Indahnya kebersamaan dalam penderitaan. Saya dibekali nasi bungkus. “Abang bekal makanan, sebab nanti ndak ada mampir mampir. Ndak kayak speedboath.” Serasa naik KM Lawit tahun 1992. Tongkang besi bergerak macam rumah berjalan. Alhamdulillah ndak terasa diayun ombak seperti speedboath yang tas tas taaaas. Cat loncat di atas setiap puncak ombak. Salah salah bisa muntah. Nah naik Ferry beda punya ho. Penumpang ramai acam mall. Petugas berseragam putih banyak. Bahan pengaman di air tersedia sehingga wajar Ferry jadi pilihan utama pengendara motor atau mobil.
Asyiknya lagi kita bisa lihat sekeliling dengan mudah. Air beriak-riak jadi indah. Pepohonan yang hijau, kuning, pucuk merah, berbaris rapi, so beauty. Sun set? Amboy. Aduhai. Perak dan emas menyepuh semua sak sapuan mata. Super duper syuantiq. Sebagai orang Kalbar dan sadar bahwa bumi Borneo itu besar, berisi orang-orang besar sejak Gajahmada, Sultan Hamid, KH Assambasi, Mufti Baisuni Imran, Hamzah Haz hingga OSO…senang bisa menikmati tetirah perjalanan darat, laut dan udara Bumi heartulistiwa. Tanah pusaka Borneo Barat, jantung Equator Land Area. Belahan tropis khatulistiwa. Bangga, iya, PR, belonggok.
Hal lain terasa indah melebihi semua itu adalah kebersamaan. Walau non seat, saya lahap makan nasbung. Begitupun para sopir truk dan kondektur. Non seat GPP. Mereka duduk di atas kap truk box. Gelar tikar. Saat Ferry bergerak menjauh, angin sepoi-sepoi basah, makanan pun digelar. Mereka tudang sipulung. Eating together…sebuah pemandangan humanis rrrruar biasa. “Makan Pak yuk?” Tawar mereka. Sudah kata saya. Barusan selesai melunasi nasi bungkus bekalan dari kawan di Teluk Batang tadi.
Wak, terus terang, sisi humanis ini tak saya dapatkan di kelas 1 Garuda. Dan ini jadi catatan kaki tersendiri. Bahwa keindahan dan kebahagiaan tak selalu dan melulu datang dari luxury serta kemewahan. Apa adanya pun cukup lapang, riang, n happiness jika kita saling sapa, tolong menolong dan banyak bersyukur. *