Oleh: Yusriadi
Kami, saya dan teman-teman, sering membicarakan sikap orang-orang yang mengikuti pembekalan survey kinerja akuntabilitas publik (SKAP) 2018. Kami mentertawakan mereka, termasuk kami sendiri, yang sudah menganggap makanan enak tidak enak lagi.
Ya, setelah lebih satu minggu di hotel bintang, orang-orang mulai tidak semangat lagi makan. Ciri yang umum: masuk kafe hotel, kemudian memerhatikan makanan yang ada, memiringkan badan atau memanjangkan kepala, lalu mundur, berjalan ke arah meja dan wadah lainnya.
Mereka pilih-pilih makanan. Survei dahulu mana makanan yang menimbulkan selera dan mana yang tidak.
Meskipun di sana ada nasi –berbagai jenis, mulai nasi putih, nasi goreng, nasi pandan, dan beberapa lagi, ayam, ikan, aneka jenis mie, soto, sop, plus makanan ala Eropa dan Jepang, tetapi, orang-orang yang telah tinggal lebih dari satu minggu tidak gelojoh seperti satu dua hari pertama datang.
Bahkan saya sering mendengar keluhan,
“Bosan dah”.
“Rindu nasi padang”.
“Rindu masakan rumah. Ada ikan asin, enak ya”.
Alhasil, ada yang mengambil sedikit saja makanan dan buah-buah. Cukup. Ada yang makan malam memilih di luar, mencari makanan di bazaar food.
Tentu saja kondisi itu kontras dengan pandangan awam tentang makanan kafe hotel bintang. Makan di ruang kaca ber-ac, dengan banyak pilihan menu, dengan harga yang pasti mahal, dilayan orang pelayan yang berseragam dan segar, dalam pandangan umum pasti wah, dan enak. Pasti banyak yang ingin, dan mungkin banyak yang menghayalkannya.
Tetapi, rupanya, fakta yang terlihat tidak seperti itu. Apa yang enak, kalau sudah lama, kalau sudah biasa, bisa menjadi tidak enak lagi, tidak wah lagi.
Begitulah bentuk relativitas kehidupan. Makna enak menjadi relatif. Enak menurut orang tertentu belum tentu sama ukurannya dibandingkan yang lain. Bagi lidah orang miskin enak akan berbeda dibandingkan lidah orang kaya.
Enak menurut ukuran hari ini belum tentu enak menurut ukuran besok. Tak enak hari ini, bukan berarti akan tak enak di waktu yang akan datang. (*)