Oleh: Bambang P
Malam luruh pada 26 April. Saya, bang Fahri Hamzah dan seluruh rombongan sampai di Bandara Supadio Pontianak sekitar pukul 18.40. Pesawat landing dengan mulus. Di udara, pesawat mengalami guncangan. Kalimantan memang sedang rutin hujan. Mendung datang bertandang tak kenal waktu. Cuaca di Kalimantan kadang tak tertebak. Pagi hujan sore reda. Datang dan pergi diam-diam.
Suasana di luar bandara cukup gelap. Dulu sekitar dua tahun lalu, Pontianak pernah mengalami krisis listrik. Bukan hanya Pontianak. Tapi juga seluruh Kalimantan. Padahal harusnya tak seperti ini. Kalimantan adalah penyumbang bahan baku sumber energi terbesar. Batubaranya melimpah. Seluruh pembangkit listrik di Indonesia. Ironisnya, krisis listrik justru terjadi di Kalimantan. Situasi yang tak adil tapi nyata adanya.
Panitia sudah menjemput kami di selasar dalam bandara. Kami diantar di ruangan tunggu VIP. Di dalam ruangan sudah menunggu Bapak Cornelis. Juga rombongan SKPD Kalimantan Barat. Cornelis tahu Fahri akrab dan dianggap sebagai “anak” oleh Megawati. Mungkin, di kalangan aktivis muda Islam, hanya Fahri-lah yang bisa berdiskusi dengan Megawati secara rileks tentang Pancasila. Tapi Fahri pernah juga mengkritik PDIP yang terlalu membawa Pancasila terlalu sekuler. Padahal intisari Pancasila dan nadi jiwa bangsa ini adalah religiusitas. Itu fakta yang tak bisa dibantah.
Dalam perbincangan di ruang VIP Bandara tersebut, Cornelis menyampaikan terima kasih atas kunjungan Fahri Hamzah ke Kalbar. Cornelis juga bercerita tentang masalah daerah, terutama krisis energi, infrastruktur dan problem perbatasan. Cornelis bilang, Kalimantan Barat yang mayoritas Dayak ini, seperti daerah yang belum mendapat tatapan mata sempurna dari pusat.
Sedianya, dulu, dalam rencana kunjungan kerja Tim Pengawas Perbatasan DPR RI, Fahri Hamzah selaku Ketua Timwas akan mengagendakan untuk mengunjungi Entikong dan beberapa daerah di Kalbar. Diantara daerah perbatasan di Indonesia, Kalbar adalah provinsi yang tapal dan jalur batasnya terbuka alias bisa dilalui jalan darat dengan leluasa. Tapi sayangnya, penyediaan kebutuhan dasar warga perbatasan belum terpenuhi semua. Di Kalimantan, ada 4 kabupaten di perbatasan yang listriknya impor dari Malaysia. Sambas, Bengkayang, Entikong, dan Kapuas.
Melongok ke Malaysia dari daerah perbatasan, seperti memantik rasa minder dan ketidakadilan. Betapa sepertinya rakyat kita lama tak diperhatikan. Cornelis didaulat sebagai Presiden Masyarakat Dayak Indonesia itu oleh suku-suku Dayak di serentang Kalimantan ini serius sekali bercerita tentang nasib rakyatnya yang berada di situasi sulit. Jalan, sekolah, urusan kependudukan, mobilisasi logistik; semuanya berada dalam kondisi memprihatinkan. Barang-barang dibeli dari Malaysia. Kita kehilangan harga diri. Benar-benar tertekuk muka kita.
Cornelis juga menyatakan kekaguman atas kiprah Fahri di DPR RI. Teruslah berani dan lantang, katanya. Indonesia butuh sosok-sosok anak muda seperti Fahri. Yang berani bersuara atas ketidakadilan. Cornelis meminta maaf, karena harus menghadiri acara di Jakarta. Cornelis terhitung dalam jajaran Gubernur yang jarang ke Jakarta. Bagus, kata Fahri. Itu bukti dedikasi dan kesungguhan mengurusi rakyat.
Mereka berdua berpelukan erat. Cornelis yang PDIP dan merah itu berpelukan dengan Fahri yang PKS dan muslim. Mereka berada di pijakan yang sama tentang bangsa ini. Pijakan bernama amanat penderitaan rakyat. Mereka juga berfoto berdua. Fahri bilang, semua curhat Cornelis akan menjadi catatan untuk diperjuangkan. Alumni KAMMI Kalbar yang menjemput juga meminta foto bersama. Gubernur membuka pintu dan persilahkan Fahri berkumpul bersama anak-anak muda Kalbar. Anak-anak muda perlu dinyalakan bara semangatnya.
Rombongan tak langsung ke hotel. Perjalanan dilanjutkan ke Aula Rumah Dinas Wakil Walikota. Fahri Hamzah akan dijamu terlebih dahulu oleh Wakil Walikota Pontianak Edi Rusdi Kamtono. Dalam sambutan sederhana tersebut, kami dihidangkan makanan khas Kalbar. Ada Mie Sagu yang enaknya tak disangka-sangka. Juga Ikan Tenggiri Asam Pedas khas Pontianak. Asamnya berasal dari tomat yang melimpah. Rasanya segar. Badan yang lelah akan terasa enak kalau kita menyeruput air kuahnya.
Di Aula Rumah Dinas Wakil Walikota tersebut, bergantian Fahri Hamzah dan Wawali memberi sambutan dan bertukar cinderamata. Mata saya bersitumbuk pada gambar foto raksasa yang menjadi latar utama. Sebuah foto situasi Pontianak pada tahun 1971. Jalan Agus Salim yang masih asri dengan banyak sepeda yang lalu lalang. Di kiri jalan masih ada sungai yang masih alami. Jalan Agus Salim adalah jalan protokol yang menghubungkan tiga cabang sungai dengan kota. Pembangunan dan kemajuan telah merubah itu semua.
Kadang, pembangunan juga melahirkan kemudahan, keteraturan dan keadaban baru. Tapi bisa juga, pembangunanisme yang tak memperhatikan citarasa keadilan dan kemanusiaan juga akan melahirkan ketimpangan, kemiskinan dan hilangnya esensi manusia dalam relasi sosial kita. Pemimpin harus waskita merenungkan seluruh perjalanan dan perubahan di daerahnya. Energi asasi sebuah bangsa harus terus dipelihara. Energi asasi dari kemanusiaan kitalah yang akan memberi kita daya tahan kita menghadapi perjalanan dari jaman ke jaman. (Pontianak, 28 April 2017. Penulis adalah Alumni KAMMI)