By: Anshari Dimyati
Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) menempati peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam menghadapi Pemilu (Pemilihan Umum) sebagai pesta Demokrasi setiap periodenya, Persyarikatan Muhammadiyah berposisi netral. Begitupula dengan Amal-amal Usaha Muhammadiyah dan Ortom-ortom (Organisasi otonom) yang berada di dalam Persyarikatan, termasuk AMM.
Sikap tersebut patut sejalan dan telah tertuang di dalam Khittah Muhammadiyah dalam mengaktualisasikan islam di kehidupan sosial masyarakat di Indonesia. Khittah yang bersifat pembinaan kepemimpinan dan bimbingan untuk berjuang bagi para anggota atau warga Muhammadiyah ini, dapat pula menjadi pegangan dalam menggunakan hak suara warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Khittah Muhammadiyah di Denpasar pada tahun 2002 menyebutkan sembilan butir pernyataan pokok.
Sebagian isi butir Khittah tersebut menyebutkan soal jalur yang ditempuh oleh Persyarikatan terhadap keikutsertaannya dalam pembangunan politik nasional. Dalam butir tiga menyebutkan “Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”
Dalam butir empat, Persyarikatan juga mendorong berjalan baiknya perangkat-perangkat negara dalam menjalankan demokrasi dengan sebaik-baiknya. “Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis atau berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara.”
Di sisi lain “Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa…”
Dalam butir lima ini secara jelas Persyarikatan berada pada posisi penyeimbang kebijakan-kebijakan Pemerintah. Dalam hal yang bersifat regulatif atau legislasi misalnya, tak menutup ruang kemungkinan bahwa ketidakadilan terhadap rakyat akan hadir. Disitulah keberadaan Muhammadiyah dibutuhkan, membantu menghadirkan keadilan di masyarakat. Baik terhadap kebijakan-kebijakan yang berpihak pada Rakyat, yang patut didukung. Maupun policy penguasa yang merugikan rakyat, yang tentu kepentingan rakyat tersebut patut di advokasi.
Dalam kontestasi politik bangsa (pesta demokrasi), Persyarikatan mempertegas posisi netralnya terhadap kekuatan-kekuatan politik praktis. Dalam butir enam menyebutkan “Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.”
Akan tetapi butir enam tersebut di atas tidak ditafsirkan secara An Sich. Butir tujuh di dalam khittah 2002 menyatakan “Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.”
Dalam beberapa butir pernyataan pokok Khittah (garis besar perjuangan) di atas secara jelas menerangkan netralitas Muhammadiyah secara kelembagaan atau institusional terhadap kontestasi politik yang ada. Sedangkan terhadap pembangunan bangsa dalam arti yang lebih luas, “Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan…” Peran dalam kehidupan bangsa dan negara tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian, keyakinan dan cita-cita hidup dalam mewujudkan “Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur”.
Tadi malam Jum’at, 22 Maret 2019 berlangsung agenda Diskusi atau disebut Pengajian Fastabiq #1 yang dilaksanakan oleh AMM Kalimantan Barat. Agenda diskusi yang berada di Aula Gedung Dakwah Muhammadiyah Kalbar ini mengusung tema tentang “Menjelang Pemilu 2019, Dimana Posisi AMM?”. Agenda pengajian atau diskusi semacam ini direncanakan akan berlangsung terus menerus oleh Angkatan Muda Muhammadiyah.
Dalam konteks tema diskusi pertama ini, diharapkan agar generasi muda Muhammadiyah di Indonesia, atau di Kalimantan Barat khususnya mengetahui posisi strategis kader Muhammadiyah sebagai organisatoris atau kelembagaan maupun secara person atau individu dalam menentukan sikap, pilihan, dan tindakan dalam rangka menghadapi tahun politik di Pemilu 2019.
Muhammadiyah tentu tidak melakukan pembatasan terhadap para anggotanya atau warganya dalam menggunakan hak pilih. Namun tentu, kriteria dan syarat dalam memilih pemimpin yang baik, adil, dan amanah sesuai tujuan Persyarikatan tentu dapat diterjemahkan dan diaplikasikan oleh mereka. Terlebih penting, menurut saya, yang harus dilakukan warga Muhammadiyah terutama Angkatan Muda adalah mengisi demokrasi di Negara ini seiring berjalan dan bertautan dengan pandangan Persyarikatan.
Sebagai gerakan modern dalam kultural, sosial keagamaan dan dakwah, Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan lebih satu abad lalu (1912) tidak hanya terbesar di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam. Jika dibandingkan dengan ormas Islam seusianya seperti Jami’at Islami (Pakistan), Ikhwanul Muslimin (Mesir) dan Wahabiyyah (Arab Saudi), maka Muhammadiyah jelas terdepan dalam segalanya termasuk jumlah anggota, sumber daya manusia, hingga assetnya. (Abdul Halim, Muhammadiyah dan Politik Praktis, 2015)
Sampai sekarang, tercatat banyak sekali amal usaha yang dimiliki hingga pelosok wilayah Indonesia. Bahkan beberapa tahun terakhir, Muhammadiyah mengembangkan amal usahanya sampai ke luar Negeri. Jumlah lembaga pendidikan yang dimiliki oleh Muhammadiyah mencapai lebih dari 10 ribu, tepatnya 10.381, terdiri dari TK, SD, SMP, SMA, Pondok Pesantren, sampai dengan Perguruan Tinggi. (Sumber data: Republika). Begitupula dengan institusi-institusi kesehatan, seperti Rumah Sakit, yang sudah banyak berada di setiap wilayah di Negara ini.
