Oleh: Turiman Fachturahman Nur
(Peneliti Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia)
Perundingan yang selanjutnya dilakukan setelah sebelumnya Belanda melanggar perjanjian yang telah disepakati dalam Perundingan Linggarjati dikenal dengan Perundingan Renville. Perundingan Renville merupakan perundingan yang dilangsungkan di kapal Renville yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, pada 8 Desember 1947.
Sama seperti sebelum-sebelumnya, hasil dari perundingan ini membuat Belanda melakukan berbagai tindakan tanpa adanya izin atau persetujuan Indonesia. Dengan kata lain, Perjanjian Renville tidak membuahkan hasil yang menguntungkan bagi Indonesia.Menjelang akhir Desember 1947, Komisi Tiga Negara (KTN) mengirim pesan kepada kedua belah pihak yang dikenal dengan Pesan Natal atau Christmas Message yang berisi dua hal pokok: 1.Immediate standfast and cease-fire (berdiri tegak di tempat dan penghentian tembak-menembak dengan segera) 2.Pengulangan kembali pokok dasar Perjanjian Linggarjati.
Pada tanggal 17 Januari 1948, naskah Perjanjian Renville ditandatangani, yang berisi: “Persetujuan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda; dan enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian politik”. Dalam perjalanannya, rupanya pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda kembali melancarkan agresi militernya ke II. Atas tindakan tersebut KTN melapor kepada Dewan Keamanan PBB bahwa Belanda melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Dewan Keamanan.
Pada tanggal 22 Desember 1948 Dewan Keamanan melakukan sidang yang menghasilkan resolusi dengan mendesak agar permusuhan segera dihentikan dan pemimpin Indonesia yang ditawan segera dibebaskan. Pada tanggal 23 Januari 1949, Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru, atas nama Konferensi Asia di New Delhi menuntut untuk dipulihkannya Republik Indonesia seperti semula. Tuntutan Nehru dalam konferensi tersebut, di antaranya ditariknya tentara Belanda, diserahkannya kedaulatan kepada rakyat Indonesia, dan diperluasnya wewenang KTN.
Tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB menerima resolusi yang berbunyi: 1.Segera melakukan gencatan senjata. 2. Pemimpin-pemimpin Republik Indonesia segera dibebaskan dan dikembalikan ke Yogyakarta.
Pada timeline sejarah hukum berikutnya untuk perjuangan diplomatik terjadilah dalam fakta sejarah, yakni Perundingan Roem-Royen. Didesaknya Belanda oleh Dewan Keamanan PBB pada Januari 1949, membuat Belanda mencari cara untuk mengadakan pendekatan-pendekatan politis terhadap Indonesia.
Pada 21 Januari 1949 Belanda melalui Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO)––Badan Permusyawaratan Federal, melakukan pertemuan dengan delegasi Indonesia yang terdiri atas Mr. Djumhana, dr. Ateng, Ir. Sukarno, dan Moh. Hatta. Hasil pertemuan tersebut tidak dipublikasikan, tetapi Moh. Roem selaku pemimpin delegasi RI menyatakan bahwa RI bersedia berunding dengan BFO dengan syarat diawasi oleh PBB apabila telah mencapai tingkatan formal.
Anggota-anggota BFO memutuskan untuk mengadakan pertemuan yang kesekian kalinya di Jakarta. Ide Anak Agung Gde Agung (pimpinan delegasi BFO) berpendapat bahwa setiap langkah ke arah terwujudnya pemerintah federal sementara harus mengikutsertakan Republik Indonesia.
Pada awalnya wakil Kalimantan Barat (Sultan Hamid II) dan Sumatra Timur (dr. Masur) keberatan dengan usulan tersebut. Namun, pada akhirnya mereka dapat diyakinkan dan sidang BFO dapat merumuskan keputusan-keputusan penting sebagai berikut. 1.Penting untuk membentuk pemerintah federal sementara untuk mempersiapkan perwujudan Republik Indonesia Serikat. 2. Pemerintah Republik Indonesia yang ditawan di Bangka harus diikutsertakan dalam pemerintah federal sementara. Kemudian fakta sejarah hukum ketua BFO beralih ke Sultan Hamid II sebagai wakil DIKB.
Pada time line sejarah hukum inilah Sultan Hamid II “starting point” perjuangan diplomatik untuk mendukung kemerdekaan Republik Indonesia yang diawali dengan perjumpaan Sultan Hamid II dengan para tahanan negara 17 Agustus 1945 di Bangka, disinilah keterlibatan Sultan Hamid II dalam memperjuangkan Republik Indonesia agar adanya pengakuan kedaulatan penuh. Bagaimana caranya?
