Oleh: Nur Iskandar
Melalui pendekatan jurnalistik saya mulai meragukan banyak pelajaran sejarah. Sudahlah mengenai Sultan Hamid II Alkadrie “pengkhianat” negara–kemudian fakta-fakta terbukti dia adalah pahlawan bangsa. Juga adalah pelajaran sejarah sejak saya SD sampai Perguruan Tinggi termasuk sampai kini pidato petinggi negara menyebutkan Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Saya sudah tulis artikelnya, Minggu, 4 Oktober 2020.
Tulisan saya itu direspon positif kekawans pegiat sejarah. Mereka mengirimkan saya satu buah buku terbitan 2013 dari Penerbit Komunitas Bambu. Komunitas Bambu saya kenal baik. Saya pernah inap di Komunitas Bambu yang dipimpin sahabat saya pakar sejarah yang masih muda belia JJ Rizal. Dia rupanya di tahun 2013 telah menerbitkan buku yang menyangkal bahwa Indonesia dijajah Belanda 3.5 abad!
Ini sinopsisnya: [Siapa bilang Indonesia dijajah 350 tahun? Bohong. Mitos belaka. Melalui buku ini G.J. Resink sebagai sejarawan dan ahli hukum internasional sekaligus penyair memaparkan bukti-bukti betapa semua itu kontruksi politik kolonial. Kebohongan 350 tahun dijajah dipopulerkan politisi Belanda dan buku-buku pelajaran sekolah kolonial, tetapi semakin kuat dipercaya sebagai kebenaran sejarah ketika Sukarno dan para pejabat juga politisi kerap menggunakannya dalam pidato-pidato.
Testimoni terhadap buku pelurusan sejarah ini tak tanggung-tanggung dua sejarahwan kesohor Indonesia saat ini, simak Prof Dr Taufik Abdullah sbb:
“Resink berjasa penting memperkenalkan pendekatan hukum internasional dalam menelaah sejarah kolonialisme dan kesimpulan dari penelitiannya mengenai kekuasaan Belanda yang dikatakan selama 350 tahun di Kepulauan Indonesia sebenarnya tak lebih dari mitos politik belaka yang tidak bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah.”
Kemudian testimoni dari Prof Dr Asvi Warman Adam dari LIPI: “Dalam buku klasik ini Resink membuktikan sebenarnya Belanda tidak menjajah Indonesia selama 350 tahun, tetapi yang menjadi pertanyaan mengapa hal tersebut masih tertulis dalam buku-buku sejarah di sekolah dan sering disebut dalam pidato-pidato?”
Konsekuensi logis dari runutan tahun itu berhimpitan dengan sejarah Kesultanan Qadriyah, peran Sultan membangun Kota Pontianak hingga peran Sultan Hamid II Alkadrie ketika menggantikan ayahandanya yang tewas dibunuh Jepang selaku Sultan Ketujuh. Saat itu tahun 1945, tanggal 29 Oktober Sultan Hamid dilantik sebagai Sultan. Di saat itu pula dia menyerap aspirasi rakyat sehingga terbentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat pada tahun 1947. Kemudian melalui BFO (Bukan Boneka Buatan Belanda, karena merupakan hasil perjanjian Linggarjati, 1947) memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda.
Lalu, dari fakta ilmiah sekaligus time-line dimaksud jelas secara terang benderang sejarah menjadi lurus sesuai dengan kronologisnya. Benarlah pernyataan Dr Saleh seorang diplomat asal Kalbar, bahwa aspek sejarah Indonesia termasuk Sultan Hamid harus juga dilihat dari aspek hukum internasional–sejarah dunia. Saya semakin yakin bahwa Presiden RI akan segera menetapkan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional atas jasa-jasa besarnya kepada Indonesia Merdeka. Adapun pemikirannya mengenai federalisme sama sekali bukan berarti dia tidak nasionalis. Federalis juga adalah republiken. Demikian hasil perjanjian Linggarjati sebelum Hamid aktif di BFO, bahkan sebelum BFO lahir.
Adapun tuduhan Hamid terlibat Peristiwa Westerling juga diputuskan Mahkamah Agung dia bebas dari segala tuduhan tersebut karena tidak cukup bukti. Hamid dihukum 10 tahun potong masa tahanan hanya karena hukuman politik atas niatnya melakukan pidana, tetapi dibatalkannya, sehingga tidak ada pelanggaran pidana setets darah pun.
Mari kita syukuri Indonesia merdeka. Mari kita tempatkan jasa pahlawan setinggi-tingginya dan seadil-adilnya. 10 Nopember hari Pahlawan kita tunggukan kearifan dan kebijakan Bapak Presiden RI Ir H Joko Widodo. (* Inzet Foto Prof Dr Asvi Warman Adam dan Prof Dr Taufik Abdullah)