Oleh: Leo Sutrisno
Dalam pola pergaulan orang Jawa terdapat dua aturan yang tidak boleh dilanggar, yaitu: harus rukun dan harus hormat. Kedua aturan ini digunakan untuk memelihara keselarasan, kedamaian, ketenangan, ketentraman di masyarakat. Dalam sajian ini akan dibahas aturan kedua, hormat.
Aturan ini mengatakan bahwa setiap orang dalam cara berbicara dan cara membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajad dan kedudukannya. Sikap hormat ini berdasarkan pada pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis. Keteraturan hirarkis ini bernilai pada dirinya sendiri. Karena itu, orang wajib mempertahankannya dan membawa diri yang sesuai dengannya.
Berlaku hormat kepada orang lain berfungsi untuk mempertahankan keteraturan hirarkis itu di masyarakat. Sehingga, kesatuan yang selaras di masyarakat itu dapat dipertahankan.
Kesatuan ini hendaknya diakui oleh semua orang dengan membawa diri sesuai dengan tuntutan-tuntutan sosial. Mereka yang berkedukan tinggi (senior) harus diberi hormat. Sedangkan kepada mereka yang berkedudukan sosial lebih rendah harus bersikap kebapakan dengan penuh tanggung jawab.
Kesadaran akan kedudukan sosial seseorang tercermin dalam gerak tubuh dan tata tutur yang digunakan. Dalam bahasa Jawa dikenal dua tingkat hormat dalam perkataan dan gramatika. Tingkat yang satu krama dan tingkat yang lain ngoko. Krama digunakan untuk mengungkapkan sikap hormat. Sedangkan ngoko untuk mengungkapkan keakraban antara mereka yang bertutur kata..
Ada sekitar 850 kata sehari-hari yang mempunyai bentuk baik krama maupun ngoko.Di samping itu, ada 260 kata yang mempunyai bentuk: krâmâ inggil, krâmâ dan ngoko. Krama inggil digunakan untuk menunjukkan sikap hormat yang paling tinggi. Kombinasi antara kata-kata ini menghasilkan 14 tingkat tata tutur yang semestinya digunakan oleh orang Jawa dalam berkomunikasi dengan orang lain (kecuali dalam keluarga inti yang lebih sering digunakan bahasa ngoko/akrab, dalam sejumlah keluarga ayah sering dikecualikan).
Ketrampilan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat diperoleh dari pendidikan sejak dini. Anak-anak Jawa mengenal istilah: wedi- takut, isin malu dan sungkan – segan.
Anak-anak dididik agar wedi/takut kepeda orang yang dihormati 9senior). Sikap wedi itu ditunjukkan dengan bagaimana mereka membawa diri dan bertutur kata. Mereka harus menunjukkan kelakuan yang halus dan sopan. Bagi mereka yang tidak melakukannya, para orang dewasa akan menyindir-nya serta menakut-nakuti akan bahaya yang akan diterimanya.
Pada usia yang lebih tinggi, anak-anak mulai belajar isin. Isin berati: malu, malu-malu, atau merasa bersalah. Anak-anak diajari sikap malu kepada orang lain. Pada mulanya malu terhadap keluarga serumah yang senior. Kemudian, berkembang malu terhadap tetangga, dan akhirnya malu terhdap masyarakat luas. Karena itu, sering dijumpai orang Jawa yang terlihat malu-malu dalam berbagai pertemuan.
Akhirnya, anak-anak Jawa dididik agar memiliki rasa sungkan. Sungkan merupakan rasa malu jika berhadapan dengan senior. Dengan demikian, sungkan bukan sesuatu yang negatif, tetapi lebih berupa perwujudan rasa hormat kepada yang lebih senior atau atasannya.
Wedi, isin, sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang berfungsi untuk memberi dukungan-dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan sikap hormat. Dengan begiti yang bersangkutan terdorong untuk selalu menaruh hormat kepada orang lain.
Mengerti akan wedi, isin dan sungkan menempatkan seseorang pada pengetahuan bagaimana membawa diri dan bertutur kata ketika berinteraksi dengan yang lain. Ke-alpha-an akan itu akan disebut ngisin-isini/memalukan. Seperti yang disebutkan oleh pujangga Mangkunegoro IV, gonyak-ganyuk nglelingsemi.
Mangga kaoncèkana
21-2-2019, Pakem Tegal, Yogya
Nuwun