Muhammadiyah terus bekerja untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia yang unggul, islami, dan berkemajuan. Berikut dengan sarana-prasarana, infrastruktur, atau fasilitas penunjang majunya pendidikan dan kesehatan di Indonesia. Dengan kapasitas dan potensi yang besar Muhammadiyah tetap konsisten dengan jihad dan dakwah dalam bidang sosial, pendidikan, dan kesehatan. Hingga hari ini tidak menjadi organisasi politik, partai politik, maupun berafiliasi ke golongan politik praktis tertentu secara kelembagaan.
Hal itu telah ditegaskan dalam Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh (1995) yang memilih Amien Rais sebagai Ketua PP Muhammadiyah menggantikan KH Ahmad Azhar Basyir yang wafat setahun sebelumnya, dimana dikatakan ”Muhammadiyah tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apapun”.
Jelas paradigma yang terbangun di anggota, simpatisan, maupun kader, jika Persyarikatan berubah menjadi gerakan politik apalagi partai politik maka akan lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya bagi Muhammadiyah. Sebab Parpol jelas kental akan nuansa intrik dan konflik kepentingan, merugikan amal usaha, mempersempit lahan dakwah, menghilangkan ukhuwah Islamiyah dan hanya berorientasi pada kekuasaan. (Abdul Halim, 2015)
Keberadaan dan tujuan Persyarikatan Muhammadiyah memanglah harus lebih luas dari sekadar persoalan politik praktis. Hal tersebut di atas sejalan dengan konsep Muhammadiyah soal “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah (Dar Al-‘Ahdi Wa Al-Syahadah)”. Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar.
“Darul ahdi artinya negara tempat kita melakukan konsensus nasional. Negara kita berdiri karena seluruh kemajemukan bangsa, golongan, daerah, kekuatan politik, sepakat untuk mendirikan Indonesia. Sedangkan darul syahadah artinya negara tempat kita mengisi. Jadi setelah kita punya Indonesia yang merdeka, maka seluruh elemen bangsa harus mengisi bangsa ini menjadi Negara yang maju, makmur, adil bermartabat,” ucap Dr. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Pada pengantar PP Muhammadiyah dalam buku konsep “Negara Pancasila: Darul Ahdi Wa Syahadah” terbitan PP Muhammadiyah, disebutkan bahwa konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah didasarkan pada pemikiran-pemikiran resmi yang selama ini telah menjadi pedoman dan rujukan organisasi seperti Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), Kepribadian Muhammadiyah, Khittah-khittah Muhammadiyah, Membangun visi dan Karakter Bangsa, serta hasil Tanwir Muhammadiyah di Bandung tahun 2012 dan Tanwir Samarinda tahun 2014. (Muhammadiyah.or.id)
Pemikiran tentang Negara Pancasila itu dimaksudkan untuk menjadi rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh anggota Muhammadiyah dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara secara kontekstual berdasarkan pandangan Islam Berkemajuan yang selama ini menjadi perspektif ke-Islaman Muhammadiyah.
Tentu terhadap tema diskusi tadi malam, Angkatan Muda Muhammadiyah di Kalimantan Barat memegang peranan penting dalam pembangunan di Indonesia dalam lapangan politik ketatanegaraan. Tapi, bagi saya perananan tersebut tidak sekadar diinterpretasikan sebagai andil mereka di wilayah politik praktis. Tidak sekadar memilih dan dipilih di sebuah suksesi pemilu. Dan tidak dengan tafsiran sederhana, bahwa untuk memberikan solusi dalam pembangunan bangsa harus mempunyai keterlibatan aktif pada partai politik secara individu.
Banyak hal dapat dilakukan dalam mengisi posisi strategis di wilayah alat perlengkapan negara maupun di luar itu. Semua pasti berkelindan satu sama lain. Pemilu 2019 bukan hanya soal memilih Presiden dan Wakil Presiden yang layak memimpin negara ini lima tahun ke depan. Tak sekadar pula memilih calon wakil rakyat (legislatif) hanya dengan mengenal sosok secara umum.
Kader muda Muhammadiyah harus cerdas dalam mengawal demokrasi ini ke depan. Tak cuma mengawal aspek produk regulasi yang dijanjikan oleh elected politicians, tapi wilayah praktis dan aplikatif harus mampu memberikan kontribusi sebagai mitra masyarakat secara nyata dan dirasa ada. Mereka patut hadir memastikan itu semua.
Angkatan muda Muhammadiyah di Kalimantan Barat juga dapat merancang bangun konsepsi yang solutif atas persoalan yang tengah dihadapi oleh masyarakat. Dan kemudian merekomendasikan konsep tersebut agar dapat terintegrasi dengan kebijakan (policy) pemerintah pusat (eksekutif) maupun rancangan undang-undang atau peraturan di daerah. Kemudian mengawal hal itu dengan kegiatan-kegiatan bersama dalam pembangunan.
Akhirnya fungsi AMM dalam masyarakat akan lebih lagi terasa maksimal, dan terus, dan terus berkontribusi untuk Negara dan daerahnya. Aktualisasi diri melalui pengembangan-pengembangan serta pembangunan memang takkan pernah berhenti. Disitulah AMM hadir sebagai bagian gerakan yang membanggakan warga Persyarikatan. Ikut menuntaskan permasalahan dan mencerdaskan masyarakat agar tercapai Indonesia dan Kalimantan Barat berkemajuan.
Posisi Netral Muhammadiyah bukan apolitis, tapi jalan tengah sebagai poros penyeimbang kebijakan pemerintah sebagai pihak berposisi, begitupula terhadap oposisi. Sedangkan warga Muhammadiyah itu sendiri jelas tidak buta akan politik. Mereka mampu untuk menentukan sikap dan pilihan politik secara cerdas sesuai tuntunan Islam dengan sumber Al-Qur’an dan Sunnah.
#MuhammadiyahNetral
Salam
AD