman 154 di bawah foto yang dikritisi Prof Anhar dipajang foto Sultan Hamid berdiri bersama mahasiswa Indonesia di Institute Indonesia, Nederlands, setahun lebih awal, yakni 1945. Bukankah ini tanda Hamid pro Indonesia? Berarti Hamid nasionalis. Kenapa tidak dikupas guru besar sejarah UI yang disegani ini? Maaf, jika tidak “tendensius”.
Masih bercerita foto dikaitkan dengan konteks sejarahnya. Setelah ayahandanya wafat 1944, Hamid yang merupakan tentara KNIL selepas dari tahanan Jepang pulang ke Pontianak. Ia dilantik menggantikan ayahnya. Siapa yang melantik? Jawabannya Belanda. Kenapa Belanda? Karena hubungan kerjasama antara Kesultanan Pontianak dengan Belanda tidaklah sama dengan hubungan Belanda di Jawa. Yang disebut Prof Anhar dengan “kita” diburu dan dikejar-kejar di mana Hamid?
Di masa Hamid menjadi Sultan ke-VII di Pontianak dia mulai belajar ilmu politik pemerintahan. Sebab sebelumnya dia benar-benar tentara tulen, cita-citanya menjadi insan militer yang cakap. Tetapi sejarah berkata lain, dia harus tampil memimpin rakyat satu kesultanan. Kemudian bertumbuh se-Kalimantan Barat via lahirnya Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) gabungan daerah-daerah swapraja.
Untuk itulah foto-foto lampiran lainnya bercerita tentang kunjungan kerja Hamid ke daerah-daerah dan luar negeri dalam rangka belajar. Hamid belajar tentang pengelolaan kopra hingga pengolahan kulit buaya. Ia juga ke daerah-daerah menyerap aspirasi sehingga berdirilah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB/1947). Kelak melalui DIKB inilah Hamid mulai dikenal di pentas nasional dengan para raja lainnya di Nusantara.
Di sana pula nasionalismenya semakin tertanam. Adapun posisi dirinya sebagai Ajudan Khusus Ratu justru digunakannya untuk kepentingan kemerdekaan Indonesia. Lihat foto hal 166: Sultan Hamid II Sang Diplomat cerdas asal Pontianak – Kalbar tiba di Negeri Belanda mewakili BFO membujuk Ratu Juliana untuk menyelesaikan masalah RI dengan Pemerintahan Negeri Belanda karena SH-II sebagai Wakil Mahkota Hindia Belanda tahun 1949 dimanfaatkannya untuk kepentingan diplomasi Indonesia merdeka dan berdaulat.
Foto-foto selanjutnya justru kita berdecak kagum bagaimana akrabnya Sultan Hamid II dengan Bung Karno. Menatap wajah Pangeran Diponegoro bersama-sama, duduk bercengkrama dengan Sultan HB-IX membicarakan masa depan dua daerah istimewa dst dsb. Foto-foto yang terkait satu sama lainnya yang kesimpulannya amat jauh dari klaim sepihak bahwa SH-II adalah tidak patriotis.
Saya wartawan, saya memang bukan guru di depan kelas yang mengajar murid-murid sejarah an sich, tetapi UU Pers No 40 Tahun 1999 menyebutkan pers Indonesia menyampaikan informasi, edukasi dan kontrol sosial. Jadi, saya dalam konteks viral VC/webinar Prof Dr Anhar Gonggong hanyalah menyampaikan informasi yang saya tahu karena saya terlibat di dalam pengajuan Sultan Hamid II Pahlawan Nasional, turut menulis buku biografi politik Sultan Hamid II Perancang Lambang Negara (bersama Anshari Dimyati dan Turiman Faturahman Nur), dan turut menjadi moderator saat jumpa pers menjawab segala tudingan Prof Dr AM Hendropriyono, Saribento-Museum Kalbar, Minggu (13/6/20).
Kalau Prof Anhar mengajar kepada para guru agar mereka tidak terkecoh dengan sejarah Hamid II Alkadrie sebagai pahlawan nasional karena jasanya merancang lambang negara dan pengakuan kemerdekaan Indonesia dalam KMB, saya sebagai wartawan justru diamanahkan oleh negara sesuai UU Pers No 40 tahun 1999 ( buah reformasi untuk turut melakukan edukasi kepada publik). Melakukan kontrol sosial dengan cover-both-side. Tidak berat sebelah. Adil. Saya hormat dan respek dengan Bapak, karena Bapak orang baik, keras, dan kritis sekaligus sederhana. Namun dalam hal ini saya menilai Prof Anhar ada sisi subjektifnya. Sisi subjektifnya disebutkan sendiri saat kita satu forum sosialisasi pengajuan gelar pahlawan nasional, ketika Profesor berbeda pandangan dengan Ketua Yayasan Hamid, lantas dengan geram mengatakan, “Di mana muka saya mau ditaroh, paman dan bibi saya korban Westerling. Selama saya masih di Dewan Gelar, Hamid Alkadrie tak akan lolos.”
Mau tidak mau, suka atau tidak suka hal ini harus kita buka. Demikian agar publik tahu dan bisa mengambil sikapnya sendiri terhadap sejarah Indonesia, tanpa mengorbankan persatuan dan kesatuan di bawah payung NKRI-harga mati dewasa ini. *