Oleh: Erma S Ranik
Saya tak hendak mengomentari RUU HIP. Tapi merenungkan posisi Rieke Diah Pitaloka yang dicopot sebagai pimpinan Badan Legislasi DPR RI.
Bagi yang pernah jadi DPR, pasti tahu, jabatan pimpinan komisi, badan dan pimpinan fraksi merupakan jabatan prestisius. Mimpi anggota DPR yang paling tinggi adalah bisa jadi pimpinan DPR, sedikit di bawahnya adalah pimpinan komisi/badan atau Pimpinan fraksi.
Jumlah komisi dan badan sangat sedikit. Hanya orang-orang yang dianggap “luar biasa” oleh Ketum dan Sekjen yang bisa menjadi pimpinan. Ini tentu karena bisa terpilih sebagai anggota DPR RI itu sendiri adalah sesuatu prestasi yang luar biasa. Tak semua orang bisa menembusnya. Untuk memimpin orang-orang luar biasa itu, tentu saja harus ditunjuk orang dengan kemampuan di atas rata-rata. Karenanya, selalu ada respect yang luar biasa terhadap orang-orang yang ditunjuk untuk jadi pimpinan.
Nah, perempuan nih di DPR, jumlahnya emang tak pernah sampai 30 %, dan sangat sedikit yang bisa jadi pimpinan. Mbak Puan Maharani, mencetak sejarah, perempuan pertama yang menjadi Ketua DPR. Dan jangan berharap ada kuota 30 % untuk perempuan bisa jadi pimpinan. Ini wilayah “tarung bebas”.
Dinamika dan tekanannya sebagai pimpinan juga luar biasa.
Kalau rekan separtai saja bisa beda pendapat, apalagi rekan berbeda partai. Saya masuk DPR sejak awal disimpan di komisi 3, langsung ditunjuk sebagai Sekretaris Poksi (kelompok Fraksi) Partai Demokrat di Komisi 3. Mendampingi singa parlemen Benny K. Harman yang Kapoksi sekaligus Wakil Ketua Komisi 3. Empat tahun, saya belajar banyak dari Om BKH, demikian saya memanggilnya. Cerdas dan ketekunan mantan aktivis YLBHI ini sangat menginspirasi.
Saat Om BKH maju sebagai calon gubernur, ia mundur dari DPR. Saya kemudian ditunjuk pak SBY jadi pimpinan Komisi 3. Saya tak pernah menyangka akan mendapat tugas itu. Senior dan jagoan di Komisi 3 nih banyak. Komisi 3 adalah Komisi yang selalu jadi sorotan media nasional. Isu hukum, HAM dan perundang-undangan, tak pernah tak jadi kontroversi di Indonesia. Konon kabarnya, masuk di Komisi 3 juga tak sembarang orang. Perdebatannya keras sekali.
Saat jadi wakil Ketua Komisi 3, saya menjadi perempuan pertama dalam sejarah DPR RI yang pernah menjadi pimpinan Komisi Hukum. Saya menambah satu orang perempuan di jajaran pimpinan komisi. Sebelumnya senior saya dari Golkar yakni mbak Hetifah udah jadi pimpinan Komisi Pendidikan, Ninik H dari PKB jadi pimpinan Komisi Pemerintahan. Masa 2014 – 2019, hanya 3 saja perempuan yang jadi pimpinan komisi/badan.
Sebagai mantan pimpinan komisi, saya sangat faham apa yang dialami oleh Rieke. Komisi 3 masa saya jadi pimpinan juga tak henti didemo berulang kali. Tapi saya yakin, Rieke politisi tangguh. Rieke lah yang berulang kali memperjuangkan Baiq Nuril untuk bebas, ia bahkan mengawal Baiq ke komisi 3, saat kami menyetujui usulan amnesti presiden.
Bagi politisi tangguh seperti Rieke sih, biasanya santai santai saja kehilangan jabatan.
Dalam politik, konon kita bisa “mati” berkali-kali. Tapi juga bisa “hidup” berkali-kali juga.
Saya yakin, Rieke juga begitu. Cuma saya menyayangkan, berkurangnya jumlah perempuan yang jadi pimpinan di DPR.
Tabik,
Erma Ranik