Oleh: Dr Leo Sutrisno
Sebelum melanjutkan perjalanan, aku singgah ke rumah orang tua. Seperti biasanya, begitu selesai menyetandarkan sepeda aku langsung ke dapur. Kebiasaan kami, bapak, ibu, aku dan adik-adik begitu masuk rumah llangsung ke dapur untuk memanaskan dan mengasapi telapak kaki di dekat tungku yang masih membara. Belakangan, setelah kuliah di FK, aku dapat memberikan penjelasan yang masuk akal, yaitu sebagai salah satu tindak preventif dari penyakit.
Ibu, saat ini, sedang duduk di depan tungku. Ia menggoreng ikan asin. Ikan asin merupakan lauk wajib kami sehari-hari. Agar tidak terlalu asin, ibu merendamnya lebih dahulu dengan air garam sebelum digoreng.
Kupijat-pijat pundaknya beberapa saat. Tampaknya, ia merasa kalau anaknya datang. Ia menoleh menengadah ke atas memandangi mukaku.
Dapur kutinggalkan, kutengok kamarku. Tas rangsel telipat rapi di meja. Kuintip lemari pakaian. Aroma akar Lara Setu semerbak harum menyegarkan. Di dinding, tergantung deretan fotoku dari usia balita, SD, SMP, SMA, perploncoan, diwisuda hingga disumpah sebagai dokter umum. Foto pengukuhan sebagai spesialis masih tergeletak di atas meja rias.
Kutinggalkan kamarku, ke luar menuju kandang kuda. Di sana bapak sedang memberi makan kuda. Kami mempunyi dua ekor, kuda hitam jragem – hitam legam dan kuda plangka-hitam-putih.Walaupun kedua-duanya menyenangkan, aku lebih dekat dengan si hitam. Ia kelihatan ‘dandy’. Apa lagi bila selesai disisir.
Aku sering membawanya jalan-jalan menyusuri jalanan kampung. Kadang-kadang ia kubawa ke lapangan. Di sana ia sungguh bergembira. Sering ia membawaku berlari ‘nyongklang’. Aku sungguh menikmati punggurnya yang sangat lentur.
Saat ini, bapak sedang menyapu halaman. Saya menikmati lukisan telapak kakinya yang tercetak di tanah yang bersih setelah di sapu. Berderet lurus rapi. Bekas telapaknya tampak masih normal, ideal orang sehat. Belum ada tanda-tanda ketuaannya.
Kuelus punggangnya beberapa saat. Ia menggeliat. Tampaknya, ia agak kaget. Ia hapal dengan sentuhan telapak tanganku karena setiap pulang Sabtu sore selalu kulakukan ini. Entah disengaja atau tidak, jadwal ayah menyapu halaman Sabtu sore itu kurang lebih sekitar kedatanganku dari kota.
Yang seru, justru terjadi di meja belajar adik-adik. O, ya, aku punya dua adik. Yang tua perempuan sarjana bahasa asing, yang muda laki-laki, sarjana sastra nusantara. Kami bertiga belajar di satu meja besar yang berada di ruang tengah diterangi lampu gantung. Kadang-kadang ibu juga bergabung di situ. Karena kursi hanya empat, ayah duduk sendirian di ‘singga sana’-nya yang khas, sebuah kursi kayu panjang berkaki rendah. Ayah juga sering tidur semalaman di kursi itu. Tentu tanpa alas kasur. Kami hanya punya tikar.
Tampaknya, kedua adikku sedang membuka-buka jejaring medsos. Saya mendengar mereka bergantian membacakan kiriman dari kontak masing-masing. Pada umumnya, berisi ucapan duka cita disertai doa-doa untukku dan untuk seluruh keluarga. Sebagian juga berisi kata-kata penghiburan, ungkapan kagum, serta bangga,
Banyak juga yang mengirimkan gambar karangan bunga atau sticker yang indah. Aku tidak tahu apakah kebetulan atau ada yang ‘campur tangan’. Sebagian besar berupa bunga mawar merah jambu. Itu bunga dan warna favoritku.
Aku suka bunga mawar karena batangnya walau lentur tetapi penuh duri yang kokoh. Sebuah isyarat dapat melindungi diri sendiri. Karena itu, tidak jarang bunga ini dijadikan sebagai tanaman pagar. Jika sudah lebat, susah orang menembusnya.
Aku pun demikian, berusaha melindungi diri sendiri. Aku merupakan salah seorang dari sedikit perempuan penyandang sabuk hitam dari dari suatu organisasi bela diri. Warna jingga juga kesenanganku. Warna ini melambangkan suasana kebahagiaan, karena, di depan sana ada pengharapan.
Sebelum meninggalkan rumah orang tua, aku singgah di lokasi ari-ariku ditanam. Ku sapa saudaraku ini. Ia kuajak melanjutkan perjalanan panjang yang tanpa batas. Juga saudara yang lain, air kawah, darah, dan tali pusar, kuajak serta,
Di emper depan, tiba-tiba terputar kembali ‘wejangan’ ibu enam tahun yang lalu ketika aku pamit untuk mengikuti PTT di kepulauan terluar dan terpencil. Ia menasehatiku agar jangan takut, sebab ke-empat saudaraku menyertai perjalanan itu.
Wejangan itu, kurang lebih mirip dengan wejangan Dewi Anjani kepada anaknya si kera putih, Anoman, yang ada dalam buku kesayangan ibu, ‘Anak Bajang Menggiring Angin’.
Sambil memelukku, dengan raut muka ‘sumringah’ ibu berkata “Jangan khawatir Wie, anakku, Pergilah kemana hatimu suka. Karena, kau akan selalu bertemu dengan salah satu dari keluarga keempat saudaramu, kakang kawah (air ketuban), adik ari-ari, darah, atau tali pusar. Mereka akan selalu menyambutmu dalam suka dan duka. Tentu, atas ijin-Nya” Ibu menarik napas panjang.
“Mereka tersebar di empat penjuru angin” Sambungnya. “Jika pergi ke timur, kau akan berjumpa dengan keluarga yang melahirkan kawahmu. Jika ke selatan kau akan bertemu dengan keluarga yang melahirkan darahmu. Jika pergi ke barat, kau menuju ke daerah keluarga yang melahirkan ari-arimu. Jika ke utara kau akan disambut oleh keluarga yang melahirkan tali pusarmu. Jika menetap di sini kau bersama aku, ibumu!, yang melahirkan dirimu. Tentu juga di bawah asuhan bapak dan didampingi kedua adikmu ini”, kata ibu sambil merangkul kedua adik.
Di depan pintu pekarangan, kutengok sekali lagi rumah itu sambil berguman, “Akhirnya saat itu tiba, aku, Wie, minta pamit bapak, ibu, adik Mie dan adik Man. Kutinggalkan kegembiraan dan keceriaanku di rumah ini, sebagai penghiburan bagi kalian semua”.
Pancaran cahaya Matahari telah condong ke barat setinggi pundak manusia. Gerimis kecil membentangkan biang lala di kaki langit timur. Belalainya menggulung kami berlima mengarungi mega-mega putih, menembus batas cakrawala.
‘Selamat tinggal kampung halamanku”.
Pakem Tegal, Yoogya. 22-4-2020