Oleh: Nur Iskandar
Kabar duka datang dari Rumah Sakit Pendidikan Universitas Tanjungpura, Minggu, 25 Desember malam sekira pukul 21.40. Bahwa mantan direktur RSUD dr Soedarso yang juga mantan Walikota Pontianak dua periode, dr H Buchary Abdurrahman, SpKK telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Jenazah dokter ahli penyakit kulit dan kelamin ini akan disemayamkan di rumah duka Jl Seram No 11 dan akan dishalat jenazahkan selepas shalat zuhur berjamaah di Masjid Raya Mujahidin, Pontianak.
Beliau yang sehari-hari akrab disapa dengan dr Bong (Bang Bong) akan dimakamkan di Pemakaman Muslimin Jalan Sepakat 1 tak jauh dari rumah jabatan walikota di BLKI yang dahulu pernah dia tempati. Namun kini dia akan segera bersemayam di Sepakat 1 untuk selama-lamanya.
Buchary adalah angkatan awal dari SMAN 1 Pontianak. Ia yang memang cerdas dalam ilmu hitung dan kimia berhasil lolos ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia tercatat sezaman dengan pahlawan asal UI yang gugur di peristiwa 66 Tritura, Arif Rahman Hakim. Hal ini pernah saya tanyakan kepada beliau. “Arif Rahman itu sama-sama dengan saya di Kedokteran UI. Saat demonstrasi mahasiswa menuntut Orde Lama, dia tertembak,” ungkapnya.
Saya mengenal dr Buchary dengan baik sejak beliau menjadi direktur di RSUD dr Soedarso. Maklum, kami anak Sungai Raya Dalam dimana RSUDS bercokol. Kemudian di saat saya mengelola tabloid Mimbar Untan sekaligus reporter di Radio Volare, saya kerap kali menjadikan dr Bong sebagai narasumber terutama bidang kesehatan dan dakwah. Atau singkat cerita, bidang kesehatan yang berhubungan dengan ajaran Islam. dr Bong punya “sense of religi”. Tak heran beliau menjadi Ketua Orwil ICMI Kalbar, dewan penasehat Forum Umat Islam Kalbar, dan juga pengurus Yayasan Mujahidin.
Buchary menjadi dokter karena pilihan dan cita-citanya. Cita-cita ini terlecut ketika kakek yang sangat dia sayangi jatuh sakit dan amat sulit mendapatkan dokter. Sang kakek menghembuskan napas terakhir karena dokter telat tiba di rumah kawasan Wak Serang, depan Pelabuhan Pontianak. Maka, akibat kelangkaan tenaga dokter itulah dia menempa diri menjadi dokter, dan cita-cita itu tercapai. Ia bahkan menjadi direktur di RSUD dr Soedarso.
Memiliki posisi strategis dan populis, Buchary dilamar Golkar untuk maju menjadi calon walikota. Ia berhasil menang dengan mengalahkan calon lain, yakni RA Siregar, Agus Salim dan Said Dja’far. Di periode pertama dia berduet dengan Salman Djiban dan periode kedua bersama Sutarmidji.
Jabatan walikota pun diembannya sampai 10 tahun. Ia mencapai jabatan puncak dengan mudah sehingga sebagian orang Pontianak menggelarinya dengan “pendekar selembe”. Gaya selembe (tenang/santai/easy going) menyebabkan warga tak sulit menemui beliau. Bisa ditemui di kantor atau di rumah. Ia bisa menerima tamu hingga larut malam.
Dengan demikian urusan apapun menjadi cepat kelar. Di sini rahasia kehebatan beliau yang selalu berikrar bahwa walikota itu adalah wali-nya kota. “Walikota itu adalah public servant. Atau pelayan publik. Bukan minta dilayani publik.” Di masa jabatan Buchary yang mana Kalbar masih rawan gejolak sosial, pengungsian masih memenuhi sejumlah arena publik Kota Pontianak berhasil diurai satu per satu. Asrama Haji bisa difungsikan kembali. Begitupula GOR Pangsuma hingga Stadion Sultan Syarif Abdurrachman Alkadrie. Buchary juga merawat kota dengan penerangan di sekeliling tapal batas. Di bidang sepakbola yang digemarinya, Persipon juga berhasil lolos ke Liga Utama.
Di sana letak kehebatan beliau, namun di sana juga letak kelemahan beliau. Dari sejumlah nomenklatur bantuan sosial APBD dia terjerat kasus hukum sehingga masuk bui, walaupun dana yang terselewengkan dikembalikan.
Buchary “selembe” menjalani hukuman di hotel prodeo. Sikap “selembe” yang berakar dari jiwa ikhlas. Namun Tuhan Maha Baik. Dia Maha Tahu apa yang terbaik.
Di dalam jeruji besi Buchary tidak seperti napi lainnya. Dia dapat tempat terhormat sebagai dokter. Dia merawat pasien bahkan sipir penjara. Dia dieluk-elukan sebagai kepala klinik kesehatan. Apalagi di dalam rumah tahanan yang sama Buchary ternyata tidak sendiri. Dia juga bersama dengan sejumah pejabat publik lainnya, bahkan kepala daerah lainnya, termasuk paramedis, sehingga dia punya staf di klinik. Di sana pula Buchary menerima banyak tamu dan kolega yang berempati dengannya.
Dengan demikian dunia memang tak selebar daun kelor, atau tak bisa dibatasi dengan jeruji besi. Hubungan sosial tetap terjalin dengan mesra bersama Buchary.
Keluar dari tahanan nama baik Buchary tetap kemilau. Dia berkhidmat di RSP Untan selain “buka praktik” sebagai dokter ahli. Namun di RSP pula dia menghembuskan napas terakhirnya.
Dokter pemula putra daerah Kalbar ini sejatinya memang berjiwa kasih dan lembut. Bercita-cita menjadi dokter dan wafat dalam khidmat sebagai dokter di RSP Untan. Dia turut memimpin RSP Untan karena ilmu dan keahliannya. Dan melalui pendidikan, dokter putra daerah Kalbar yang dahulu langka, sekarang sudah periodik mewisuda dokter-dokter muda. Maka di sana terpancar rasa bahagia dari Pendekar Selembe.
dr Bong punya perjalanan hidup berlika-liku. Suatu saat begitu indah di mana posisi jabatan politik menjadi bonus dari popularitasnya sebagai dokter dengan segenap puja-puji, sekaligus tentu saja pahit getir yang ternyata satu paket di dalamnya.
Menjadi pertanyaan kenapa orang sebaik Buchary bisa masuk bui? Berkatalah hakim, “Baik saja tidak cukup. Harus teliti. Sebab jika semua dokumen yang disodorkan diteken karena baiknya hati, ini bisa jadi perangkap!”
Dari dr Bong kita bisa bercermin banyak pelajaran hidup. Selamat Jalan dr Bong, Pendekar Selembe. Insya Allah husnul khotimah. *