Oleh: Yusriadi
Seorang ustadz muda peserta kegiatan Madrasah Binaan LP2M IAIN Pontianak angkat tangan ketika moderator Bang Setia Purwadi bertanya, apakah ada yang ingin disampaikan kepada narasumber. Saya pikir dia akan bertanya tentang materi penulisan narasi yang telah saya sampaikan. Ternyata tidak. Ustadz itu melontarkan ide tentang kemungkin mengadakan kegiatan jurnalistik untuk siswa di luar jam pelajaran.
Katanya, gagasan itu muncul bertitik tolak dari pengalamannya di SMA dahulu. Kala itu mereka terlibat dalam kegiatan jurnalistik sekolah. Beliau membayangkan kegiatan serupa akan bermanfaat untuk siswa di pesantren tempatnya mengabdi.
Saya mendukung 1000 per sen gagasannya. Ide melahirkan lembaga yang menaungi kegiatan menulis sepatutnya didukung karena kegiatan menulis adalah bagian dari kegiatan belajar. Malahan, kemampuan menulis merupakan ciri utama seorang pelajar.
Sekolah yang memperhatikan kemampuan siswanya menulis akan memetik buahnya di masa-masa yang akan datang. 10 atau 20 tahun nanti.
Lagi pula, sebelumnya saya sudah masuk ke kelas siswa MTS Pesantren itu dan berinteraksi dengan mereka. Dari 40 siswa peserta, ada 3 yang memiliki buku harian. Ini artinya, sudah ada siswa yang memiliki panggilan jiwa menulis. Mereka adalah pelopor. Bak kata, bibit unggulnya sudah ada.
Dari 40 itu, semuanya memiliki cita-cita. Sebagian besar ingin jadi guru. Selebihnya, ingin jadi tentara, polisi, dokter, designer, fotografer, pengusaha, dan pemain bola.
Untuk mewujudkan cita-cita itu seseorang perlu belajar. Dan, keperluan itu akan menjadi kartu bagi para guru untuk meningkatkan semangat belajar siswa.
“Inilah kesempatan bagi guru untuk mendorong anak-anak,” kata saya.
Kepada guru saya katakan bahwa kami siap membantu sesuai kemampuan.
Seorang guru sempat bertanya soal biaya. Saya yakinkan biayanya murah dan tidak ada hambatan. Pertama, ada tim yang menjadi penggerak. Ada guru pembina dan siswa yang dibina. Kedua, ada pendampingan bagi tim itu. Ketiga, ada dinding yang bisa ditempel karya-karya tulis para pelajar.
“Sepanjang kepala sekolah membolehkan, tempel saja di dinding. Tak perlu beli tripleks,”
Saya optimis rencana itu bisa terwujud jika memang ada kemauan. Saya juga optimis hasil dan manfaatnya akan besar dan luar biasa.
Anak-anak bangga dan bersemangat dalam bersekolah. Sekolah juga bisa memanfaatkan karya itu untuk akreditasi. (*)