Oleh: Leo Sutrisno
Judul renungan hari ini, 20 Okt 2019 yang diambil dari Surat Anjuran Bapa Suci Paus Fransiskus tentang pewartaan Injil di dunia dewasa ini, EVANGELII GAUDIUM (EG 93-97), kiranya relavan dengan pesan ketiga bacaan pendek hari ini, 20 Okt 2019.
Bacaan I: Kel 17:8-13. Saat itu, orang Israel berperang melawan serangan orang Amalek di Rafidim. Sementara orang-orang Israel berperang, Musa, Harun dan Hur, naik ke puncak bukit. Tongkat Allah di tangan Musa. Jika tangan Musa yang memegangi Tongkat Allah diangkat, pasukan Israel menang, dan sebaliknya.
Bacaan II: 2Tim 3:14-4:2. Rasul Paulus mengingatkan Timotius agar tetap berpegang kepada kebenaran yang telah diterima dan diyakini yang menuntun dirinya kepada keselamatan oleh iman kepada Yesus Kristus. Rasul Paulus juga berpesan agar Timoteus tetap mewartakan sabda Allah.
Bacaan Injil diambil dari Luk 18:1-8. Yesus menyampaikan perumpamaan tentang hakim yang tidak takut akan Allah memenuhi permintaan seorang janda yang berkali-kali meminta tolong untuk memenangkan perkaranya. Hakim itu memutuskan memenangkan perkara si janda, bukan atas dasar fakta kebenaran tetapi karena bosan dikejar-kejar si janda terus-menerus. Yesus menutup perumpamaan itu dengan bertanya kepada para murid: “Apabila Anak Manusia itu datang, adakah Ia menemukan iman di Bumi?”
Ketiga bacaan ini, sekali lagi mengingatkan akan peran Allah dalam kehidupan manusia. Tak sedetik pun Allah meninggalkan manusia.
Sebaliknya, Bapa Suci Paus Fransikus (EG 93-97) menunjukkan di era global ini, berkembang spiritualitas keduniawian. Disebutkan spiritualitas keduniawian bersebunyi di belakang penampilan yang saleh dan bahkan kasih kepada Gereja, tetapi demi krmuliaan manusia dan kesejahteraan pribadi. Spiritualitas ini memiliki aneka wajah, tergantung dalam orang dan kelompok jenis apa spiritualitas itu merasuk (EG 93).
Sipiritualitas keduniawian ini dapat mengisi dirinya sendiri dengan dua cara. Pertama, keterikatan kepada gnostisisme yaitu aliran yang mencari pengetahuan dari ‘wangsit’. Suatu kepercayaan yang murni subjektif karena hanya berminat pada pengalaman tertentu yang terbatas. Dimaksudkan untuk menerangkan dan menghibur, tetapi akhirnya justru terperangkap dalam pikiran dan perasaan sendiri.
Kedua, keterikatan dengan neopelagianisme promothean. Karena mereka mentaati peraturan-peraturan tertentu atau tetap setia kepada gaya Katolik dari zaman kuno, mereka ini terserap pada kekuatannya sendiri sehingga merasa lebih tinggi daripada orang lain (EG 94).
Keduaniawian ini tampak pada dalam diri beberapa orang yang menemukan keasyikan terhadap liturgi, ajaran, dan wibawa Gereja. Tetapi, tanpa perhatian sedikit pun bahwa Injil memiliki pengaruh yang kuat terhadap umat Allah. Akibatnya, Gereja berubah menjadi bagian sebuah museum atau harta karun yang hanya memiliki sedikit orang terpilih (EG 95).
Cara berpikir semacam ini ikut memupuk kesombongan orang yang merasa puas jika memiliki sedikit kuasa. Mereka menuruti fantasi-fantasi yang tanpa batas sehingga kehilangan kontak dengan kehidupan nyata dan kesukaran umat beriman yang sesungguhnya (EG 96).
Mereka yang jatuh pada spiritualitas keduniawian ini hanya memandang dari atas dan dari kejauhan. Mereka menolak nubuat-nubuat dari saudara-saudaranya. Mereka mencela orang yang mengajukan pertanyaan. Mereka juga tiada henti menunjuk kesalahan orang lain. Hati mereka hanya terbuka kepada cakrawala yang terbatas, demi kepuasan batin serta kepentingan diri. Akibatnya, mereka tidak pernah belajar dari dosa-dosanya, tidak juga terbuka secara tulus terhadap pengampunan.
Bapa Paus Fransiskus meminta kita menghindari spiritualitas keduniawian ini dengan terus-menerus mendorong Gereja ke luar dari dirinya sendiri dengan cara menjaga misinya supaya tetap tertuju pada Yesus Kristus serta komitmennya pada orang miskin (EG 97).
Semoga Allah menyelamatkan kita dari Gereja yang duniawi ini dengan cara diperboiehkan mengambil napas dari udara murni Roh Kudus yang akan mebebaskan kita dari sikap mementingkan diri sendiri yang terselubung religiusitas lahiriah tanpa Allah.