Oleh: Leo Sutrisno
Dalam dua bulan terakhir ini, Covid-19 menjadi berita yang dicari semua orang. Penyebarannya yang sangat cepat serta korbannya yang cukup banyak. Sehingga, seluruh kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak orang ditiadakan dalam waktu yang belum menentu.
Sebagian orang beriman berserah diri secara total. Kalau ini memang kehendak Tuhan jadilah. Sebagian lain, ‘protes’ seperti yang dilakukan nabi Ayub, dengan bertanya, ‘apa salahku sehingga harus menderita seperti ini”. Sebagian lain dengan super yakin berkata, “Jangan takut!!. Tuhan pasti menyelamatkan kita!”.
Kelompok pertama berserah diri secara total kepada kehendak-Nya, dapat berasal dari ajaran masyarakat Jawa yang mengatakan “urip iku sakdrema nglakoni, kaya wayang saupamane. Gumantung kersane Si Dalang”. Atau, kita menimba dari kehidupan Maria. “Aku ini hamba Allah. Jadilah kehendakmu padaku”. Dalam diam Maria menjalani hidupnya tanpa keluhan dan tanda tanya. Dengan harapan, suatu waktu tentu ada batas akhirnya. ‘Sabar, semua ada waktunya’.
Kelompok kedua mirip dengan istri dan teman-teman nabi Ayub yang menyuruhnya agar protes kapada Tuhan. Dalam konteks ini, penderitaan ditempatkannya sebagai hukuman dari Allah. ‘Sabar dan tabah sedang menerima cobaan!’
Kelompok ketiga sangat percaya Tuhan Yesus akan menyelamatkan kita, orang beriman. Sangat positip. Namun, kalimat yang mengiringi sering membuat telinga merah. “Dengan corona saja takut. Berarti imanmu belum tebal!”
Benarkah Gereja dapat menyebuhkan?
Kisah-kisah penyembuhan Yesus, dapat kita baca di buku Injil. Penyembuhan yang dilakukan Yesus langsung pada sakitnya dan seketika. Tindakan seperti ini berbeda jauh dari penyembuhan di dunia medis.
Berhadapan dengan pasien, seorang dokter, menanyakan bagian yang mana yang dirasakan sakit. Setelah itu, dokter memeriksa organ-organ lain yang terkait. Setelah proses diagnose selesai, dokter menulis resep (mengobati) sambil berkata: “Belilah obat ini. Saat meminum, Ikutilah petunjuknya. Jika belum sembuh datanglah ke sini lagi”.Ada ketidak-pastian.
Sungguh berbeda dengan penyembuhan a la Yesus. Tepat dan pasti sesuai dengan yang diminta pasien. Seorang buta ingin melihat, Yesus embuatnya dapat melihat. Seorang lumpuh ingin berjalan. Yesus berkata, “Bangun, angkatlah tilammu dan berjalan (Yoh 5:8). Dsb.
Dalam penyembuhkan yang dikisahkan Injil, terkesan Yesus ‘hanya’ menyembuhkan sakit jasmani. Benarkah?! Jika pernyataan ini disampaikan kepada para Bapa Gereja tentu akan disangggah.
Para Bapa Gereja, memandang penyembuhan Yesus menyangkut penyembuhan rohani. Memang, orang buta dibuat dapat melihat. Orang tuli dibuat dapat mendengar. Orang lumpuh dibuat dapat berjalan. Namun, dibalik itu semua ada penyembuhan rohani yang dilakukan Yesus.
Bagi Yesus, sumber utama dari sakit adalah dosa, Dosa yang menciptakan keterpisahan kemanusiaan dari perdamaian ilahi ciptaan, sebagai sumber hidup dan kesehatan.
Akibat dosa ini, manusia terpisah dari kedamaian ilahi. Keterpisahan manusia dari kedamaian ilahi, menyebabkan hidup manusia menjadi terbatas. Padahal, manusia diciptakan dalam gambaran Allah. Mestinya, dapat hidup kekal.
Kedatangan Yesus menyatukan kembali kemanusiaan dengan kedamaian ilahi. Kedatangan-Nya di dunia ini menyelamatkan hidup manusia. Yesus mengembalikan kita ke hidup yang kekal.
Yesus tidak hanya menjadi manusia untuk membebaskan manusia dari beban dosa asal. Tetapi, juga karena kebangkitan-Nya, membebaskan kita dari kematian. Kita dapat hidup bersama Dia dan dalam Dia.
Gereja membuat kita dapat melihat, mendengar dan menjalani hidup dengan cakrawala baru, kedamaian ilahi. Itu berarti, Gereja, Tubuh mistik Yesus, menyembuhkan kita.
Apakah kita juga akan dibebaskan dari rasa sakit karena serangan Corona? Ya. Bebas dari rasa sakit dengan cakrawala baru.
Semoga!
Pakem Tegal, Yogya, 26-3-2020