Oleh: Nur Iskandar
Payung hukum gelar Pahlawan Nasional diatur pada UU No 20 Tahun 2009. UU ini azasnya, 1. Kebangsaan; 2. Kemanusiaan; 3. Kerakyatan; 4. Keadilan; 5. Keteladanan; 6. Kehati-hatian; 7. Keobjektifan; 8. Keterbukaan; 9. Kesetaraan; dan 10. Timbal balik.
Pengajuan Sultan Hamid II Alkadrie sebagai Pahlawan Nasional dilakukan sejak tahun 2016. Hubungan timbal baliknya tidak seimbang antara TP2GD dengan TP2GP. Antara Kalbar dengan Kementerian Sosial dan Presiden RI. Antara lain surat Gubernur Kalimantan Barat selaku Wakil Pemerintah Pusat kepada Menteri Sosial (2019) hingga kini tidak dijawab soal jawaban ‘penolakan’ Kementerian Sosial yang seluruhnya telah dibantah secara ilmiah. Begitupula surat pengajuan audiensi kepada Presiden RI sejak diterima per tanggal 26 Agustus 2020 hingga kini tidak ada jawaban.
Kondisi di atas menunjukkan kami selaku rakyat sudah patuh dan tunduk pada azas UU No 20 berupa 1. Kebangsaan; 2. Kemanusiaan; 3. Kerakyatan; 4. Keadilan; 5. Keteladanan; 6. Kehati-hatian; 7. Keobjektifan; 8. Keterbukaan; 9. Kesetaraan; dan 10. Timbal balik, sementara Pemerintah Pusat tidak menerapkan azas keadilan beradministrasi, kurang objektif di mana hak hak kami di Kalimantan Barat yang mengajukannya secara resmi dan telah ditanda-tangani TP2GD melalui rekomendasi Walikota dan Gubernur tiada kesempatan presentasi di hadapan TP2GP di Kementerian Sosial RI apalagi di hadapan Dewan Gelar yang berada di bawah Presiden RI–termasuk kepada Presiden RI secara vis a vis.
Pemerintah juga lalai menerapkan sistem keterbukaan sebagai azas UU No 20 tentang Gelar dan Tanda Kehormatan, apalagi kesetaraan dan timbal balik. Banyak sekali azas yang luhur UU No 20 / 1999 itu telah dilalaikan. Kami bertanya-tanya kenapa ‘digantung’ begitu lama? Sejak 2016-2020 mengurusi administrasi kok ‘lelet’ seperti siput? Ada apa? Tidak sulit hal itu untuk dijawab tentunya. Saluran komunikasi sekarang sangat canggih, ada email, ada telepon, ada WhatsApp, moda penerbangan untuk berjumpa langsung pun bisa. Alhasil banyak jalan jika mau menyelesaikan syarat administratif itu secara musyawarah dan bermufakat.
Kami membedah Pasal 24 tentang syarat umum dan syarat khusus sebagai Pahlawan Nasional untuk Sultan Hamid. Pada Pasal 25 Syarat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a terdiri atas: a. WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI (Sultan Hamid iya); b. memiliki integritas moral dan keteladanan (iya); c. berjasa terhadap bangsa dan negara (jelas sekali); d. berkelakuan baik (baik sekali, tidak pernah ada masalah apa-apa termasuk statemen buruk Hamid kepada negara yang dicintainya); e. setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara (di sini kita mendengar lewat Mantan Kepala BIN Prof Dr Hendropriyono bahwa Sultan Hamid II tidak layak menjadi pahlawan nasional karena dia pengkhianat, namun sudah digelar jumpa pers dan serangkaian webinar termasuk bersama MPR RI–terbukti Sultan Hamid bukan pengkhianat negara. Sama halnya dengan pernyataan Dr Anhar Gonggong, telah disanggah dengan bukti-bukti sezaman–pun terbantahkan juga); dan f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun. (Di sini sengkarut hukum positivistik terhadap Sultan Hamid II Alkadrie. Putusan MA tahun 1953 menyebutkan bahwa tuduhan makar melalui pemberontakan APRA tidak cukup bukti. Dia dinyatakan bebas dari pidana makar. Hamid divonis 10 tahun penjara dipotong masa tahanan (1950-1953/3 tahun) dan menjalani tahanan hingga 1958 (5 tahun) karena niat yang diakuinya hendak membunuh Sultan Hamingkubuwono IX selaku Menteri Pertahanan RIS, Ali Budiardjo selaku Sekretaris Menhan RIS dan TB Simatupang selaku Panglima Angkatan Perang RIS–namun sekali lagi namun–niat yang diakuinya itu tidak dilaksanakan. Tidak ada pergerakan pasukan dan senjata. Tidak ada darah yang tumpah setetespun. Jadi sama sekali tidak ada tindakan pidananya. Menurut Prof Dr Andi Hamzah, pakar hukum pidana UI dalam seminar nasional di DPR-MPR RI (2016) semestinya saat itu MA memutus bahwa Sultan Hamid II BEBAS MURNI! Apalagi mider darder si pelaku makar utama yakni Reymond Westerling tidak diadili dan tidak dihadirkan ke pengadilan, sehingga sama sekali tidak fair atau adil. Keadilan selengkapnya bisa dibaca pada rekaman proses pengadilan Hamid lewat buku Peristiwa Hamid yang diterbitkan Persatuan Djaksa (Persadja) terbit 1953 dan cetakan kedua tahun 1955. Di sini sangat jelas duduk perkara Sultan Hamid II itu di mata kita semua. Cross check fakta tentu dipersila….
