Oleh: Hermayani Putera
Pagi hari ketiga di Nanga Bungan. Setelah sarapan dan pamit kepada warga di sini, sekitar pukul 07.00 WIB kami bertolak ke Desa Tanjung Lokang, kali ini bersama rombongan besar bupati. Trek cukup berat dan menantang di sini, karena di tengah perjalanan ada riam yang medannya sangat berat untuk dilalui.
Riam Bakang namanya. Formasi bebatuan dari kiri ke kanan di riam membentuk tingkat kesulitan sangat tinggi untuk dilalui perahu. Perjalanan dari Bungan hingga ke Riam Bakang cukup lancar. Setibanya di riam, kami semua turun, dan melanjutkan perjalanan menapaki batu-batu besar dan licin.
Rombongan kami melangkah pelan-pelan. Aku mengambil posisi di belakang. Albert, Hermas, Mardan, dan Ismet dengan lancar tiba di titik istirahat, sambil menyiapkan diri menarik perahu bersama penduduk dan beberapa anggota rombongan besar lainnya.
Tinggal aku sendiri dengan beberapa penduduk di belakang. Sesampainya di satu turunan batu yang cukup licin, aku tidak terlalu pas mengambil posisi menjejakkan kaki ke batu berikutnya yang lebih rendah. Duukk!!! terjadilah insiden tersebut. Lutut kiriku membentur bagian batu yang cukup tajam.
Sempat merasa nyeri di bagian yang terbentur, tapi rasa nyeri itu kemudian berangsur hilang, diredam oleh celana panjang Levi’s yang sudah lembab. Aku lanjutkan menapaki batu-batu berikutnya, kali ini dengan ekstra hati-hati.
Sesampainya di titik istirahat, sekitar 7-8 orang sudah dalam posisi siap: kaki memasang kuda-kuda, kedua tangan masing-masing memegang tali tambang yang diikatkan di bagian depan perahu. Aku tidak mau ketinggalan. Mengambil posisi di tengah, aku ikut menarik perahu.
“Satu… dua … tiga … tariiikkk…!”
Suara kami menghitung serentak, menambah semangat dan tenaga menarik perahu. Terus begitu, berulang kali. Sekitar 15 menit, perjuangan menarik perahu dari Riam Bakang berhasil. Kami istirahat sejenak, sambil minum kopi bersama. Aku mengambil posisi duduk sambil menyelonjorkan kaki yang kembali nyeri.
Hendri, polisi hutan (polhut) Balai TNBK yang menyertai perjalanan kami, duduk di sampingku. Dengan seksama ia memperhatikan bagian lutut kiri celana jinsku. Ternyata ada bercak darah.
“Bang, coba cek lututnya, mungkin ada yang luka,” saran Hendri, dengan nada kuatir.
“Tidak apa Bang, paling ini lintah,” jawabku, mencoba menenangkan diri, sambil mulai menggulung bagian bawah celana jins hingga ke lutut.
“Ya Allah!” seru Hendri, begitu melihat luka menganga di bagian lutut kiriku. Aku mencoba memberanikan diri melihatnya. Tempurung lutut terlihat sedikit, mengintip di antara robekan kulit dan daging di bagian tengah lutut. Hmm…
Memakai celana jins, panjang lagi, sebenarnya tidak awam untuk perjalanan jalur sungai yang banyak riam. Tapi aku kemudian mensyukuri ini. Alhamdulillah, untung aku memakai celana jins panjang. Jadi saat benturan, bahan jins yang tebal melindungi lututku dari kemungkinan luka lebih parah. Celana jins bahkan tidak robek sedikit pun di bagian lutut yang luka tersebut.
Alam selalu memberikan pelajaran dan pengalaman terbaik bagi siapa pun. Kali ini, diriku yang tidak hati-hati menapaki batu-batu di Riam Bakang, memetik pelajaran berharga tersebut.
Salam Lestari, Salam Literasi
#MenjagaJantungKalimantan, #KMOIndonesia, #KMOBatch25, #Sarkat, #Day6, #HermaInside, #SalamLestariSalamLiterasi