in

OSO, Sukadana dan Sail Selat Karimata

Pengantar: Tulisan ini untuk mengapresiasi Bang Hildi Hamid jadi Dubes di Azerbaijan…

IMG 20200915 WA0032

Oleh: Nur Iskandar

Siapa orang Kalbar yang tak kenal OSO? Dia adalah Oesman Sapta Odang–Bos pemilik sejumlah hotel, SPBU, perkebunan, pertambangan, bahkan memiliki pesawat terbang pribadi. Namanya sangat terkenal tidak hanya di Kalbar, tapi juga di pentas nasional dan internasional lantaran beliau salah satu putra terbaik bangsa yang pernah menjabat Wakil Ketua MPR RI-Utusan Daerah dan sekarang kembali menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI. Sungguh dia orang hebat!

Hebat karena OSO berbeda jauh dengan masa kecilnya yang “nakal”. Suka “ngusili” orang, ajak bertinju, “malak” dan “ogah” sekolah. Tapi dia berhasil meretas batas kenakalan anak dan remaja yang sedang mencari identitas diri itu. Oleh karenanya jika ada “anak Kalbar” yang nakal, “ngelem” dlsb, belajarlah dari kisah sukses OSO. Dia bagaikan buah kelapa yang jatuh di pinggir pantai Sukadana, lalu terapung-apung di antara pasir dan buih lautan. Dihempas karang dan gelombang….

Kemudian dia tumbuh di Kota Pontianak serta berkarir di ibukota, Jakarta. Ia melanglang buana tidak hanya Nusantara, tapi sampai ke Amerika. Ia kendalikan tali temali bisnisnya dari gedung pencakar langit, DKI Jakarta. Tak sedikit kisah yang “macam-macam” tentang dirinya sejak kecil dan remaja itu sehingga menjadi bumbu–dan perlu dicek serta ricek kebenarannya–sebab maklumlah pelisanan masyarakat banyak lebih-lebihnya. Namun kesemua itu dia pungkasi dengan kepemimpinan bangsa yang majemuk, heterogen, plural. Prilakunya kini jadi contoh dan teladan. Ia secara akademis juga meraih gelar doktor honoris causa sekaligus “guru besar” dalam kehidupan kita.

OSO melewati masa kecil di Sukadana bersama seorang anak yang kelak menjadi Gubernur Kalbar. Cornelis. Cornelis saat itu ikut ayahnya, polisi. Djamin Indjah namanya. Polisi berpangkat rendah. Sedangkan OSO ikut ayahnya pula. Ayahnya bukan polisi, tapi berkawan dengan Djamin Indjah. Ayah OSO saudagar.

OSO – Cornelis berteman sebagaimana ayah dan ibundanya. Lalu, OSO – Cornelis yang kini sama-sama memimpin di levelnya masing-masing, kerap kerjasama. Di mana ada “chemistry” di antara keduanya sehingga bisa “mengemas” Kalimantan Barat sebagai “berpengaruh”, dus mampu mengambil perhatian Pemerintah Pusat untuk menetapkan Selat Karimata sebagai agenda besar internasional pelayaran. Itulah event yang sekarang sedang kita ikuti, yakni Sail Selat Karimata di mana pembukaannya menghadirkan tokoh nomor satu Republik Indonesia, Joko Widodo dan diikuti peserta mancanegara. Acara pembukaan itu pada hari Sabtu, 15/10/16. Media mencatatnya sebagai sukses besar. “Ibarat bisul sudah pecah,” kata orang Sukadana. Selama berbulan-bulan Pemkab dan masyarakat menyiapkan diri menampilkan sambutan terbaik. Meliputi keanekaragaman budaya Kalbar agar “mentas”, kuliner agar “laku keras”, pamor Sukadana yang dipimpin Bupati Hildi Hamid pun supaya kian “bernas”. Sudah semestinya banyak buah kelapa pinggir pantai yang jatuh dan berkembang bak Sinbad Sailor Perkasa. Bagaikan pula kisah OSO masa moeda 🙂


Figur sentral di balik Sail Selat Karimata tak dipungkiri ada di figur OSO. Dalam batok kepala dan dadanya tertanam rasa cinta yang amat sangat dalam terhadap Sukadana. “Saya tak pernah merasakah kebahagiaan yang lebih daripada pulang ke rumah ini (Sukadana),” ungkapnya suatu kali kepada saya. Saat itu OSO memboyong artis pop dangdut kondang Iyeth Bustami dalam rangka HUT Kayong Utara dan menghibur ribuan warga di halaman depan rumahnya.