Dalam pengajuan Sultan Hamid II Pahlawan Nasional sejak 2016 kami mendapatkan fakta bahwa sengkarut penolakan ada di diktum e setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara, dan point f tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Kedua poin tersebut di atas sudah kami jelaskan dengan seterang-terangnya. Bahwa Sultan Hamid sangat setia pada bangsa dan negara sekaligus tidak berkhianat. Riset ilmiah membuktikan sejak 1994 (temuan investigasi jurnalistik Mimbar Untan) 1999 (riset tesis Turiman di FH-UI) sampai riset makar Sultan Hamid II yang tidak terbukti, 2012 (tesis Anshari Dimyati di FH-UI) serta kajian ilmiah hingga 2020 lewat serangkaian seminar, diskusi terfokus hingga seminar nasional online (webinar). Kesemua menunjukkan Sultan Hamid berjasa besar bagi bangsa dan negara. Bukan Hamid yang berkhianat pada bangsa dan negara, tetapi bangsa dan negara inilah yang oleh pemegang kekuasaan politik pada waktu itu yang “berkhianat” kepadanya. Inilah yang mesti kita operasi bersama-sama secara nyata dengan fakta-fakta ilmiahnya. Negara tidak perlu malu menetapkan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional karena lambang negara yang disumbangsihkannya kita gunakan total di dalam proses berbangsa dan bernegara. Penobatannya sebagai pahlawan nasional juga tidak akan menciderai nilai ketokohan para pahlawan lainnya, karena kita bijak membaca peran masing-masing tokoh bangsa yang selalu saja ada lebih dan kurangnya masing-masing, sebab manusia memang bukan malaikat yang hanya punya akal tanpa nafsu. Begitupula manusia bukan dewa yang tidak boleh ada salahnya sedikitpun.
Pasal 26 Syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b untuk Gelar diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan yang semasa hidupnya:
a. pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa (sangat jelas dilakukan oleh Sultan Hamid II lewat diplomasi bersama Soekarno-Hatta di Muntok yang melahirkan Konferensi Inter Indonesia 1 di Jogja dan Konferensi Inter Indonesia 2 di Jakarta sampai KMB, 1949 di Den Haag, Belanda);
b. tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan; melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya; (jelas terbukti dengan jalan hidup Sultan Hamid yang terus mengabdi kepada bangsa dan negara hingga wafat di Jakarta pada 30 Maret 1978 dan dimakamkan di Maqam Kesultanan Qadriyah Pontianak di Batulayang).
c. pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara; (Jelas sekali, warisannya adalah pengakuan kedaulatan dan lambang negara Garuda Pancasila).
d. pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa; (Sama seperti tersebut di atas–jasanya meliputi seluruh jiwa dan nyawa warga negara Republik Indonesia sejak 1949 hingga negara Indonesia tetap ada dan kita harapkan tetap ada sampai kiamat dunia tiba atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa).
e. memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau
f. melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional. (Sama seperti tersebut di atas).
Jadi, setelah kita bedah isi UU No 20 Tahun 2009 tentang Gelar Kehormatan dan Tanda Jasa, tidak ada satupun pasal yang menghalangi Sultan Hamid II ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Pesan kepada Pemerintah Pusat lewat TP2GP dan Dewan Gelar serta Presiden RI, bahwa kami di Kalbar siap untuk diajak berdialog kapan dan di manapun untuk menunjukkan bukti-bukti ilmiah empiris tentang peranan ‘founding father” dari Tanah Kalimantan yang satu ini–Sultan Hamid II Alkadrie Pahlawan Nasional-Pahlawan Bangsa Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila. Salam dwi warna. Salam bhinneka tunggal ika. Merdeka! *