Kesempatan untuk diikutsertakannya pemerintah RI yang ditawan di Bangka untuk berunding dengan Badan Musyawarah Federal (BFO) bermula ketika Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi pada tanggal 28 Januari 1949. BFO memutuskan untuk memilih Ide Anak Agung Gde Agung sebagai pimpinan delegasi pada 7 Februari 1949 untuk berkonsultasi dengan para pemimpin RI di Muntok (Pulau Bangka). Adapun tokoh yang ditawan di Bangka antara lain, Sukarno, Mohammad Hatta, Agus Salim, dan J. Leimena.
Pada 13 Februari 1949, Moh. Hatta secara resmi menyatakan bahwa perundingan dapat saja dilakukan dengan syarat pasukan Belanda menarik pasukannya dari wilayah RI berdasarkan resolusi PBB. Sama halnya dengan Hatta, Sukarno menyatakan bahwa RI bersedia berunding dengan pemerintah federal sementara yang akan dibentuk, dengan syarat bahwa BFO mengakui para pemimpin di Muntok (pemerintah RI yang ditawan) sebagai pemimpin suatu negara yang sah bukan sebagai orang-orang biasa.
Sekembalinya Anak Agung Gde Agung dari Jakarta, Sultan Hamid II sebagai ketua BFO mengadakan sidang pleno pada tanggal 15 Februari 1949. Dalam sidang tersebut, delegasi menyampaikan apa yang disampaikan oleh Sukarno. Pada tanggal 26 Februari 1949 Dr. Beel, wakil mahkota (Belanda) di Jakarta, meneruskan suatu keputusan dari kabinet Belanda yang mengubah pokok-pokok perundingan, antara lain: 1.Akan diadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, sekitar bulan Maret. 2.Konferensi Meja Bundar akan dihadiri oleh pihak-pihak Belanda, BFO, dan RI. 3.Konferensi tersebut akan membicarakan tentang pembentukan RIS dengan masa transisi yang dikendalikan oleh sebuah pemerintah federal sementara. 4.Selama konferensi tersebut setiap pihak memiliki hak yang sama. 5. Seorang utusan Belanda dari Jakarta akan dikirim ke Muntok untuk menyampaikan hal-hal tersebut di atas kepada para pemimpin RI.
Berdasarkan keputusan tersebut, pihak BFO segera mengirimkan utusannya ke Muntok untuk mengoordinasikan masalah-masalah yang akan disampaikan dalam Konferensi Meja Bundar. Delegasi BFO yang diutus untuk datang ke Muntok, yakni Sultan Hamid II (ketua BFO), Ide Anak Agung Gde Agung dari NIT 1 (wakil ketua BFO), Mr. Djumhana dari Pasundan, Dr. Ateng dari Jawa Timur, Raja Kaliamsyah Sinaga dari Sumatra Timur, dan Abdul Rivai dari Banjar.
Pada 2 Maret 1949, delegasi BFO bertemu dengan para pemimpin RI, yakni Presiden Sukarno, Perdana Menteri Mohammad Hatta, Mr. Asaat (ketua KNIP), menteri-menteri seperti, J. Leimena, Agus Salim, dan Mohammad Roem, Supomo (ketua delegasi perundingan dengan Belanda), Abdul Karim Pringgodigdo (sekretaris kabinet), dan Sujono.
Kemudian pada 3 Maret 1949 Sukarno mengadakan pembicaraan dengan penghubung BFO menegaskan perlunya kedudukan pemerintah RI dipulihkan sebagai syarat dilangsungkannya perundingan yang selaras dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Beberapa hari kemudian Dewan Keamanan PBB menyatakan bahwa Komisi PBB untuk Indonesia telah bekerja sesuai dengan resolusi 28 Januari 1949 dan tidak merugikan tuntutan kedua belah pihak. Dalam kesempatan tersebut Komisi PBB bersedia memberikan bantuan sebagai berikut: 1.Tercapainya persetujuan sebagai pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 paragraf 1 dan 2, yakni menghentikan agresi militer oleh Belanda dan pengembalian para pemimpin RI ke Yogyakarta. 2.Menetapkan tanggal dan waktu serta syarat untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag agar dapat diselenggarakan secepatnya. * (Bersambung)