Oleh: Nur Iskandar
Dunia memang tidak seluas daun kelor, tapi dunia memang tidak luas lagi di hadapan jaringan terhubung satu sama lainnya. Dunia ada dalam genggaman Smartphone! Semua ada. Semua bisa. Semua kata, semua warna, semua data. Semua tergantung kita. Buka mata ya luas dunia dengan kaya warna. Tutup mata, gelap–buta. So the world depend on us!
Tempo doeloe sewaktu SD saya belajar bahasa dan sastra. Oleh guru, kami diajar pujangga angkatan 45 Chairil Anwar. Kami diajar pujangga angkatan 66 Taufik Ismail. Dan tahun 1986 saya membacakan puisi wajib berjudul Dari Seorang Tukang Rambutan Kepada Istrinya karya Taufik Ismail. Puisi wajib ini dalam rangka lomba baca puisi tingkat pelajar Kota Pontianak yang diselenggarakan Taman Budaya. Saya mujur dapat juara harapan 1. Dapet hadiah 1 sets buku 30 tahun Indonesia Merdeka, trofi dan piagam penghargaan.
Soal sastra bukan hanya soal kata, tapi soal rasa. Walaupun ada hubungan antara pilihan kata dengan rasa. Karya-karya puisi Taufik banyak dinyanyikan Bimbo. Juga rocker Ahmad Albar.
Lewat puisi dan lagu kita bisa belajar sastra. Kebetulan di masa remaja saya diajar vokal dan penghayatan oleh Yosef Ordilo Oendoen. Kini Bang Yosef salah satu petinggi di Taman Budaya. Sastrawan Kalbar lain yang sempat mengajar kepada saya adalah Long Mizar (Alm), Yudiswara (Alm) termasuk Harun Das Putra (Alm).
Eh tanpa disangka dan dinyana saya jumpa Taufik Ismail dalam acara Rakernas Bina Antarbudaya di Surabaya 31 Maret sd 3 April 2016 kemarin. Kami kembali bersua dan berbagi info sastra terutama daerah.
“Ada kartu nama?” Demikian pinta Taufik kepada saya. Saya memang disodorkannya sebuah kartu nama miliknya dan sebuah leaflet Rumah Puisi yang dibina dekat rumahnya.
Saya memang tak lagi bawa kartu nama lantaran di generasi saya cukup tukar nomor HP. Dari no HP, kita terhubung WhatsUp. Bahkan dari nama saja kita juga terhubung FB. Easy. “Ini gambaran Generasi Z,” sela Asmir Agus yang ngopi bersama Taufik Ismail di sela acara rakernas. Kak Asmir menggolongkan dirinya di Generasi X, adapun saya sebenarnya ada di golongan Generasi Y.
Generasi Z adalah generasi teknologi canggih. Generasi internet. Generasi sadar gejet. Generasi yang membangun bisnis dari dunia maya tanpa kantor besar dan tanpa banyak karyawan, tapi income kapital. Contoh generasi Z miliuner adalah Mark Zuckerberg penemu dan pemilik FaceBook. Generasi muda lainnya adalah Larry Page dan Surgerey Brain pemilik Google. Adapun saya adalah anggota generasi Y–generasi reformasi–sedangkan Asmir Agus adalah generasi X–generasi pasca kolonial.
Kini interaksi saya bersama Taufik Ismail lebih intens di Bina Antarbudaya walaupun usia kami terpaut 40 tahun. Saya 40 dan beliau 80 tahun. Namun di Bina Antarbudaya kami sama-sama muda lantaran berurusan beasiswa AFS/YES untuk remaja usia SMA dan volunteer mahasiswa atau bahkan pasca sarjana seluruh Indonesia.
Binabud Indonesia sudah mengirim 3000-an pelajar ke luar negeri dan menerima kedatangan 1200-an pelajar internasional ke Indonesia. Di bawah generasi kami masih banyak kader muda yang siap berbuat dengan cita-rasa remaja–cita rasa dan karsa berbalut sastra 🙂 Mereka yang seleksi AFS/YES dari tahun ke tahun adalah Gen-Z! Generasi SmartPhone. Generasi gejet. Generasi tanpa kartu nama he3 🙂