teraju.id, Dabong— Pagi, kami kembali ke posko. Kali ini, saya menumpang Muhlis, mahasiswa yang mengikuti panen malam itu, menggunakan sepeda motor. Kami melalui jalan darat.
Motor matic kami melintasi tanggul-tanggul tambak. Kiri kanan seluas beberapa lapangan bola tambak-tambak warga Dabong terbentang. Tambak itu digali dengan alat-alat berat, sehingga secara keseluruhan terlihat rapi.
Dari tambak ke kampung memang dekat. Tidak sampai lima menit. Saya pikir, jalan kaki pun bisa. Mungkin jarak dari ujung tambak ke ujung kampung hanya 1,5 atau 2 kilometer. Jarak yang dekat ini membantu saya memahami mengapa warga sempat “merasa sangat heran” ketika dahulu mereka pernah dipersalahkan saat mulai membuat tambak. Mereka sempat dianggap salah karena Dabong termasuk dalam wilayah hutan lindung. Hutan lindung yang tidak boleh didayagunakan. Padahal keputusan menjadikan hutan ini sebagai wilayah hutan lindung muncul beberapa waktu lalu, setelah ratusan tahun lalu warga tinggal di sini, sejak generasi Nakhoda M. Saleh, 7 generasi lalu. Penetapan itu katanya tanpa kordinasi dengan masyarakat setempat.
Setelah istirahat cukup lama di posko Kelompok 36 di tengah Desa Dabong, saya mengajak mahasiswa berjalan ke ujung kampung Dabong di wilayah pelabuhan dan “pasar”. Saya ingin mengajak mahasiswa berkenalan dengan banyak orang.
Saya menyaksikan keramahtamahan penduduk. Orang-orang yang kami lalui menyambut sapaan kami dengan ramah dan hangat. Beberapa di antaranya mempersilakan kami mampir ke rumahnya.
Hingga… sampai di jembatan tinggi (jembatan penyeberangan) melengkung di atas sungai kami singgah menikmati pemandangan pagi yang cerah. Saya mengabadikan anak-anak sekolah melintas, orang-orang pasar yang sibuk, motor air lalu lalang membawa ikan dari laut.
Sebuah kapal bertonase sedang (sekitar 6-7 ton) merapat di dermaga ujung jembatan. Ada 4 awak kapal. Mereka menurunkan beberapa keranjang berisi ikan dan udang. Saya menghampiri mereka dan sempat bertanya harga-harga ikan. Wow, semuanya murah dibandingkan Flamboyan Pontianak. Jauh lebih murah. Semuanya segar karena baru ditangkap dengan jermal di laut.
Kami melangkah ke ujung jembatan arah pantai. Di bagian ini ada sebuah kelenteng Tao, kecil. Tiba beberapa rumah sebelum kelenteng, saya melihat seorang perempuan sedang menyapu. Saya menyapanya dan dia menjawab ramah. Di samping rumah beliau ada jembatan yang dipagar dan pagar itu berpintu. Jembatan itu jalan menuju tambak di belakang rumah.
Setelah saya mengetahui hal itu, saya meminta izin pada beliau untuk melihat tambak.
Tambak keluarga ini nampaknya dikerjakan secara manual. Luasnya hanya beberapa puluh meter saja; mungkin panjang dan lebarnya hanya 25 meter. Tanggulnya juga tidak lebar, hanya 1-1,5 meter. Parit-parit juga tidak dalam. Saya melihat lubang air hanya sebuah paralon ukuran 5 atau 6 inci yang tersembul di dua sisi tanggul. Paralon ini untuk pembuangan air dan berfungsi untuk panen. Di ujung paralon terdapat kotak papan untuk menutupnya. Sedangkan di bagian luar ada jaring bulat panjang.
Tambak itu kering. Kata pemiliknya, mereka sudah panen kemarin. Saya melihat tambak ini dengan takjub. Saya takjub pada pemiliknya yang dapat memanfaatkan lahan di belakang rumah untuk tambak. Mereka membuat tambak dengan sederhana dan mudah. Biayanya pasti tidak akan semahal dibandingkan harus menggunakan alat berat.
Jika semua orang berprinsip begitu, hakkul yakin, semua nelayan yang memiliki rumah di pinggir parit akan makmur. Tak akan lagi ada lahan rendah yang menganggur. Tambak, seperti yang saya saksikan di Dabong merupakan aset luar biasa untuk menambah pendapatan warga.
Kita harus belajar pada orang Dabong dalam soal ini. (Habis).