Oleh: Syafaruddin Usman
Manakala saya baca medsos, rasanya takut sekali.
Bayangan saya dunia segera kiamat.
Bukan takut zaman berakhir. Bukan ingin menghindar dari kematian.
Namun takut betapa bebasnya opini berselancar di jagat maya. Sampai-sampai ingin “melockdown” juga sarana komunikasi yang dimiliki ini.
Tapi kebutuhan akan media tak membawa ke sana.
Saya bayangkan, ini menurut saya, seandainya banyak pengguna medsos mempublis sesuatu yang menyemangati, mungkin covid-19 pun kegerahan dan ketakutan.
Dalam artian, semangat hidup manusia untuk menghadapinya jauh lebih kokoh dan kuat.
Namun, seorang sahabat berbisik pada saya, belakangan banyak orang mati bukan karena sakit, tapi mati karena sakit berpikir. Saya pun bertanya dalam hati, apa maksud sahabat saya ini.
Terjawab oleh saya seketika saya merenung sendiri, saya bayangkan saya tengah berada di luar sana, jauh dari kebisingan. Rasanya saya sangat damai, tenteram dan begitu bersemangat hidup.
Namun saya renungi, kalau saya terus masuk atau berselancar di arus media sosial seperti saat ini, saya pastikan saya tenggelam dan akhirnya kandas terbawa arus.
Sebab itu saya diam.
Namun saya mencatat apa yang sedang terjadi.
Saya pikir, suatu masa kelak catatan ini akan jadi referensi serupa juga orang merujuk krisis moneter di tahun 1996 lampau.
Lepas dari semua itu, saya dan tak sedikit orang, sedang “demam suasana”, bukan demam sebagaimana orang sakit.
Betapa banyak tulisan, bahkan share bahkan hasil copas yang bertaburan. Saya mulai lega, adik-adik kami generasi insan jurnalis cetak dan elektro menghimpun diri, untuk menengahi publikasi medsos yang menambah resah masyarakat.
Saya merasa bersemangat, bagaimana menemukan informasi yang akurat dari tak berhingga ekspos yang berkeliaran.
Sungguh bukan hanya saya pastinya, banyak insan di luar saya di sana, yang merasakan hal sama: apakah saya, kami, kita sedang dituju bencana ini.
Dan akhirnya saya pun berkata pada diri sendiri, Ya Allah Ya Tuhan kami, Maharahman Maharahim Mu tak tertandingi oleh apa yang berhamburan di alam dunia milik Mu ini.
Tuhan kami, Engkau menyayangi kami, Engkau pula menyelamatkan kami, maka kami pun terua berdoa dan berikhtiar menghadapi ini semua.
Dalam kegalauan saya, saya pandangi di sana istri saya sedang khusuk sholat menghadap Sang Mahaagung.
Saya lihat gerak gerik dalam sholatnya, maka saya bersimpulan: tiada daya dan upaya melainkan dari Dia Yang Mahakuasa.
Akhirnya saya menemukan harapan, menemukan keyakinan diri, tujuh lapis lemari kokoh pun bersembunyi dari maut, manakala tiba saat atas kehendak Nya, tak satu hamba ciptaan Nya yang mampu menolak.
Maka, saya yakin seyakinnya, doa dan ikhtiar adalah upaya yang dikehendaki Nya.
Mari bersama tetap semangat, tetap berikhtiar dilandasi doa dan khusuk menghadapkan diri pada Nya …