teraju.id, Pontianak– Tudingan lain Wakil Ketua Dewan Gelar Kepahlawanan dari unsur sejarawan Prof Anhar Gonggong terhadap Sang Perancang Lambang Negara Sultan Hamid II sehingga belum di-SK-kan Presiden RI sebagai Pahlawan Nasional padahal sudah diajukan secara lengkap oleh Yayasan Sultan Hamid sejak tahun 2016, bahwa Sultan Hamid “kebelanda-belandaan”–baca artikel Dian Alkadrie di teraju.id–dijawab dengan logika empirik sosok yang mengaku dirinya loyalis Sultan Hamid, Hanafi Zamzam.
Berikut ini uraian tuntas Hanafi Zamzam:
Pembelaan Adinda bersama Anshari Dimyati dan Turiman Faturahman Nur lewat buku Biografi Politik Sultan Hamid Sang Perancang Lambang Negara yang terbit tahun 2013 hanya bernuansa administratif. Kasus Abuya SH II ini kental dengan performa politik.
Apakah mungkin ini persaingan sesama Raja Jawa dan Raja Melayu? Yang sama-sama studi di Belanda? Apakah tuduhan mau membunuh Menhan dan Kepala Angkatan Perang ini valid? Mereka sama-sama menteri yang diangkat Bung Karno, walaupun yang satu tanpa portofolio.
Saya sebagai loyalis SH II terus berpikir siapakah informan yang memberi tahu bahwa Sultan Hamid II ingin membunuh mereka? Sampai hari ini saya pikir ini tuduhan tendensius kepada SH II. Tolong bikin seminar lawan itu Anhar Gonggong…
Insya Allah kalau ke Pontianak kite ngumpullah. Tolong nasihatkan Sultan jangan kepancing emosi, sebab kita ini melawan subyektifitas ahli sejarah, sehingga perlu cerdas dan kepala dingin. Hanya dengan kearifan, kebijakan, dan pijakan keilmuan–keilmiahan–simpati pada kebenaran bertambah.
Perlu diingat orang-orang sòk republiken di Kalbar ada juga sebagai korban kabur atau buramnya sejarah. Itu sudah dari dulu. Mereka sudah menjadikan Sultan Hamid II sebagai ladang permusuhan supaya dianggap pejuang. Kenapa? Karena kan ‘ndak’ berani melawan Belanda asli!?
Nah, di bawah pimpinan dokter Sudarso dan diikuti pemuda-pemuda IPKI ikut demo ke SH II tahun 50-an. Tuntutan mereka yakni bubarkan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan mereka dianggap veteran angkatan 45. Padahal kan tidak ada angkat senjata?
Perlu diingat dengan jernih bahwa situasi Kalbar di bawah Kesultanan Qadriah berbeda dengan rakyat di Jawa di bawah Sultan Jogja yang merasakan penjajahan Belanda. Di Pontianak, Belanda hanya minta tanah untuk kantor kepada Sultan, tetapi rakyat tidak merasa dijajah, melainkan tunduk pada daulat Sultan Qadriah. Sehingga tidak ada perlawanan frontal terhadap Belanda. Jadi aneh kalau Sultan Hamid II yang berjuang melalui BFO dituding kebelanda-belandaan.
Bahkan dituding pro Belanda, sementara sampai titik darah terakhir Sultan Hamid II Indonesia tulen.
Hanafi Zamzam memberikan sebuah foto dengan pakaian kesultanan. Zamzam menulis selengkapnya berikut ini:
Adinda. Ini foto kebanggaan saya. Dan saya pernah diprotes orang karena kenapa berani-berani ‘pake’ songkok model Sultan Qadriah?! Komentar pedas itu didengar oleh almarhum Pangeran Jaya Syarif Max Jusuf Alqadrie. Dia langsung bilang ke orang yang protes, “Hanafi ZamZam nih berhak pake songkok itu! Saya yang bertanggungjawab, karena saya tahu dia anak angkat Abuya Sultan Hamid!” Dan kain kalengkang hitam itu punya Bang Max yang dikasih ke saya.
Catatan: Max Jusuf Alkadrie adalah sekretaris pribadi Sultan Hamid sampai akhir hayatnya Sultan Hamid tahun 1978.
Berkata lagi ZamZam, “Promosikan jak foto saya itu sebagai salah satu pembela Sultan Hamid II biar Prof Dr AM Hendropriyono, Prof Dr Anhar Gonggong dan Prof Djoko Suryo dari UGM itu tahu masih banyak loyalis SH II di Indonesia. Terbukti sampai meninggalnya Allahyarham SH II, Beliau adalah Raja Kesultanan Qadriah dan berwarga negara Indonesia bukan Belanda.”
Perlu diceritakan juga bahwa Indonesia ini bukan hanya milik Sukarno sehingga mengklaim Pancasila sebagai dasar Sukarnoisme. Ingat pada tahun 1908 berdiri organisasi Syarikat Dagang Islam yang bermetamorfosa menjadi Syarikat Islam dan partai-partai Islam.
Ingat bahwa sebelum ada Indonesia sudah ada kerajaan-kerajaan Islam seperti Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Kesultanan Ngayogyakarto dengan gelar rajanyanya Sayidin Penata Gama. Ingat di Sumatra ada Kesultanan Deli, di Riau ada Kesultanan Siak Inderapura dan di Kalbar ada Kesultanan Qadriah, Kesultanan Amantubillah Mempawah, Kesultanan Alwatzikubillah Sambas dll, di mana semuanya Raja-Raja Islam. Sukarno dan Hatta adalah Sang Proklamator yang mana semua Sultan dan Raja-Raja di Nusantara ini sepakat mendukung Republik Indonesia tercinta ini.
Cobalah ahli-ahli sejarah itu melihat dari sisi kesejarahan yang lebih luas ini. Apalagi para Sultan itu sudah meninggal. Maka sesuai dengan ajaran Islam marilah kita bicara tentang kebaikannya. Jangan sampai ada narasi yang melecehkan. Seperti kata pengkhianat, sungguh tidak lazim dalam ajaran Islam.
Kita juga tidak akan menggugat atau membongkar alasan-alasan tentang adanya veteran pejuang 45 di Kalbar yang kita semua generasi tua tahu tidak adanya rekam jejak perlawanan fisik dan politik di daerah Kalbar yang melawan Belanda karena cendekiawannya sudah habis dibantai Jepang. Lihat Hari Berkabung Daerah yang diperingati setiap 28 Juni 1945 sampai sekarang.
Tolong masyarakat berempati terhadap usulan Sultan Hamid II sebagai pahlawan Nasional, karena secara resmi negara sudah mengakui Beliau adalah Perancang Lambang Negara. Ini bukan kepentingan keluarga ataupun anak cucu Sultan Hamid II, tetapi ini adalah jasa merancang lambang negara dan desain kedaulatan RI, kebanggaan masyarakat Kalbar yang rela bersatu di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walaupun provinsi ini tidak mendapat predikat Daerah Istimewa seperti yang diperjuangkan SH II di dalam Republik Indonesia Serikat di KMB yakni Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB).