Oleh: Marluwi
BAGIKU puasa adalah puasa. Tak makan dan tak minum mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Tentu tidak hanya di situ, puasa ramadhan bagi umat Islam simpan moral religi bertakik-takik; setiap personal (muslim) dapat memaknainya. Puasa ramadhan aku tunai misalnya, ending aku harap puasa itu dapat antarkan pada-Nya. Aku sendiri selalu harap seperti itu, ibadah puasa dan ibadah-ibadah lain aku kerjakan semoga antarkan aku intim dan dekat pada-Nya. Suatu hal yang asasi pada setiap orang termasuk aku sendiri.
Puasa yang aku kerjakan semoga simpan kualitas dan kebaikan yang bisa antarkan kepada Tuhan. Dalam do’a aku selalu minta: puasa aku, tarawih aku, sahur aku, berbuka puasa aku selalu temukan kebaikan dan Tuhan berkenan. Tentu indah dan senang gerak-gerik serta lirik nafas aku selalu ada Tuhan, dan puasa aku tunaikan di bulan suci ramadhan tak ditolak-Nya. Tapi, kadang aku cemas, dan takut, jika puasa yang aku tunaikan hanya habiskan waktu untuk tunggu terbit fajar dan terbenam matahari. Untuk apa puasa hanya tunggu terbit fajar dan nantikan terbenam matahari?.
Jika puasa aku sekadar menanti terbenam matahari, ah, betapa rendahnya kualitas ibadah puasa di hadapan-Mu. Atau hanya sekadar tak makan dan tak minum mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, aduh, betapa rendahnya kualitas puasa ini! Dalam batin aku selalu cemas, jika puasa yang aku kerjakan hanya berkutat-berhenti pada wilayah itu.
Tak hanya itu, di bulan suci ramadhan aku ingin kualitas ibadah tarawih setelah shalat isya’ dapat aku nikmati. Tak merasa berat dan tak terbebani karena shalat itu. Di bulan suci ramadhan, aku ingin terlibat dan produktif dalam ibadah-ibadah-Nya. Mungkin di sini akan membuka jalan, bahwa hidup dari waktu ke waktu perlu berbenah meski tak boleh sempurna.
Keterbatasan, ketaksempurnaan adalah eksistensi dimungkinkan Tuhan kepada manusia. Aku menikmati, mengalir, jalani, hadapi, mengamini semua itu. Bulan suci Ramadhan semoga termaknai keterbatasan dengan terang. Terbatas; di mana aku lapar. Terbatas; di mana aku dahaga.
Lapar dan dahaga, mungkin salah satu godaan terbesar manusia. Tidak hanya dalam konteks puasa ramadhan. Dalam empirikal sosial, lapar dan dahaga sangat rentan destruktif. Sering kita saksikan di republik ini: merampas, menjarah, mengkorup untuk memenuhi hasrat memiliki. Lalu kemudian semua jalan, baik-buruk tak lagi menjadi timbangan dalam ambil tindakan. Lapar dan dahaga semacam ini tentu tidak boleh, tak elok dan tak perlu.
Kepada Tuhan aku berharap dan berdoa; kalau toh aku lapar dan dahaga, aku ingin tetap dalam batas-batas koridor-Mu. Tak jadikan lapar dan dahaga alasan untuk ngemplang, merampas dan menjarah. Mungkin kedua mata akan menangis dan menolak, atau mungkin sekujur tubuh ini menjerit, dan menangis meronta-ronta karena tubuh setiap detik, setiap menit, setiap saat diasupi, dijejali sesuatu yang batil.
Aku hanya berharap, dan ingin menyambut puasa ramadhan kali ini dengan penuh suka, sejuk, damai, tentram, hikmat, dan menari-nari dalam lapar dan dahaga di siangnya. Pada malamnya, aku juga ingin menatap-Mu, ingin kehadiran-Mu dalam seluruh jiwa ibadah.
Puasa ramadhan semoga selalu menjadi oase konstruktif. Mampu mengajak dan mengubah untuk menjadi lebih baik kepada Tuhan, kepada sesama. Betapa pun “terminal” hidup belum aku ketahui akan berakhir kapan, dan di mana. Tapi itu suatu kepastian bahwa hidup aku punya batas-batas yakni kepastian itu sendiri; di mana aku dan semua manusia dan makhluk-makhluk lain pasti pulang menghadap kepada-Nya.
Semoga bukan hanya raga berpuasa, tapi juga sekujur tubuh ini; full lahir dan batin. Tidak hanya tak makan dan tak minum di siang, tapi juga memantul puasa dalam sikap dan perilaku sehari-hari.
Usiaku yang tersisa ini, aku masih berharap Tuhan memberi ruang dan waktu dapat nikmati dan terlibat dalam perintah, jalankan puasa-Nya. Mungkin dengan itu, aku dapat dekat dengan-Nya, aku dapatkan-Nya, aku dapatkan jalan-Nya, aku dapat kasih-Nya, aku dapat sayang-Nya, aku dapat ampunan-Nya.
Terima kasih Tuhan, Engkau telah beri aku nafas, Engkau telah beri aku waktu jelajahi hidup ini siang dan malam, Engkau telah beri aku seorang istri tempat berselimut dan berkeluh kesah, Engkau telah beri aku dua buah hati; pelipur lara dan matahari harapan. Tuhan, ajari aku tentang puasa-Mu, ajari istriku tentang puasa-Mu, ajari dua buah hatiku tentang puasa-Mu. Di mana dengan puasa itu; aku, istri, dan dua buah hati lebih dalam dapat mengenal-Mu.***
(Penulis Dosen IAIN Pontianak)