“Saya makan enak di sini. Tidur? Kamar tak perlu dikunci. Biar saja. Namun tak ada barang sekecil apapun yang hilang,” tambah OSO yang saat itu sedang berkain sarung, baju koko putih tanpa kerah, dan peci hitam. Ia makan nasi dengan piring putih di pojok kiri rumah, teras, di bawah kanopi, khas gaya kampung. Saya sering melihat orang-orang kampung masa lalu makan di teras depan rumah seraya menengok orang-orang yang lewat. OSO menikmati hal itu di Sukadana, dan tak bisa dia nikmati romansa itu di Jakarta. Maka setiap tahun OSO pulang kampung. Berkurban belasan sapi di setiap Idul Adha, dan berbagi uang kertas baru dan licin kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar di momentum Idul Fitri. Dan semakin bertambah usianya, semakin tampak OSO bakti kepada Sang Khalik. Spiritualitas kian menampakkan kualitas. Tak heran dia “ngebet” merehab Masjid Raya Mujahidin–dan kini tercatat sebagai salah satu dari enam masjid megah di Indonesia–juga membangun Masjid Oesman Alkhoir (Oesman yang baik) di Sukadana. Masjid ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo. sama halnya dengan Masjid Raya Mujahidin.
OSO cinta akan Sukadana yang mengajarkannya banyak ilmu “Sinbad” Sailor Perkasa. Terutama belajar dari kerasnya alam dan sekaligus menikmati keindahan panoramanya. Maka dia yang “praktisi ekonomi cum politik” berjuang memekarkan Kayong Utara dengan Ibukota Sukadana dari Kabupaten Ketapang. Hal itu berhasil. Mulus. Tak seperti Kapuas Raya dengan cikal bakal Sintang sebagai ibukotanya. Sejak masa reformasi hingga kini “terpental” terus. Beda dengan tata cara OSO untuk Kayong. Dia berjuang karena cinta akan daerahnya. Beda “barangkali” dengan Kapuas Raya yang bermodal “politik an sich”. Dan kecintaan OSO terus tumbuh dngan caranya mengaet event besar skala internasional. Lobbynya yahud. Tentu dengan kerjasama berbagai pihak.
OSO kerap menabalkan pembangunan di Sukadana. Dia bangun hotel yang termegah di sana. Hotel ini menghadap ke laut. Amboy betapa indahnya. Sama halnya dengan Masjid Oesman Alkhoir. Juga berada di atas laut. tak ubahnya Masjid Terapung di Jeddah, 60 km dari Mekah Almukarramah. OSO investasi tanah dan bangunan. Yang menurut ustadz, sama dengan investasi “tanah di syurga”, insya Allah dan semoga. Amiiin.

Di Sukadana OSO merasa lepas sebagai manusia tanpa topeng. Dia tampil sebagai OSO sesungguhnya. Biasa keluar masuk rumah tanpa baju. Biasa dipijit melantai di dalam kamarnya. Santai. Rileks. Tanpa beban. Di sana dia betah berhari-hari. Oleh karenanya dia butuh alat transportasi untuk memenuhi hasratnya pulang kampung, yakni pesawat pribadi. Kerap kali pesawat ini “ngandang” di Bandara Soepadio. Nah, jika Anda kebetulan terbang dari bandara Pontianak, dan melihat ada pesawat kecil, itu barangkali pesawat milik OSO. Punya pesawat sendiri? Langka ada yang seperti OSO di Kalbar…maka OSO sangat tenar. “Pesawat Hely pak OSO canggih. Pertama saya ngeri, tapi ternyata aman,” kata Iyeth Bustami.


Kedekatan OSO dengan Presiden Jokowi tidak diragukan lagi. Dia sesama pejabat negara. OSO juga deklarasi mendukung Capres Jokowi saat kampanye Pilpres “tempo hari”. Tak ayal, kita kerap melihat OSO tampil mesra bersama Jokowi dari layar televisi.

Apalagi relasi OSO dengan Jokowi dilengkapi dengan kehadiran Gubernur Cornelis (Penguasa Eksekutif Kalbar). Sehingga pas. Cornelis selain Gubernur, juga Ketua DPD PDIP Kalbar. Sementara PDIP adalah partainya Jokowi sejak jadi Walikota Solo, Gubernur DKI dan Presiden RI. Jokowi dekat dengan OSO, dekat juga dengan Cornelis.

Catatannya adalah, kedekatan tidak sekedar dekat, tapi berdampak. Lihat, “koalisi” ini berhasil memasukkan dana perbatasan sehingga jalan lingkar luar dengan border Entikong menjadi “terbaik” di Indonesia. Dana masuk triliunan rupiah. Dampak ekonominya akan sangat luas ke masa depan.

Begitupula dengan keberhasilan pembangunan Jembatan Tayan. Masjid Raya Mujahidin. Gereja Katedral. Hingga Sail Selat Karimata. Banyak dana Pusat digelontorkan ke Kalbar hingga Sukadana. Mulai dari penambahan luas jalan, stimulasi ekonomi kerakyatan, hingga wisata bahari.

Kita jarang melihat “trisula” pertemanan sedemikian nyata dan dahsyat. Dan hal ini patut menjadi teladan kita semua dalam pertemanan.

Keteladanan OSO, Cornelis dan Jokowi pun patut diacungi jempol. Sebab peluang bisa jatuh ke tangan siapa saja dalam pangkat dan jabatan, namun apa yang telah ditorehkan dengan tinta emas dan dapat dibaca rakyat jelata apa bisa? (Penulis adalah Pemred media online teraju.id, Direktur Pusdiklat TOP Indonesia dan mengajar di berbagai perguruan tinggi)

Pengantar: Tulisan ini untuk mengapresiasi Bang Hildi Hamid jadi Dubes di Azerbaijan…

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

IMG 20200915 140935 219

“Apakah Pancasila itu Benar-benar Ada?”

IMG 20200916 WA0037

Tentang Pancasila, Siapa yang Dungu?