Oleh: Nur Iskandar
Locus Dilicti Sultan Hamid pada 23 Januari saat Peristiwa Westerling terjadi di Bandung, Allahyarham di Pontianak sama Moh Hatta. Para ahli hukum perlu turun gunung melihat dan membaca serta meneliti ketidak-adilan yang disematkan kepada Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila serta tokoh pemersatu Soekarno-Hatta dan Negara Federasi (15 seluruh Nusantara-tergabung dalam BFO) sehingga sukses Konferensi Meja Bundar dengan ketokohan Hamid di Konferensi Inter Indonesia Pertama di Yogyakarta serta Konferensi Inter Indonesia Kedua di Jakarta.
Indonesia Merdeka 17/8/1945 diakui kedaulatannya oleh Belanda disusul negara-negara seluruh dunia sehingga Agresi Militer 1 dan 2 Belanda stop total dan Indonesia tidak lagi berkecamuk perang berdarah-darah.
Pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah adalah akibat Sultan Hamid “dipersekusi” secara tidak adil–hak-hak otonom daerah tidak diakui Negara. Padahal tujuannya sama: memakmurkan rakyat atas nama Indonesia–masing-masing berhaluan otonomi daerah vs kesatuan.
Dan kini NKRI adalah hibridisasi antara federal dan unitarial. Antara persatuan dan kesatuan. Di sini saya baru paham, kenapa tokoh-tokoh Bangsa kalau pidato dahulu di layar kaca hitam-putih selalu menyebutkan frasa, “Jaga persatuan dan kesatuan”. Rupanya adalah akomodasi unitarial dan federal. Persis seperti pesan Hamid melalui ide penyusunan Lambang Negara mengambil figur Elang Rajawali Garuda Pancasila di mana pada dadanya tergantung perisai Pancasila dengan sila ketiga itu bunyinya Persatuan Indonesia bukannya Kesatuan Indonesia. Juga diikat dengan seloka Bhinneka Tunggal Ika–Bhinneka (beraneka) Tunggal itu satu. Ika artinya Itu. Berarti Bhinneka Tunggal Ika arti harfiahnya beraneka itu satu, yakni Indonesia. *