teraju.id, TNN – Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) nasional tahun 2020 mencatat angka 75,27. Hal itu menunjukkan kondisi pers di Indonesia masuk ketegori “cukup bebas”.
Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia tahun ini merupakan gambaran dari Kemerdekaan Pers pada 2019.
Hasil survei IKP 2019 (merupakan potret kemerdekaan pers 2018) secara nasional
berada di posisi 73,71. Sedangkan survei IKP 2018 (gambaran kemerdekaan pers 2017)
berada pada posisi 69,00 dan Survei IKP 2017(potret kemerdekaan pers 2016) di posisi
67,92 alias masuk dalam kategori “agak bebas”.
Indeks Kemerdekaan Pers 2020 di tingkat provinsi berkisar dari angka terendah 70,42
(dicapai Papua) hingga tertinggi di posisi 84,50 (Maluku). Secara keseluruhan rata-rata
Indeks Kemerdekaan Pers di tingkat provinsi berada di kisaran angka 77,67 yang juga
berada dalam kategori “cukup bebas”.
Ranking lima teratas di dalam Indeks Kemerdekaan Pers 2020 adalah Maluku disusul
kemudian Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, dan Riau. Sedangkan
lima dari bawah dalam ranking Indeks Kemerdekaan Pers adalah Papua kemudian
Papua Barat, DKI Jakarta, Maluku Utara dan Lampung. Angka-angka yang muncul
dalam IKP di tingkat provinsi ini merupakan hasil survei terhadap informan ahli dari
masing-masing provinsi.
Indeks Kemerdekaan Pers 2020 di Tingkat Provinsi
Berdasarkan indikator dari survei ini, masalah yang masih menjadi perhatian adalah
masih tingginya intervensi dari luar, lemahnya akses bagi kelompok rentan dan
rendahnya keragaman pandangan di dunia pers. Selain itu juga tingkat independensi
dari kelompok kepentingan yang kuat di dalam redaksi masih menempati peringkat di
bawah, selain faktor tata kelola perusahaan yang juga juga berperingkat rendah.
Beberapa indikator di lingkungan hukum seperti independensi dan kepastian hukum
lembaga peradilan menduduki peringkat rendah selain pelaksanaan etika pers dan
perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas yang juga rendah dibandingkan
indikator lainnya.
Berdasarkan hasil survei ini, kesimpulan yang diambil antara lain pada tahun 2019,
beberapa politisi dan partai politik menjadikan media massa sebagai kendaraan politik, di mana penggiringan opini kerap dilakukan melalui media milik pemimpin partai untuk menguntungkan kelompoknya. Ini menyebabkan pemberitaan di media menjadi kurang akurat, berimbang, dan cenderung eksploitatif. Selain itu, perusahaan pers menjadi tidak independen dan tata kelola perusahaan kurang baik.
Pada Tahun Politik 2019 telah terjadi kekerasan terhadap wartawan di beberapa daerah, seperti di DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
Kemunculan media alternatif seperti maraknya media sosial dan media siber yang tidak mengusung prinsip jurnalisme, sangat memengaruhi kualitas informasi yang beredar.
Media tersebut cenderung bersifat instan, tidak mengedepankan akurasi,
keberimbangan, dan keadilan. Pada gilirannya, medsos dan media siber non jurnalisme tersebut justru mendistorsi media serius yang mengusung prinsip jurnalisme (media massa). Juga banyak ditemukan mereka yang mengaku-ngaku wartawan tapi kurang atau bahkan tidak menjunjung tinggi etika pers, sehingga melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap media massa.
Fakta yang terjadi di banyak daerah, seperti di Nusa Tenggara Timur, Lampung,
Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Kalimantan Selatan, dan Papua, seorang pendiri
perusahaan media siber juga merangkap sebagai pemimpin redaksi, wartawan, dan
pencari iklan. Hal ini berdampak pada pengabaian kaidah jurnalistik, mulai dari proses melakukan kegiatan jurnalistik sampai pada pemberitaan yang dihasilkan.
Perusahaan pers masih tergantung pada pemerintah daerah dalam hal pendanaan dan pendapatan media yang menyebabkan rendahnya akurasi, keberimbangan, dan
verifikasi berita, serta terganggunya independensi ruang redaksi.
Di banyak daerah, perusahaan pers tidak dapat memenuhi paling sedikit 13 kali gaji
setara upah minimum provinsi (UMP) dalam satu tahun. Tidak banyak redaksi media
yang khusus memberikan ruang pemberitaan bagi penyandang disabilitas. Pemerintah daerah juga belum menyiapkan aturan yang mendorong media lokal menyiarkan informasi yang bisa diakses penyandang disabilitas.
Temuan lain dari survei IKP 2020 juga adalah Uji korelasi Pearson menunjukkan
bahwa Indeks Kemerdekaan Pers berkorelasi positif dengan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), berkorelasi negatif dengan Persentase Penduduk Miskin (PPM), dan
cenderung berkorelasi positif antara Kondisi Lingkungan IKP dan Aspek Indeks
Demokrasi Indonesia (IDI).
Indeks Kemerdekaan Pers ini memuat kategori penilaian mulai dari tidak bebas dengan skore mulai 1 sampai dengan 30, kurang bebas (31-55), agak bebas (56-69), cukup bebas (70-89), dan bebas (90-100). Survei IKP dilakukan dengan mengangkat tiga lingkungan yakni fisik dan politik, ekonomi dan hukum. Kemudian dari lingkungan ini dibuat 20 indikator yang dirinci dalam 75 pertanyaan di dalam kuesioner. Sekitar 306 informan ahli dari 34 provinsi mengisi kuesioner dan juga diwawancara secara mendalam melalui Focus Group Discussion. Laporan lengkap IKP Tahun 2020 dapat diperoleh melalui situs dewanpers.or.id (*)